Ruang Sederhana Berbagi

Tampilkan postingan dengan label Pecinta Alam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pecinta Alam. Tampilkan semua postingan

Senin, April 10, 2017

Sisi Lain Tebing 125 Citatah Padalarang Selain Untuk Kegiatan PanjatTebing

Nama Tebing Citatah 125 sudah tidak asing lagi bagi para pegiat alam terbuka dan juga para pecinta alam di Indonesia. Bisa jadi tidak asing juga untuk para pemanjat dunia. Dengan berbagai tingkat kesulitan yang ada di tebing Citatah 125 atau terkenal juga dengan nama Tebing 125 atau gunung Pabeasan, memberikan tantangan yang sangat besar untuk para pemanjat tebing.

Kelompok Pecinta Alam di Bandung sering menggunakan tebing 125 ini untuk latihan. Tebing yang berada di wilayah pengelolaan Kopasus ini bukan sembarang tebing. Tebing khusus yang tidak bisa diakses secara umum tanpa ijin dari Kopasus. Setiap kali mau mengadakan pemanjatan, kita harus mengirim surat perijinan ke PUSDIKPASUS di Batujajar, Bandung Barat. Setelah ijin keluar barulah kita boleh mengakses tebing untuk berlatih bersama.

Sisi Lain Tebing Citatah

Selepas mendapat ijin dari Kopasus, barulah kita bisa meminta ijin kepada komunitas setempat. Namanya Suku Badot. Suku Badot adalah sebuah komunitas yang sering melakukan kampanye peduli lingkungan terutama kawasan karst. Suku Badot sering melakukan kegiatan bersama masyarakat dan pelajar bertajuk ulin bareng sekalian memberikan penyadaran lingkungan. Dengan tanda pagar Save Kawasan Karst, Save Tempat Bermain, mereka menyuarakan kepedulian terhadap lingkungan terutama dari kerakusan manusia dalam menambang kapur, menghancurkan gunung-gunung kapur dan mengotori udara dari pabrik pengolahannya.

Tapi tahukah anda, ada sisi-sisi lain dari tebing ini yang juga menarik untuk dijelajahi. Inilah sisi-sisi lain tebing yang menjulang di kawasan Padalarang, Bandung Barat tersebut:

1. Gua


Terletak di sisi kiri jika kita menghadap tebing. Gua yang terbentuk secara alamiah tersebut sangat cocok untuk kegiatan bersama siswa sekolah baik Sekolah Dasar, Menengah, dan Atas. Kita bisa mengeksplorasi banyak pelajaran di gua tersebut.

2. Saung Belajar


Tepat di area bawah dekat tempat parkir ada sebuah saung yang berisi perpustakaan dan tempat belajar. Di saung ini, anak-anak dari sekitar tempat  belajar bersama-sama. Dengan suara mesin pabrik yang terus menderu, saung ini seolah mengukuhkan peran pendidikan alternatif yang terus bermunculan dengan caranya sendiri.

Nah itulah sisi lain dari tebing 125 yang menarik. Banyak sisi-sisi lainnya yang bisa kita kaji misalnya tentang Suku Badot, serta masyarakat setempat yang ada di sekitar lokasi tebing. Saya masih ingat ketika pertama kali menginjakan kaki di Tebing 125 untuk mengikuti pelatihan Panjat Tebing bersama Skygers, lokasi masih alami. Tidak banyak pepohonan, rumah penduduk, dan pabrik. Kini sudah berganti rupa. Walaupun demikian kepedulian untuk menjaga kawasan karst harus terus dikampanyekan agar kita tidak kehilangan tempat bermain seperti yang sering disampaikan oleh Suku Badot.

[semua foto di sini diambil oleh Iden Wildensyah] 
Share:

Selasa, Desember 06, 2016

Kolaborasi Dalam Pendidikan Dasar Pecinta Alam

Ini sebuah moment Pendidikan Dasar Pecinta Alam yang dibangun dengan semangat kolaborasi. Pendidikan Dasar di alam terbuka membutuhkan kecakapan khusus buat semua pegiatnya. Kolaborasi dengan anggota Kopasus dan anggota Wanadri sudah dilakukan sejak kursus kepelatihan untuk satuan komando Pendidikan Dasar. 

