Selasa, September 30, 2014
Gunung Melayang
Minggu, September 28, 2014
Belajar Dari Bangsa Indian
Saya punya teman yang selalu tampil mirip orang Indian, berambut panjang, bandana, celana jeans belel. Rambut panjangnya selalu dikepang dua. Rambut gaya Indian Apache, bukan gaya mohawk yang sekarang lagi ngetrend.
Gaya dia mengingatkan saya pada tokoh dalam buku Karl May. Bedanya dalam kehidupan sehari-hari ia tak menunggang kuda. Kalau bicara petualangan, ia selalu bersemangat. Maklum ia termasuk salah satu tokoh pecinta alam di sekolahnya.
Dari sekian banyak cerita, ada satu cerita yang menarik buat saya adalah kecintaannya pada gaya Indian. Ia menuturkan bahwa pembelajaran penting bagi seorang petualang ia dapatkan dari bangsa Indian. Orangtua-orangtua Indian akan melepaskan anak-anaknya untuk menjadi penjelajah. Mereka (para orangtua) percaya bahwa alam adalah media pendidikan yang sangat bagus untuk membentuk mental anaknya. Makanya mereka akan melepaskan anaknya untuk menjelajah pada waktu usia tertentu. Bisa jadi pada saat usia menuju dewasa dan penjelajahan adalah pendewasaan seorang anak.
Saat menjelajah, seorang Indian muda tidak akan lepas dari lima unsur penting kehidupan. Tanah, air, api, logam dan udara. Empat hal utama tanah, air, logam, dan api selalu mereka bawa kemana-mana. Tanah, mereka selalu bawa sekepal tanah kelahirannya yang disimpan dalam kantung kecil. Ini mengingatkan mereka untuk kembali setelah menjelajah jauh. Air, mereka bawa dalam bentuk selalu menyediakan air minum selama penjelajahan. Air sangat penting karena tubuh kita sangat membutuhkan asupan air untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Logam, mereka bawa dalam bentuk pisau dan mata panah. Pisau adalah senjata untuk memburu saat bertahan hidup di alam bebas. Untuk memotong kayu saat membuat bivak, dll. Udara sebenarnya tidak mereka bawa setiap saat tetapi keberadaan udara sangat penting untuk kehidupan. Api mereka bawa dalam bentuk pemantik. Api penting untuk membakar dan memasak makanan. Api juga penting untuk membuat perapian saat hari terasa dingin misalnya malam hari.
Nah, keempat unsur itu kemudian selalu saya ingat sebagai bekal dasar setiap akan bergiat di alam terbuka. Hal ini juga saya bagikan kepada siapapun yang akan bergiat. Ini sangat penting karena membuat penjelajahan menjadi sangat menarik ketika persiapan sudah matang. Ayo menjelajah lagi!
Sabtu, September 27, 2014
Hidup Hari Ini
Suatu hari menjelang sore setelah memberikan instruksi untuk siswa Pendidikan Dasar sebuah Mahasiswa Pecinta Alam dari kampus yang berada di Jalan Setiabudi, Bandung, kami berkumpul di saung yang dijadikan base camp instruktur.
Seorang teman memulai pembicaraan yang menarik, "Tahun depan, kita tidak usah bikin perencanaan pendidikan dasar, langsung sebar formulir kemudian tahap kelas dan tahap lapangan. Orang-orang yang merencanakan pasti itu lagi, ke lapangan juga itu lagi, tinggal kader tiap pos agar tahun depannya mereka tidak ribet lagi bikin perencanaan".
Sekilas perkataan itu seperti bercanda, maklum kalau ada waktu berkumpul, para panitia pasti menyegarkan suasana dengan guyon lucu. Guyonan ini biasanya muncul lagi kalau ada acara kumpul-kumpul anggota. Tak pernah bosan untuk mengulang cerita menyenangkan pada masa lalu.
Nah, kata-kata teman saya itu kemudian saya maknai dikemudian hari. Ada benarnya semua kata-kata dia walaupun ada juga tidak benarnya. Saat itu semua instruktur rata-rata sudah melaksanakan pendidikan dasar minimal dalam jangka waktu 2 tahun. Dinamika di lapangan relatif datar karena semua sudah berjalan lancar dalam relnya masing-masing.
Di sisi yang lain, ada semacam kekhawatiran menurunnya trend penerimaan anggota karena titik jenuh para anggota untuk membuat inovasi. Syukurnya ini tidak terjadi. Kegiatan organisasi tetap berjalan sebagaimana mestinya sampai hari ini.
