Ruang Sederhana Berbagi

Tampilkan postingan dengan label R.A. Kartini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label R.A. Kartini. Tampilkan semua postingan

Kamis, April 21, 2016

Perempuan dan Lingkungan Hidup

Setiap Hari Kartini, saya selalu mengingat sosok Vandana Shiva yang menulis buku Water Wars. Yah, dari Vandana Shiva saya kemudian menelusuri jejak-jejak perempuan dan lingkungan hidup. Vandana Shiva (bahasa Hindi: वंदना शिवा: lahir 5 November 1952) adalah cendekiawan, aktivis lingkungan, dan penulis anti-globalisasi India.Shiva yang saat ini tinggal di Delhi telah menulis lebih dari 20 buku. Ia merupakan salah satu pemimpin dan anggota dewan International Forum on Globalization (bersama Jerry Mander, Edward Goldsmith, Ralph Nader, Jeremy Rifkin, et al.) dan tokoh gerakan solidaritas global yang dikenal dengan sebutan gerakan alter-globalisasi. Ia mendukung nilai-nilai tradisional seperti yang pernah dipaparkannya dalam buku Vedic Ecology karya Ranchor Prime. Ia adalah anggota komite ilmiah Fundacion IDEAS, wadah pemikir Partai Sosialis Spanyol. Ia juga merupakan anggota International Organization for a Participatory Society. Pada tahun 1993, Shiva dianugerahi Right Livelihood Award dan sejumlah penghargaan lainnya.
Perempuan dan Lingkungan Hidup

Perempuan dan Lingkungan Hidup
Perempuan yang dilekatkan dengan sifat feminin selama berabad-abad, baik secara natural maupun kultural, lebih dekat relasinya dengan bumi. Secara natural, femininitas perempuan membawa perempuan menjadi sosok yang caring & nurturing, bernaluri merawat dan memelihara, sebagaimana perannya sebagai ibu yang mengandung dan melahirkan, yang  kemudian (secara otomatis diharapkan melakukan peran) merawat dan memelihara anak-anak yang dikandung dan dilahirkannya. Peran merawat dan memelihara itu membuat perempuan banyak berhubungan langsung dengan lingkungan dan bumi secara luas dan positif, sedangkan laki jika berhubungan dengan bumi lebih secara negatif (berburu). Perempuan menjadi bukan hanya secara otomatis lebih peduli  terhadap bumi dan segala yang hidup, namun juga menjadi lebih mudah mengidentifikasikan diri dengan bumi yang melahirkan banyak kehidupan. Sementara itu secara kultural, secara training, perempuan selama berabada-abad lebih diakrabkan dengan dunia domestik dan bercocok tanam yang lebih dekat dengan alam, maka lagi-lagi, perempuan menjadi sahabat alam, sedangkan laki-laki menjadi musuh alam.

Menurut Vandana Shiva, kesalahan sudah dimulai pada definisi mengenai ranah yang dianggap produksi, yaitu mengendai pengertian dan definisi tentang yang produktif dan tidak produktif. Menurut konsep yang sudah diterima oleh umum, yang sangat bias laki-laki, sesuatu dianggap masuk ranah produktif ketika sudah ada internvesi teknologi dan tenaga yang sayangnya adalah bias laki-laki tadi. Contohnya adalah hutan di Kalimantan yang kaya akan keaneragaman hayati dan menjadi sumber kehidupan bagi sejumlah suku dan sub-suku di Kalimantan tidak masuk dalam kategori hutan produktif, karena tidak pernah ada jamahan traktor, atau benih pabrikan, atau tangan-tangan insinyur pertanian dengan berbagai teorinya. Sama seperti mata air yang mengalir dari pegunungan, dan menghidupi jutaan orang yang dilewati sungai tersebut juga tidak dianggap sebagai produktif sampai datang para investor, memasang bendungan berkatup, atau memasukkan air ke dalam botol dan menjualnya ke masyarakat yang sebenarnya tidak membutuhkan botol-botol plastik tadi. Fakta bahwa selama ribuan tahun sebelum ada internvensi teknologi alat berat dan internvensi pabrikan tadi sudah ada tangan-tangan perempuan dan laki-laki, tetapi terutama perempuan, yang membuat hutan dan sungai mampu nenghidupi ribuan penduduk di sekitarnya, tidak bisa diperhitungkan sebagai sebuah proses produksi. Saya katakan terutama perempuan, karena dengan gender divisioan labor tradisional seperti diuraikan di atas, perempuan yang lebih banyak secara langsung berinteraksi dan memanfaatkan sumberdaya alam tersebut.

Dalam analogi demikian, kerja perempuan dalam mengambil air bersih dari mata air sampai di atas meja makan, dan atau mengambil hasil hutan dan mengubahnya menjadi makanan di atas meja makan atau bahkan di warung-warung kecil di depan rumahnya tidak masuk dalam kategori produktif.  Masih menurut Shiva, perempuan beraktifitas di ranah ekonomi subsistense, berproduksi dan reproduksi dalam kemitraan dengan alam, menjadi ahli di bidangnya secara lebih holistis dan ramah lingkungan. Namun model pengetahuan, keahlian, dan bidang produksi yang mereka lakukan itu tidak dakui oleh teori kapitalisme dan kaum reduksionis.