Kolaborasi untuk membangun pondasi pendidikan dasar yang baik, menumbuhkan semangat bekerjasama dengan semua potensi pecinta alam yang ada. Kolaborasi ini sejatinya bukan sekadar membuat calon siswa menjadi anggota Gandawesi yang Samagata, Samala, dan Samahita. Lebih dari itu, kolaborasi ini untuk Indonesia! Untuk sebuah semangat kebangsaan yang dibangun dengan semangat pribadi yang tangguh, terampil, cekatan, kreatif, dan berwawasan lingkungan. 
Kolaborasi Dalam Pendidikan Dasar Pecinta Alam (iden wildensyah)

Menjadi Mahasiswa Pecinta Alam
Menjadi mahasiswa adalah kebanggaan tersendiri buat siapapun yang mengalaminya. Banyak pengalaman yang menarik seperti menjadi aktivis, pegiat organisasi mahasiswa, dan juga menjadi mahasiswa pecinta alam. Soe Hok Gie adalah seorang mahasiswa pecinta alam yang menjadi legenda sampai hari ini. Soe Hok Gie dianggap mewakili suara-suara kaum muda yang berani, progresif, dan tentu saja pecinta alam. Soe Hok Gie adalah seorang mahasiswa yang menjadi sejarah dalam dunia Mahasiswa Pecinta Alam. Mapala UI adalah hasil dari olah pikirnya. Bersama kawan-kawan Mapala UI-nya, Soe Hok Gie menuntaskan gelora jiwa muda dengan mendaki gunung.

Di organisasi mahasiswa pecinta alam, semua anggota diwajibkan untuk melakukan kajian terlebih dahulu mulai dari persiapan sampai akhir pendakian tentang risiko dan hal-hal penting lainnya. Tentu akan senang jika perjalanan mendaki gunung berakhir dengan baik.
Berorganisasi di mahasiswa pecinta alam itu sangat menantang dan dinamis. Kadang dituntut bermental sekeras baja untuk mempertahankan idealisme, terkadang juga harus melunakan baja tersebut untuk mengakui argumentasi orang lain yang lebih baik agar tetap bisa bekerjasama. 

Tak ada guru yang baik selain pengalaman itu sendiri. Sebanyak-banyaknya membaca buku teori berorganisasi jika tidak diaplikasikan tetap hasilnya nol besar. Tetapi jika sudah membaca teori berorganisasi, teori kepemimpinan, kemudian mengaplikasikannya di organisasi mahasiwa pecinta alam, maka lengkaplah kemampuan secara teori dan praktik.

Pendidikan dasar sejatinya menumbuhkan jiwa-jiwa yang tangguh, bermental baja dan mandiri. Seperti tekad Gandawesi! Ini adalah tentang menumbuhkan generasi yang peduli lingkungan, peduli kepada sesama, cinta tanah air dan bangsa. Salam hormat dari saya untuk Bang Yos dari Kopasus untuk percikan semangat dan kolaborasi yang indah!
Pendidikan Dasar Pecinta Alam Untuk Samagata, Samahita, Samala! (iden wildensyah)
Cerita tentang pendidikan dasar bisa dilihat juga disini
Share:

Minggu, September 28, 2014

Belajar Dari Bangsa Indian

Saya punya teman yang selalu tampil mirip orang Indian, berambut panjang, bandana, celana jeans belel. Rambut panjangnya selalu dikepang dua. Rambut gaya Indian Apache, bukan gaya mohawk yang sekarang lagi ngetrend.

Gaya dia mengingatkan saya pada tokoh dalam buku Karl May. Bedanya dalam kehidupan sehari-hari ia tak menunggang kuda. Kalau bicara petualangan, ia selalu bersemangat. Maklum ia termasuk salah satu tokoh pecinta alam di sekolahnya.

Dari sekian banyak cerita, ada satu cerita yang menarik buat saya adalah kecintaannya pada gaya Indian. Ia menuturkan bahwa pembelajaran penting bagi seorang petualang ia dapatkan dari bangsa Indian. Orangtua-orangtua Indian akan melepaskan anak-anaknya untuk menjadi penjelajah. Mereka (para orangtua) percaya bahwa alam adalah media pendidikan yang sangat bagus untuk membentuk mental anaknya. Makanya mereka akan melepaskan anaknya untuk menjelajah pada waktu usia tertentu. Bisa jadi pada saat usia menuju dewasa dan penjelajahan adalah pendewasaan seorang anak.

