Ruang Sederhana Berbagi

Senin, April 07, 2014

Parkir Nyaman

Tak pernah terbayang sebelumnya bahwa saya harus berada di tempat ini. Pelataran toko yang menjual alat musik. Dulu saya bercita-cita menjadi pemain sepakbola. Waktu kecil di kampung, saya bermain sangat lincah bahkan beberapa guru SD menjuluki saya si Maradona.

Pergi ke kota awalnya diajak teman berjualan. Tapi karena tidak punya bakat menjual, rasanya jualan saya tak laku-laku. Lalu menjadi kuli bangunan, rasanya cape. Perkenalan dengan remaja-remaja kota yang sering nongkrong membawa saya ke tempat ini.

Mulailah saya mengikuti gaya mereka. Bergerombol mengikuti acara musik dari satu tempat ke tempat lain. Gaya-gaya berpakaian saya tiru sedemikian rupa. Termasuk tato, ya, tato. Saya punya tato di beberapa bagian tubuh. Tanganlah yang paling banyak. Saya menyukainya karena senang berada dalam lingkungan yang bertato juga. Dulu tak pernah punya bayangan akan memiliki tato. Bahkan kalau saya balik ke kampung, tato ini membuat beberapa teman lama saya jadi bergidik. Saya dianggap menjadi manusia bebas alias preman. Bukan, saya bukan preman sekarang. Saya menjalani keseharian sebagai tukang parkir.

Sampai memilih dan menyenangi berada di tempat ini, panjang ceritanya. Sekarang saya sudah menikah dan memiliki satu anak laki-laki. Untuk
Membiayai kontrakan rumah dan menghidupi keluarga, saya harus bekerja. Sayangnya pekerjaan yang saya idamkan tidak mungkin saya dapatkan. Jadilah saya nikmati keseharian di sini.

Setiap hari setelah mengantar anak sekolah, saya menuju pelataran toko ini untuk mengatur parkir. Tempat parkirnya tidak begitu luas tapi cukup menampung 10 mobil. Jika satu mobil Rp 2.000,-  berarti saya mendapat Rp 20.000,- dalam satu sampai dua jam. Sisanya yang lima menitan. Sehari saya bisa membawa ke rumah bersih Rp 100.000 -  250.000,- bahkan bisa lebih kalau sudah banyak yang parkir. Terutama pada akhir minggu saat banyak pengunjung.

Saya mengatur sedemikian rupa agar mobil biasa parkir dengan teratur dan rapi. Menjadi kepuasan tersendiri jika banyak mobil yang parkir dengan rapi dan tanpa keluhan sedikitpun baik dari pengendara maupun dari pedagang yang ada di sana. Oh iya, mereka sudah saya anggap teman-teman sendiri. Gak pernah ada yang mengganggu mereka. Kalau ada, saya hadapi saja. Kasihan kalau tidak ada yang membela. Apalagi pedagang di sini sudah tua-tua.

Di pelataran toko musik sebelah toko baju, ada seorang penjahit. Lebih tepatnya dia menerima jasa vermak jeans. Menunggu dari dalam pembeli yang ukuran celana jeansnya kepanjangan. Ia bantu agar sesuai dengan keinginan pembeli. Namanya Kang Maman. Seusia saya dan selalu jadi teman mengobrol yang menyenangkan. Ia suka bola, kalau sudah bicara team kesayangannya, ia bisa berbusa-busa.
Share:

Minggu, April 06, 2014

Balincong

Alat ini setia menemani saya sehari-hari. Selain balincong, saya juga membawa satu rancatan dan dua tanggungannya. Dua alat ini menjadi wajib bagi pekerja seperti saya. Balincong untuk menggali dan tanggungan untuk membawa galian tanahnya ke sisi yang lain.

Pekerjaan menggali tanah sudah lama saya tekuni. Saya Udin dari kampung yang jauh jaraknya dari kota ini. Setiap hari saya mangkal di depan kantor wilayah. Menunggu orang yang butuh jasa penggali tanah. Mereka adalah adalah para kontraktor yang sedang membangun rumah, gedung, dan lain-lain. Sekarang mulai baru walaupun tidak baru-baru banget, kontraktor untuk saluran telekomunikasi. Mereka menanam kabel di bawah tanah sepanjang jalan. 

