Salah satu hal yang selalu saya ingat tentang pelajaran mandiri
adalah saat mendaki gunung. Selalu terngiang bahwa mendaki gunung itu adalah
proses memadukan kesiapan mental dan fisik. Kemandirian terbangun saat saya
harus menyiapkan segala sesuatu secara sendiri, menyiapkan alat dan perbekalan
bahan makanan yang cukup selama pendakian. Tidak mengandalkan orang lain untuk
memenuhi kebutuhan selama di gunung. Tidak lucu jika kita meminjam barang orang
lain hanya karena kita tidak bisa membawanya. Perlengkapan minimal harus
benar-benar disiapkan secara matang. Peralatan atau perlengkapan tersebut
di-packing dalam tas ransel yang memadai untuk dibawa sendiri.
Pendaki Gunung ( Iden Wildensyah - Ciremai jalur Linggarjati 2014) |
Pendaki gunung itu harus mandiri, jika belum bisa mandiri,
minimalnya jangan merepotkan orang lain. Penuhi kebutuhan diri sendiri baru
menolong orang lain. Siapkan fisik agar bisa kuat mendaki dan menuruni gunung,
siapkan peralatan dan perbekalan agar bisa mendukung kebutuhan fisik kita.
Siapkan mental agar selamat dan sampai tujuan serta bisa pulang dengan baik.
Tentang kemandirian ini, ada sebuah kisah Gandhi yang sangat
menarik yang dituliskan oleh Eknath Easwaran.
"Aku tengah mengawali kehidupan yang dipenuhi kemudahan dan
kenyamanan, tetapi eksperimennya terlalu singkat. Meskipun aku telah melengkapi
rumah dengan perhatian, semua itu tidak mampu membuatku betah. Maka, segera
setelah memulai usaha dalam kehidupan itu, aku mulai mengurangi pengeluaran.
Tagihan tukang cuci sangat berat dan meskipun tepat waktu, dua hingga tiga
lusin kemeja dan kaus yang tersedia terbukti tidak cukup bagiku. Kaus harus
berganti setiap hari dan kemeja kalau tidak setiap hari, setidaknya dua hari
sekali. Ini berarti pengeluaran dua kali lipat yang bagiku tampak tidak perlu.
Oleh karena itu, aku melengkapi diriku dengan perlengkapan mencuci untuk
menghematnya. Aku membeli buku tentang mencuci, mempelajari seninya, dan
mengajarkanya kepada istriku. Ini tidak diragukan lagi menambah pekerjaanku,
tetapi kebaruannya membuatnya menyenangkan.
Aku takkan pernah melupakan kaus pertama yang aku cuci sendiri.
Aku menggunakan kanji lebih banyak daripada yang kuperlukan, setrikanya tidak
dibuat cukup panas, dan karena takut membakar kausnya, aku tidak cukup keras
menekannya. Hasilnya adalah, meskipun kausnya cukup kaku, kanji yang berlebihan
terus berjatuhan darinya. Aku berangkat ke pengadilan dengan mengenakan kerah
itu hingga mengundang tawa kawan-kawan pengacara. Namun, bahkan pada masa itu
aku bisa sangat tidak peduli jika menjadi bahan tertawaan.
Dengan cara yang sama, sebagaimana aku melepaskan diriku dari
perbudakan tukang cuci, aku membuang ketergantungan pada pemangkas rambut.
Semua orang yang pergi ke Inggris belajar setidaknya seni bercukur, tetapi
tidak ada, setahuku, mereka belajar untuk memangkas rambut mereka sendiri. Aku
pun harus mempelajari itu. Pernah aku pergi ke seorang pemangkas rambut di
Pretoria. Dengan meremehkan ia menolak untuk memotong rambutku. Tentu saja aku
merasa terluka, tetapi aku segera membeli sepasang gunting dan memotong rambutku
di depan cermin. Aku kurang lebih berhasil memotong rambut bagian depan, tetapi
aku merusak bagian belakang. Kawan-kawan di pengadilan tertawa terbahak-bahak.
‘Ada apa dengan rambutmu, Gandhi? Tikus menggigitinya?’
‘Bukan. Tukang cukur kulit putih tidak berkenan menyentuh rambutku
yang hitam,’ jawabku, ‘jadi aku lebih suka memotongnya sendiri, tak peduli
seburuk apa.”