Saat menjelajah, seorang Indian muda tidak akan lepas dari lima unsur penting kehidupan. Tanah, air, api, logam dan udara. Empat hal utama tanah, air, logam, dan api selalu mereka bawa kemana-mana. Tanah, mereka selalu bawa sekepal tanah kelahirannya yang disimpan dalam kantung kecil. Ini mengingatkan mereka untuk kembali setelah menjelajah jauh. Air, mereka bawa dalam bentuk selalu menyediakan air minum selama penjelajahan. Air sangat penting karena tubuh kita sangat membutuhkan asupan air untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Logam, mereka bawa dalam bentuk pisau dan mata panah. Pisau adalah senjata untuk memburu saat bertahan hidup di alam bebas. Untuk memotong kayu saat membuat bivak, dll. Udara sebenarnya tidak mereka bawa setiap saat tetapi keberadaan udara sangat penting untuk kehidupan. Api mereka bawa dalam bentuk pemantik. Api penting untuk membakar dan memasak makanan. Api juga penting untuk membuat perapian saat hari terasa dingin misalnya malam hari.

Nah, keempat unsur itu kemudian selalu saya ingat sebagai bekal dasar setiap akan bergiat di alam terbuka. Hal ini juga saya bagikan kepada siapapun yang akan bergiat. Ini sangat penting karena membuat penjelajahan menjadi sangat menarik ketika persiapan sudah matang. Ayo menjelajah lagi!

Share:

Sabtu, September 27, 2014

Hidup Hari Ini

Suatu hari menjelang sore setelah memberikan instruksi untuk siswa Pendidikan Dasar sebuah Mahasiswa Pecinta Alam dari kampus yang berada di Jalan Setiabudi, Bandung, kami berkumpul di saung yang dijadikan base camp instruktur.

Seorang teman memulai pembicaraan yang menarik, "Tahun depan, kita tidak usah bikin perencanaan pendidikan dasar, langsung sebar formulir kemudian tahap kelas dan tahap lapangan. Orang-orang yang merencanakan pasti itu lagi, ke lapangan juga itu lagi, tinggal kader tiap pos agar tahun depannya mereka tidak ribet lagi bikin perencanaan".

Sekilas perkataan itu seperti bercanda, maklum kalau ada waktu berkumpul, para panitia pasti menyegarkan suasana dengan guyon lucu. Guyonan ini biasanya muncul lagi kalau ada acara kumpul-kumpul anggota. Tak pernah bosan untuk mengulang cerita menyenangkan pada masa lalu.

Nah, kata-kata teman saya itu kemudian saya maknai dikemudian hari. Ada benarnya semua kata-kata dia walaupun ada juga tidak benarnya. Saat itu semua instruktur rata-rata sudah melaksanakan pendidikan dasar minimal dalam jangka waktu 2 tahun. Dinamika di lapangan relatif datar karena semua sudah berjalan lancar dalam relnya masing-masing.

Di sisi yang lain, ada semacam kekhawatiran menurunnya trend penerimaan anggota karena titik jenuh para anggota untuk membuat inovasi. Syukurnya ini tidak terjadi. Kegiatan organisasi tetap berjalan sebagaimana mestinya sampai hari ini.

Seandainya saja semua tidak sadar dengan dinamika dan merasa sombong atas raihan saat itu, bisa jadi organisasi Mahasiswa Pecinta Alam itu sudah lenyap. Alam mengajarkan agar kita tidak sombong. Ini juga yang didengungkan kepada setiap siswa untuk terus semangat menyalakan harapan dalam diri agar bisa memberikan yang terbaik untuk lingkungan, untuk Indonesia.

Hidup hari ini! Saat matahari tak mampu memberikan kehangatan pada tubuh kita, harapkanlah bintang yang memberikannya, jika bintangpun tak mampu, nyalakan kehangatan dari dalam diri sendiri kemudian pancarkan keluar agar orang di sekitarmu merasakan kehangatan akan hadirmu!

