Dalam perkembangan filsafat, setiap waktu selalu menarik
untuk melihat transisi-transisi yang memengaruhi pemikiran selanjutnya.
Pergolakan pemikiran akan terus berlanjut selama manusia masih menggunakan
otaknya untuk berpikir. Manusia masih bertanya-tanya tentang fenomena yang
terjadi. Dahulu dengan sekarang pada hakikatnya tidak jauh berbeda. Teknologi
yang berkembang sekarang hanya pembeda kecilnya.
Pada kenyataannya, transisi ini selalu memberikan hal yang
unik karena sebagai pembaca, saya menemukan sisi-sisi yang menjadi referensi
buat pemikiran yang akan datang. Pada masa transisi ini juga lahir tokoh-tokoh
baru yang melawan, mengkritik, atau mendukung pemikiran sebelumnya. Eh kalau
ditelusuri lebih jauh juga ternyata kehadiran pemikir semacam Plato, Socrates, Aristoteles
juga karena ada sebuah kondisi transisi. Mereka kemudian memberikan ide-ide dan
menyebarkan konsep tersebut kepada khalayak banyak pada masanya.
Philosophy |
Dari sekian banyak filsuf di masa lalu, adakah yang tahu
siapa Maimonides, Averroes, Aristophanes, dan perannya di tengah-tengah para
filsuf terkenal seperti Thomas Aquinas, Ibnu Sina, dan lain-lain. Mereka adalah
filsuf yang muncul di tengah-tengah untuk menyeimbangkan antara pemikiran
sebelumnya dengan fenomena yang sedang terjadi.
Maimonides (1135-1204) misalnya, ia adalah seorang filsuf
Yahudi yang melihat ada hutang terhadap orang Arab pengikut Aristoteles.
Karyanya yang paling terkenal adalah Guide for the Perplexed, di mana dia
mencoba mengharmoniskan ajaran Aristoteles dengan Judaisme. Dia mengatakan
bahwa baik Muhammad maupun Aristoteles tidak memberikan kita catatan yang
meyakinkan tentang kebenaran, tetapi bahwa usaha mencari kebenaran harus
dilihat sebagai suatu misi spiritual. (Neil Turnbull, Filsafat, Hal 87)
Beda dengan Maimonides, Aristophanes adalah sosok yang
menyerang Socrates. Socrates sering disangka seorang sofis. Aristophanes (448 –
388 SM), seorang penulis naskah drama yang menyerang Socrates sebagai pemilik
ilmu bodoh dalam dramanya yang berjudul The
Clouds. Namun, Socrates bukanlah seorang sofis. Ia malah berusaha mencegah
filsafat terlibat dalam kebudayaan sinis pasar Athena (agora).
Thomas Hobbes dan
Pergeseran Cara Berpikir
Berbeda dengan para pemikir sebelumnya, Thomas Hobbes hadir
menjadi filsuf pertama yang memberikan contoh pergeseran cara berpikir. Bagi
para rasionalis awal, tidak ada pengetahuan pasti selain pengetahuan matematis.
Matematika dilihat para pemikir teknokrasi sebagai dasar yang paling jelas,
ringkas, dan aman untuk membangun teknokrasi baru.
Thomas Hobbes (1588-1679) berasal dari Inggris, Hobbes
berkarya pada masa perselisihan paling tegang antara para modernis dan generasi
kuno, yaitu pada masa perang saudara Inggris (1642-1648). Menurut Hobbes, jika dibiarkan bertindak menurut sifat
aslinya, manusia tidak memiliki moral sama sekali. Altruisme, yaitu gagasan
bahwa kita harus menghargai orang lain seperti kita menghargai diri sendiri,
hanya ilusi. Oleh sebab itu, masyarakat yang kekurangan pussat-pusat kekuasaan
untuk mengendalikan sifat egoisnya akan berubah menjadi anarkis. Pada kondisi
itu, kehidupan manusia terpencil, buruk, kasar, dan kerdil. Satu-satunya cara
untuk menekan watak alami kita, menurut Hobbes, adalah dengan menyerahkan
kehendak kita kepada Leviathan yang maha kuasa. Leviathan adalah penguasa
imajiner yang memaksa manusia hidup beradab.
Ada banyak sekali pemimpin-pemimpin imajiner di sekitar kita
yang menguasai manusia secara tidak sadar. Mereka yang digerakan tanpa berpikir
lebih mudah dikuasai oleh para pemimpin imajiner seperti itu. Dalam konteks
kekinian, banyak sekali tokoh-tokoh politik yang bergerak dan muncul ke depan
sementara pemimpinnya yang tidak kelihatan mengendalikan di luar kuasa dirinya.