Menurut Shiva, kita perlu berhati-hati dengan pandangan yang selama ini seperti sudah diamini oleh dunia modern (diperkenalkan oleh Francois Bacon) bahwa “knowledge is power”.  Dalam teori Bacon, pengetahuan adalah sumber kekuasaan, karena pengetahuan sanggup menghasilkan keuntungan, memperbesar kemampuan dan kekuasaan manusia.  Shiva menganggap hal tersebut sebagai tradisi epistemologi Barat yang membawa kekuatan patriarkis dan bersifat reduksionis.  Hal ini disebabkan karena tradisi pemikiran itu mengubah kemampuan manusia untuk mengetahui alam dengan menyingkirkan cara-cara mengetahui yang berbeda yang memiliki paradigma lain, yang tidak berbicara keuntungan dalam perspektif material dan ekonomis semata, dan sekaligu pelaku pengetahuan lain tadi.

Para Perempuan Penggerak Lingkungan Hidup di Dunia
Perkembangan permintaan sumber daya di seluruh dunia telah mengancam kesehatan lingungan hidup dunia sampai ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kecuali kebijakan baru ditetapkan, situasi ini dapat memiliki implikasi menghancurkan bagi perkembangan manusia. Dalam konteks ini, wanita dan anak-anak dapat menjadi peserta yang sangat aktif dalam membela lingkungan dan menghentikan, atau bahkan membalikkan degradasi dari sumber daya alam kita.

Pada tingkat dunia, ada kesadaran yang tumbuh akan kebutuhan dan pentingnya membuat perempuan berkontribusi terhadap identifikasi masalah lingkungan, serta dalam perencanaan kegiatan-kegiatan yang diarahkan pada pembangunan yang berkesinambungan dari komunitas mereka.
Selama 200 tahun terakhir, proses industri telah bertanggung jawab atas peningkatan tingkat polusi dan degradasi udara, air, dan tanah. Selain eksploitasi sumber daya alam tak terlarang, praktek-praktek pertanian yang tidak sehat memiliki efek sangat buruk bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat dan kualitas hidup. Perempuan dan anak-anak telah sangat terpengaruh.

Perempuan , terutama yang sedang hamil, sangat rentan terhadap beberapa ancaman lingkungan, khususnya wanita yang tinggal di daerah pedesaan atau di pinggiran kota marjinal di negara-negara berkembang. Sampai saat ini, wanita memiliki beberapa pilihan akan jenis gaya hidup yang mereka ingin pimpin dan lebih sedikit kesempatan untuk mengubah kondisi yang tidak memuaskan dan meningkatkan kesehatan keluarga dan diri mereka sendiri.

Karena peranan mereka sebagai manager rumah, penyedia ekonomi, dan peran mereka dalam reproduksi, perempuan rentan terhadap masalah kesehatan dan bahaya dalam beberapa situasi. Terutama sistem reproduksi perempuan hamil rentan terhadap kontaminasi lingkungan. Setiap langkah dalam proses reproduksi dapat diubah oleh zat-zat beracun di dalam lingkungannya. Zat-zat beracun ini dapat meningkatkan resiko aborsi, cacat lahir, keterbelakangan pertumbuhan janin, dan kematian pra-lahir.

Meskipun dalam waktu lama perempuan telah dianggap sebagai penerima bantuan pasif, bukan peserta aktif dalam pembangunan, peranan mereka sangat penting baik bagi perekonomian negara-negara berkembang maupun untuk masa depan lingkungan. Dalam hal itu, sebagai pendidik lingkungan dan motivator bagi perubahan, perempuan adalah agen kunci dalam proses yang mengarah ke pembangunan yang lebih berkelanjutan dan sehat di planet ini.

Perempuan adalah pelindung tradisional lingkungan. Sebuah survei dunia akan sikap publik terhadap lingkungan yang disponsori oleh Program Lingkungan PBB menunjukkan bahwa wanita, bila dibandingkan dengan laki-laki, lebih cenderung memilih standar hidup yang lebih rendah dengan resiko kesehatan yang lebih sedikit daripada standar hidup yang lebih tinggi dengan resiko kesehatan yang lebih.

Mungkin contoh terbaik akan partisipasi perempuan dalam kegiatan lingkungan diwakili oleh pemenang Hadiah Nobel Wangari Maathai, pendiri gerakan Green Belt. Melalui usahanya, lebih dari 30 juta pohon telah ditanam oleh para partisipan gerakan ini di tanah publik dan swasta. Karyanya telah memimpin pemulihan hutan-hutan Kenya yang berkurang cepat dan telah memberdayakan perempuan pedesaan dalam teknik pelestarian lingkungan.

Di Nepal, Saraswoti Bhetwal telah mampu bertahan sebagai petani berkat teknik-teknik yang dipelajari di Pusat Internasional bagi Pembangunan Pegunungan Terpadu (PIPP), seperti pemanenan atap air, irigasi tetes, pembuatan kompos, dan pemerataan teras.