Share:

Minggu, Juni 01, 2014

Makna Mendaki Gunung

Henry Dunant tokoh dunia pendiri Palang Merah Internasional ( PMI ), pernah mengatakan, “Sebuah negara atau bangsa tidak perlu khawatir kekurangan pemimpin, jika anak mudanya masih suka bertualang dan mendaki gunung” kata-kata Henry Dunant ini yang membuat semangat saya untuk mendaki gunung kembali menggelora. Bersama teman-teman dari perhimpunan pecinta alam di kampus jalan Setiabudi, Bandung, saya berangkat menuju Kuningan. Gunung yang akan saya daki sekarang adalah gunung Ciremai. Gunung tertinggi di Jawa Barat yaitu 3.027 mdpl.
Menuju Pos Cibunar (dok Iden Wildensyah)
Tanggal 28 April 2014 hari jumat pukul 15.00 dari terminal Cicaheum, saya dan teman-teman naik bus jurusan Bandung - Kuningan. Perjalanan malam selama 7 jam dengan akhir di Linggarjati. Dari Linggarjati menuju pos pendakian malam itu sampai pukul 12.00. Di pos pendakian saya bertemu dengan banyak pendaki lain dari berbagai kota seperti Jakarta, Depok, Bogor, Cirebon, dan Malang. Malam itu menginap di pos pendakian. Pos pendakian menuju Gunung Ciremai itu ada tiga, Pos Pendakian di Palutungan, Pos Pendakian Apuy, dan Pos Pendakian Linggarjati. Kita memilih Linggarjati. 
Kang Encep, petugas pos menerima semua pendaki yang datang malam itu dengan baik. Ia mencatat setiap pendaki yang akan naik Gunung Ciremai. Malam itu juga saya, Habib sebagai ketua pendakian, menyelesaikan administrasi seperti foto kopi KTP, nama, alamat, dan biaya. 
Pagi-pagi setelah sholat subuh, saya bangun. Team yang lain sudah siap-siap membuat sarapan. Pagi itu akan memulai  pendakian. Beberapa pendaki dari Jakarta bahkan sudah ada yang mulai berjalan sejak subuh.
Panorama (dok. Iden Wildensyah)
Pos pertama yang akan dituju adalah pos Cibunar. Ini adalah pos terakhir untuk mengisi air. Setelah pos ini, tidak ada lagi air. Ini yang membedakan pendakian gunung Ciremai dengan pendakian gunung-gunung lainnya. Air sangat jarang di tengah jalur pendakian. Jadi harus membawa air untuk naik gunung menuju puncak dan turun gunung. Sesuatu yang sangat berat! Tetapi juga menjadi tantangan karena beban bertambah berat. Setelah pos Cibunar, perjalanan selanjutnya melewati beberapa pos di antaranya Leuweung Datar, Condang Amis, Kuburan Kuda, Pangalap, Tanjakan Seruni, Bapa Tere, Batu Lingga, Sangga Buana, Pangasinan, dan Puncak.
Perjalanan mendaki gunung sangatlah berat. Hal yang harus dilakukan selain fisik yang fit juga mental yang kuat. Semangat untuk terus menjalani serta kekuatan mental dan tekad untuk menyelesaikan pendakian dari awal sampai akhir harus tertanam kuat dalam diri pendaki gunung. Berjalan selama 12 jam dari pagi sampai malam, dari satu pos ke pos lainnya. 
Perjalanan Malam (dok. Iden Wildensyah)
Malam itu, saya dan teman-teman berencana untuk mendirikan camp di Pos Pangasinan dengan asumsi waktu tempuh dan jarak menuju puncak lebih dekat. Kenyataannya malam itu hanya bisa sampai pos Sangga Buana karena waktu sudah menunjukan pukul 20.00. Kebiasaan mendaki tidak boleh lebih dari jam 20.00 mengingat stamina dan faktor keamanan lainnya. Pos Sangga Buana itu ada dua, yaitu Sangga Buana I dan Sangga Buana II, kita memutuskan untuk mendirikan camp di Sangga Buana II. Di Sangga Buana, istirahat, makan, dan tidur. Tidak lupa melakukan evaluasi atas perjalanan siang tadi serta perencanaan untuk menggapai puncak atau summit atack.
Diputuskanlah bangun tidur pukul 2.00 dini hari agar dapat kesempatan melihat sunrise atau matahari terbit dari puncak Gununh Ciremai. Malam yang dingin, tidur di kantung tidur dalam tenda. Rasanya sangat bersyukur atas kesempatan yang sangat berharga ini. Berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa karena memberikan perlindungan selama perjalanan sampai bisa istirahat.
Di Puncak Gunung Di Atas Awan (dok. Iden Wildensyah)
Tepat pukul 2.00 dini hari tanggal 30 Maret 2014, saya dan teman-teman menuju puncak Gunung Ciremai. Perjalanan malam itu sangat menantang dibandingkan perjalanan siang. Selain kita harus berhati-hati, fokus, dan tetap konsentrasi pada jalur yang dilewati, kita juga harus berjuang melawan rasa dingin yang menusuk kulit.
Jalur menuju puncak setelah pos pangasinan sangat berat. Lebih berat dari jalur-jalur sebelumnya. Tanjakan terjal dengan bebatuan dan pasir sangat menguras energi. Belum lagi tanah yang licin membuat kita harus berhati-hati. 
Bau belereng sudah tercium dari 100 meter sebelum puncak. Itu menandakan puncak gunung sudah dekat. Tepat pukul 4.30 dini hari, saya menggapai puncak diikuti teman-teman lain. Senang rasanya masih diberi kesempatan untuk mendaki gunung sampai ke puncak. Kalau kata teman-teman Team Seven Summit Indonesia, mendaki gunung sampai ke puncak gunung itu menziarahi. Itu berarti saat saya berada di puncak gunung, inilah saat menziarahi leluhur kita.
Apa makna buat sebuah organisasi? Mendaki gunung adalah semangat untuk terus maju. Mendaki gunung itu butuh mental dan fisik yang kuat, kekuatan keduanya akan membuat pendakian menjadi lancar. Mendaki gunung berarti kemandirian, seorang pendaki gunung harus mandiri, menyiapkan fisik dan mental sendiri, menyiapkan kebutuhan selama mendaki gunung sendiri, melakukan perjalanan secara personal tetapi butuh kerjasama untuk menyukseskannya. Semoga semangat mandiri, bekerja sama, dan pantang menyerah menjadi bagian tak terpisahkan dalam diri semua orang yang bergiat di organisasi. Bisa!
Di Puncak Gunung Ciremai dengan syal turuntangan (dok Iden Wildensyah)
Share:

Senin, April 21, 2014

Perempuan Pemanjat Tebing

Perkenalan saya dengan dunia panjat tebing bermula dari pendidikan dasar pecinta alam di kampus. Saya terjebak sebetulnya, terjebak menikmati! Yah, di pendidikan dasar pecinta alam saya mengenal panjat tebing dan kegiatan alam terbuka lainnya. Teman saya yang mengajak untuk mengikuti pendidikan dasar. Ia yang awalnya antusias tetapi sayang pada saat tahap lapangan, ia sakit sehingga tidak bisa mengikuti. Tahun kedua kuliah, ia baru ikutan lagi. Saya, jadi instrukturnya. Saya sudah jadi anggota pecinta alam sebelum dia. Oh iya, nama saya Sekar Andina Putri.

The Climber (fineartamerica.com)
Citatah, saya tahu nama itu karena setiap kali pulang dari kota tempat saya kuliah ke rumah, saya melewatinya. Dari dalam bis, saya menatap jajaran tebing-tebing kapur itu sambil berharap suatu saat bisa mendatanginya untuk merasakan lebih dekat. Saat pendidikan dasar itulah saya bisa berada dekat dan memanjatnya sampai ke pertengahan tebing. Tidak sampai puncak karena komando pendidikan dasar sudah menetapkan jalur yang harus dilewatinya. Ternyata, susah payah saya memanjat tebing tersebut. Kalau bukan semangat, saya sudah mengundurkan diri saat kesulitan memanjat tebing. Tapi pengalaman inilah yang mengantarkan saya pada dunia yang kemudian menjadi bagian dari aktivitas keseharian saya.