Seandainya saja semua tidak sadar dengan dinamika dan merasa sombong atas raihan saat itu, bisa jadi organisasi Mahasiswa Pecinta Alam itu sudah lenyap. Alam mengajarkan agar kita tidak sombong. Ini juga yang didengungkan kepada setiap siswa untuk terus semangat menyalakan harapan dalam diri agar bisa memberikan yang terbaik untuk lingkungan, untuk Indonesia.
Hidup hari ini! Saat matahari tak mampu memberikan kehangatan pada tubuh kita, harapkanlah bintang yang memberikannya, jika bintangpun tak mampu, nyalakan kehangatan dari dalam diri sendiri kemudian pancarkan keluar agar orang di sekitarmu merasakan kehangatan akan hadirmu!
Trubador
Kisah para trubador (saya lupa cara nulis yang benarnya, trabadur atau trabador) saya dapatkan dari Abah Iwan atau Iwan Abdurahman saat pentas pertama kali di Padepokan Mayang Sunda setahun yang lalu (sekitar Sept 2013). Sebuah kata untuk menggambarkan seorang pemusik pengelana yang singgah di setiap daerah kemudian bercerita, mendongeng tentang kisah-kisah inspiratif dan menghibur para pendengarnya. Kuda dan gitar atau alat musik lainnya menjadi sebuah padanan yang khas.
Kisah trubador juga saya dapatkan dari buku yang berjudul Sultan dan Santo. Sebuah buku yang menceritakan kisah dibalik proses perdamaian perang salib. Di buku itu, sang santo muda sangat terobsesi kisah-kisah heroik peperangan yang diceritakan oleh trabador. Dari cerita para trubador itu santo muda kemudian bertekad bahwa kelak ia akan menjadi ksatria perang.
Kisah para trubador ini menyala tidak hanya di Eropa, Spanyol khususnya tetapi juga di kawasan Amerika terutama Amerika Latin. Tak hanya itu, trubador semalam saya temui juga di Padepokan Mayang Sunda. Adalah Abah Iwan yang mendongeng kisah-kisah inspiratif penuh dengan muatan moral yang positif tentang kehidupan, romantika jaman dahulu serta harapan yang harus terus menyala untuk hari esok masa depan kehidupan yang lebih baik.
Banyak pesan moral yang muncul dari setiap lagu Abah Iwan. Semua hal yang menyangkut kehidupan dari hal-hal kecil sampai besar tak luput dari pengamatan abah. Misalnya tentang bunga warna putih kecil yang muncul di lembah, kemudian ia temui juga di tempat lain dengan bentuk yang sama. Atau misalnya tentang pesan burung kecil yang jangan diburu dan masih banyak lagi.
Performa abah malam itu sangat maksimal. Setiap pergantian babak, abah berganti kostum. Walaupun cuma selembar kain tapi energinya sungguh sangat luar biasa. Misalnya ketika ia memakai syal Wanadri untuk menceritakan kisah bersama Wanadri, memakai baju loreng pasukan khusus untuk menceritakan kisah perjuangan, dan masih banyak lagi termasuk bergaya flamboyan lengkap dengan kacamata pilot untuk menceritakan kisah romantis bunga-bunga. Yang ditunggu tentu saja burung camar, saat abah menceritakan kisah dibalik penciptaan lagu yang kemudian dipopulerkan oleh Vina Panduwinata.
Banyak sekali alias banyak pisan energi semangat yang tercurah malam itu bersama Abah Iwan. Ia membagikan banyak ilmu pengetahuan berdasarkan pengalaman yang sudah dilewatinya. Dan satu hal yang saya catat adalah hiduplah mulai dari hari ini, nyalakan harapan dalam diri masing-masing, jangan berharap orang lain untuk menyalakan api dalam diri kita. Kasihanilah setiap orang seperti kau tidak akan hidup hari esok. Kata-kata ini mengingatkan saya pada Pho.
Minggu, Juni 01, 2014
Makna Mendaki Gunung
Menuju Pos Cibunar (dok Iden Wildensyah) |
Panorama (dok. Iden Wildensyah) |
Perjalanan Malam (dok. Iden Wildensyah) |
Di Puncak Gunung Di Atas Awan (dok. Iden Wildensyah) |
Di Puncak Gunung Ciremai dengan syal turuntangan (dok Iden Wildensyah) |
Rabu, April 02, 2014
Mandiri
Pendaki Gunung ( Iden Wildensyah - Ciremai jalur Linggarjati 2014) |