Di Amerika Latin, perempuan pribumi menjadi lebih aktif dalam penggunaan strategi pengurangan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan.

Selain itu, peningkatan partisipasi perempuan dalam sumber-sumber pemikir dan aktivitas pelatihan lingkungan yang memungkinkan mereka untuk mendidik masyarakat dan pembuat kebijakan tentang hubungan penting antara wanita, penggunaan sumber daya alam, dan pembangunan berkelanjutan.

Dalam hal itu, perempuan memiliki akses yang lebih baik ke isu-isu lingkungan lokal dan bagaimana untuk melakukan pendekatan dibandingkan dengan pria. Perempuan sering memiliki peran kepemimpinan dalam mengurangi penggunaan yang tidak perlu terhadap sumber daya, mempromosikan etika lingkungan, dan daur ulang sumber daya untuk meminimalkan limbah.

Ada bukti yang berkembang bahwa perempuan di beberapa negara di seluruh dunia mengambil peran sentral dalam gerakan penting lingkungan. Dan ada peningkatan keyakinan bahwa kebijakan pembangunan yang tidak melibatkan wanita dan juga seperti halnya laki-laki tidak akan sukses dalam jangka panjang. (artikel ini diolah dari berbagai sumber)
Share:

Senin, April 21, 2014

Perempuan Pemanjat Tebing

Perkenalan saya dengan dunia panjat tebing bermula dari pendidikan dasar pecinta alam di kampus. Saya terjebak sebetulnya, terjebak menikmati! Yah, di pendidikan dasar pecinta alam saya mengenal panjat tebing dan kegiatan alam terbuka lainnya. Teman saya yang mengajak untuk mengikuti pendidikan dasar. Ia yang awalnya antusias tetapi sayang pada saat tahap lapangan, ia sakit sehingga tidak bisa mengikuti. Tahun kedua kuliah, ia baru ikutan lagi. Saya, jadi instrukturnya. Saya sudah jadi anggota pecinta alam sebelum dia. Oh iya, nama saya Sekar Andina Putri.

The Climber (fineartamerica.com)
Citatah, saya tahu nama itu karena setiap kali pulang dari kota tempat saya kuliah ke rumah, saya melewatinya. Dari dalam bis, saya menatap jajaran tebing-tebing kapur itu sambil berharap suatu saat bisa mendatanginya untuk merasakan lebih dekat. Saat pendidikan dasar itulah saya bisa berada dekat dan memanjatnya sampai ke pertengahan tebing. Tidak sampai puncak karena komando pendidikan dasar sudah menetapkan jalur yang harus dilewatinya. Ternyata, susah payah saya memanjat tebing tersebut. Kalau bukan semangat, saya sudah mengundurkan diri saat kesulitan memanjat tebing. Tapi pengalaman inilah yang mengantarkan saya pada dunia yang kemudian menjadi bagian dari aktivitas keseharian saya.

Selesai pendidikan dasar, berbekal uang tabungan serta urunan para anggota pecinta alam di kampus, saya ikut sekolah panjat tebing. Sekolah lanjutan untuk yang berminat mendalaminya. Ada banyak kelas yang diselenggarakan seperti kelas dasar pemanjat pemula, fotografi, dan vertical rescue. Saya ambil kelas dasar pemula. Tahun berikutnya saya ambil fotografi dan vertical rescue. Karena mencintai dunia panjat tebing, saya pun semakin senang melakukan ekspedisi ke tebing-tebing alam. Kejuaran-kejuaraan panjat tebing yang dilakukan oleh pecinta alam, federasi, dan juga organisasi lainnya sering saya ikuti. Kejuaraan dari tingkat daerah, piala presiden, piala menpora, tingkat nasional, dan tingkat internasional pernah saya ikuti.

Perkuliahan, tentu saja saya perhatikan. Bersyukur beberapa dosen sangat mengerti dengan dunia saya. Apalagi kalau mereka tahu prestasi terbaiknya diukir oleh mahasiswinya, mereka senang dan perguruan tinggi tempat saya kuliah pun ikut bangga.

Berada di lingkungan yang didominasi laki-laki tidak membuat saya risih, apalagi saya tahu mereka sangat hormat pada perempuan. Saya tahu mereka dan percaya sepenuhnya mereka yang berada di sekitar saya adalah orang-orang baik yang selalu mendukung, menyemangati, dan mencandai saat berada di alam terbuka. Perempuan tidak harus berada di rumah saja, saya selalu ingat kata-kata ibu. Mungkin ibu juga termasuk perempuan mandiri. Saya ingat sosok R. A. Kartini dengan perjuangan emansipasinya. Jujur saja perjuangan R. A. Kartini menginspirasi saya. Sebagai pemanjat tebing, saya menyukai tantangan-tantangan dan perjuangan sesudah berhasil melewatinya adalah kenikmatan tersendiri. Saya perempuan mandiri, pejuang, dan pemanjat tebing.
Share:

Postingan Populer