Selesai pendidikan dasar, berbekal uang tabungan serta urunan para anggota pecinta alam di kampus, saya ikut sekolah panjat tebing. Sekolah lanjutan untuk yang berminat mendalaminya. Ada banyak kelas yang diselenggarakan seperti kelas dasar pemanjat pemula, fotografi, dan vertical rescue. Saya ambil kelas dasar pemula. Tahun berikutnya saya ambil fotografi dan vertical rescue. Karena mencintai dunia panjat tebing, saya pun semakin senang melakukan ekspedisi ke tebing-tebing alam. Kejuaran-kejuaraan panjat tebing yang dilakukan oleh pecinta alam, federasi, dan juga organisasi lainnya sering saya ikuti. Kejuaraan dari tingkat daerah, piala presiden, piala menpora, tingkat nasional, dan tingkat internasional pernah saya ikuti.

Perkuliahan, tentu saja saya perhatikan. Bersyukur beberapa dosen sangat mengerti dengan dunia saya. Apalagi kalau mereka tahu prestasi terbaiknya diukir oleh mahasiswinya, mereka senang dan perguruan tinggi tempat saya kuliah pun ikut bangga.

Berada di lingkungan yang didominasi laki-laki tidak membuat saya risih, apalagi saya tahu mereka sangat hormat pada perempuan. Saya tahu mereka dan percaya sepenuhnya mereka yang berada di sekitar saya adalah orang-orang baik yang selalu mendukung, menyemangati, dan mencandai saat berada di alam terbuka. Perempuan tidak harus berada di rumah saja, saya selalu ingat kata-kata ibu. Mungkin ibu juga termasuk perempuan mandiri. Saya ingat sosok R. A. Kartini dengan perjuangan emansipasinya. Jujur saja perjuangan R. A. Kartini menginspirasi saya. Sebagai pemanjat tebing, saya menyukai tantangan-tantangan dan perjuangan sesudah berhasil melewatinya adalah kenikmatan tersendiri. Saya perempuan mandiri, pejuang, dan pemanjat tebing.
Share:

Rabu, April 02, 2014

Mandiri

Salah satu hal yang selalu saya ingat tentang pelajaran mandiri adalah saat mendaki gunung. Selalu terngiang bahwa mendaki gunung itu adalah proses memadukan kesiapan mental dan fisik. Kemandirian terbangun saat saya harus menyiapkan segala sesuatu secara sendiri, menyiapkan alat dan perbekalan bahan makanan yang cukup selama pendakian. Tidak mengandalkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan selama di gunung. Tidak lucu jika kita meminjam barang orang lain hanya karena kita tidak bisa membawanya. Perlengkapan minimal harus benar-benar disiapkan secara matang. Peralatan atau perlengkapan tersebut di-packing dalam tas ransel yang memadai untuk dibawa sendiri.
Pendaki Gunung ( Iden Wildensyah - Ciremai jalur Linggarjati 2014)

Pendaki gunung itu harus mandiri, jika belum bisa mandiri, minimalnya jangan merepotkan orang lain. Penuhi kebutuhan diri sendiri baru menolong orang lain. Siapkan fisik agar bisa kuat mendaki dan menuruni gunung, siapkan peralatan dan perbekalan agar bisa mendukung kebutuhan fisik kita. Siapkan mental agar selamat dan sampai tujuan serta bisa pulang dengan baik.

Tentang kemandirian ini, ada sebuah kisah Gandhi yang sangat menarik yang dituliskan oleh Eknath Easwaran. 

"Aku tengah mengawali kehidupan yang dipenuhi kemudahan dan kenyamanan, tetapi eksperimennya terlalu singkat. Meskipun aku telah melengkapi rumah dengan perhatian, semua itu tidak mampu membuatku betah. Maka, segera setelah memulai usaha dalam kehidupan itu, aku mulai mengurangi pengeluaran. Tagihan tukang cuci sangat berat dan meskipun tepat waktu, dua hingga tiga lusin kemeja dan kaus yang tersedia terbukti tidak cukup bagiku. Kaus harus berganti setiap hari dan kemeja kalau tidak setiap hari, setidaknya dua hari sekali. Ini berarti pengeluaran dua kali lipat yang bagiku tampak tidak perlu. Oleh karena itu, aku melengkapi diriku dengan perlengkapan mencuci untuk menghematnya. Aku membeli buku tentang mencuci, mempelajari seninya, dan mengajarkanya kepada istriku. Ini tidak diragukan lagi menambah pekerjaanku, tetapi kebaruannya membuatnya menyenangkan.

Aku takkan pernah melupakan kaus pertama yang aku cuci sendiri. Aku menggunakan kanji lebih banyak daripada yang kuperlukan, setrikanya tidak dibuat cukup panas, dan karena takut membakar kausnya, aku tidak cukup keras menekannya. Hasilnya adalah, meskipun kausnya cukup kaku, kanji yang berlebihan terus berjatuhan darinya. Aku berangkat ke pengadilan dengan mengenakan kerah itu hingga mengundang tawa kawan-kawan pengacara. Namun, bahkan pada masa itu aku bisa sangat tidak peduli jika menjadi bahan tertawaan.

Dengan cara yang sama, sebagaimana aku melepaskan diriku dari perbudakan tukang cuci, aku membuang ketergantungan pada pemangkas rambut. Semua orang yang pergi ke Inggris belajar setidaknya seni bercukur, tetapi tidak ada, setahuku, mereka belajar untuk memangkas rambut mereka sendiri. Aku pun harus mempelajari itu. Pernah aku pergi ke seorang pemangkas rambut di Pretoria. Dengan meremehkan ia menolak untuk memotong rambutku. Tentu saja aku merasa terluka, tetapi aku segera membeli sepasang gunting dan memotong rambutku di depan cermin. Aku kurang lebih berhasil memotong rambut bagian depan, tetapi aku merusak bagian belakang. Kawan-kawan di pengadilan tertawa terbahak-bahak.
‘Ada apa dengan rambutmu, Gandhi? Tikus menggigitinya?’
‘Bukan. Tukang cukur kulit putih tidak berkenan menyentuh rambutku yang hitam,’ jawabku, ‘jadi aku lebih suka memotongnya sendiri, tak peduli seburuk apa.”





Share:

Selasa, Desember 31, 2013

Kenangan Kebersamaan

Foto di atas adalah salah satu moment yang selalu saya ingat. Kenangan terbaik dalam hidup saya selama ini. Merasakan dinamika bersama mereka selama hampir satu dekade lebih di kampus dan di lapangan saat ada acara-acara penting.

Saya hanya bisa menggambarkan bagaimana kebersamaan itu melekat sampai sekarang. Kami bisa main bersama, berkonflik bersama, dan terutama kami belajar kehidupan bersama-sama. Tak bisa dipungkiri, selama bersama-sama itu hadir berbagai dinamika yang naik turun. Ada saatnya menyenangkan dan ada saatnya tidak menyenangkan.

Sama halnya dengan naik gunung, perlu kebersamaan dan kekompakan untuk bisa menggapai puncak bersama-sama. Banyak gunung yang kita daki bersama-sama. Banyak lembah yang kita susuri, sungai, dan juga bukit-bukit. Rasa capek dan kesal tak jarang menghinggapi diri kita masing-masing tetapi semua sadar tentang satu tekad satu tujuan.

Foto di atas adalah saat melanjutkan perjalanan setelah mendaki gunung Guntur di Kota Garut kemudian mendaki gunung Papandayan untuk menuju kabupaten Bandung dari arah selatan. Perjalanan panjang dan melelahkan tetapi bisa dinikmati dan sampai kembali pulang ke kampus untuk melanjutkan kehidupan kampus.

Merasakan saat tersesat, mencari alternatif jalan menuju lembah dan mendapati pemukiman di perkebunan teh paling jauh dari Pangalengan dan lebih dekat ke kaki gunung. Udara dingin dengan hujan rintik-rintik, setia mengikuti perjalanan kita mencapai pemukiman terdekat yang bisa dijangkau sekedar bermalam sebelum melanjutkan perjalanan menuju Bandung.

Melihat asap dari kejauhan yang muncul dari ladang petani itu sangat terasa sampai sekarang. Ada harapan karena masih bisa bertemu penduduk. Ada yang diutus bertanya tentang daerahnya kemudian bertanya alternatif jalan yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki.

Kita semua sampai dipemukiman saat hari menjelang malam. Hujan masih mengguyur kampung itu. Bersyukur ada penduduk yang memberi ruang untuk beristirahat. Seingat saya waktu itu kita bermalam di sebuah masjid penduduk. Sampai pagi dan kemudian pulang menggunakan angkutan umum yang pemberangkatannya satu kali dalam satu hari.

Kini, semua sudah memiliki kehidupan masing-masing. Sesekali kita masih berkumpul kalau ada acara bersama di Situ Lembang atau di Citatah. Bersama mereka, saya bersyukur belajar banyak tentang kehidupan, tentang kebersamaan, dan rasa saling menghargai satu sama lain. Terima kasih, Tuhan! Berikan banyak kebaikan kepada mereka yang sudah bersama-sama dalam satu kesempatan menarik. 

Catatan di dedikasikan kepada teman-teman yang ada di foto antara lain: Nurcahya, Cecep Permana, Iman Kape, Hendi Tale, Erwin, Andi, dan Iwan Embu. Dua orang traveller itu, saya lupa namanya.

Saat itu, saya merasakan banget efek dari "Kuliah tong ngaganggu ulin!" yang kemudian menjadi jargon tak resmi sampai sekarang.
Share:

Senin, November 11, 2013

Tak Terduga

Banyak hal tak terduga dalam hidup ini. Sesuatu yang kadang bisa menjadi menyenangkan tetapi juga bisa menyakitkan. Unpredictable, sesuatu yang tidak bisa diprediksi sebelumnya. 

Benar adanya ungkapan bahwa manusia hanya bisa berencana dan Tuhanlah penentu utamanya. Perencanaan sebaik apapun tetap harus legowo saat pelaksaan tidak sesuai. 

Saya banyak mengambil pelajaran pada saat mengikuti pendidikan dasar pecinta alam. Baik sebagai peserta maupun sebagai komando pendidikan dasar. Hal yang sangat manusiawi dan mengalir begitu saja. Begitu juga dalam sebuah melakukan perjalanan ekspedisi atau travelling. Adakalanya kita harus mengubah perencanaan saat adanya perubahan.

Dalam segala yang berhubungan dengan manusia, saya tak pernah kaget pada perubahan. Bahkan untuk hal yang kaku sekalipun di dunia teknik sipil, perubahan akan selalu ada.

Selanjutnya yang harus dipersiapkan adalah keluwesan berpikir, kemampuan improvisasi, dan keterbukaan pada kritik. 

Keluwesan berpikir berarti kemampuan menyesuaikan pikiran, kreativitas, serta ketajaman analisis pada saat kondisi berubah. Pada saat mendaki gunung, ini bisa berarti datangnya badai sebelum mencapai puncak. Butuh keputusan yang tepat untuk menunggu badai, rehat, bikin bivak, atau melanjutkan perjalanan.

Kemampuan improvisasi bisa berarti kemampuan untuk mengubah bentuk pelaksanaan tanpa mengubah esensi yang diharapkan dari kegiatan yang akan dilaksanakan. Misalnya saat rehat mendaki gunung untuk menunggu badai reda, bisa dilakukan kegiatan menghangatkan tubuh, memasak logistik, merencanakan kegiatan lainnya. 

Keterbukaan pada kritik bisa berarti kelapangan diri saat ada orang lain yang tidak mengenal medan pelaksanaan melakukan kritik pedas. Biasanya dengan "mengapa tidak sesuai dengan perencanaan?" Terkadang, orang lain akan mudah melontarkan kritik. Mereka mudah menilai, bahkan sampai menjatuhkan. Untuk itu, lebih mudah bagi kita untuk menerima saja kritik dengan tangan terbuka daripada saling berkeras. Dibutuhkan keterbukaan kedua belah pihak untuk saling mengerti. 

Nah, jika terjadi sesuatu yang tak terduga dalam hidupmu, anggap saja itu latihan berpikir luwes, kreatif, improvisasi, dan kelapangan menerima segalanya dengan baik.

Share:

Postingan Populer