Rejeki buat saya jika ada kontraktor seperti itu. Apalagi galiannya panjang, bisa berhari-hari bahkan bisa berbulan-bulan. Rupa-rupa kabel mulai dari ukuran sampai warnanya. Ada kabel yang satuan, ada kabel kecil-kecil yang dibungkus jadi besar. Menarik bersama-sama setelah mendapatkan lubang galiannya.

Selain para kontraktor, ada juga yang menggunakan jasa tukang gali untuk keperluan rumah tangga seperti membuat galian sumur, galian saluran air, galian pondasi baru, dan galian untuk tanah. 

Kalau sedang bekerja di rumah, kadang saya ingat anak-anak di kampung. Mereka masih kecil-kecil. Sekarang tinggal sama ibunya. Sekali dalam sebulan saya pulang ke kampung. Menengok anak dan istri juga sawah. Yah, saya punya sawah. Pergi ke kota itu mengisi waktu setelah sawah beres saya tanami. Giliran mau panen, saya pasti pulang dulu untuk memanen padi yang sudah menguning.

Aneh rasanya jika tinggal terlalu lama di kampung. Sepi, saya lebih suka mangkal sebagai tukang gali. Walaupun meninggalkan anak dan istri di kampung tapi ada perasaan puas karena saya bisa menafkahi mereka dari hasil menggali di kota. Mereka tak keberatan karena saya penuhi kebutuhan sehari-harinya. Kalaupun kehabisan uang, mereka tinggal nganjuk (ngutang) di warung kemudian dibayar saat saya pulang.

Demikian halnya dengan saya di sini. Jika tidak ada uang karena belum dapat pekerjaan, saya nganjuk saja. Pemilik warung sudah biasa. Mereka tahu dan percaya bahwa saya akan membayar setelah mendapat bayaran dari pekerjaan menggali tanah.

Buat saya, menggali tanah sudah jadi keseharian saya dalam hidup ini. Saya tak pernah mengeluh saat ada pekerjaan atau belum mendapat pekerjaan. Saya tahu Tuhan Maha Adil. Ia akan selalu memberi rejekiNya selama kita berusaha. Saat mendapat pekerjaan, saya bersyukur demikian juga saat saya harus menunggu, saya tetap bersyukur.

Saat menunggu, saya bisa bercengkrama dengan teman-teman dari kampung dan juga mereka yang bekerja di bidang yang lain seperti berdagang. Sering banyak pedagang lewat tempat mangkal saya. Misalnya Mang Ihin yang jualan bandros, dan Mas Narno yang jualan tahu gejrot. 
Kampung halaman (iden wildensyah, 2014)
Share:

Jumat, April 04, 2014

Bandros Mang Ihin

Senang rasanya saat mendengar Banderos menjadi salah satu ikon kota Bandung. Bagaimana tidak, banderos atau bandros adalah jajanan yang saya jual setiap hari. Oh iya, nama saya Ihin, anak-anak memanggil saya Mang Ihin. Terutama anak-anak SD tempat saya nongkrong sudah mengenal saya dengan sebutan Mang Ihin.

Bandros 
Masih sederhana, saya menggunakan dua tanggungan yang dipanggul dengan rancatan. Masih menggunakan kompor dengan arang untuk membuat bandros.

Pagi-pagi sekali saya mencari bahan-bahan untuk membuat bandros ke pasar. Saya bertemu banyak orang, ada yang membeli sayuran, makanan, dan berbagai macam barang segar di warung. Bandros merupakan salah satu jajanan yang banyak ditemui di daerah Jawa Barat. Saya jualan bandros juga turun temurun dari kakek dan ayah. Dulu mereka jualan dan sekarang giliran saya.

Membuat bandros itu tidak sulit, walaupun pada awalnya saya mencoba, rasanya selalu ada yang kurang. Cara membuatnya adalah dengan mencampur kelapa parut, tepung beras dan garam, lalu tuang santan sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga tercampur rata. Setelah itu panaskan cetakkan bandros, olesi dengan sedikit minyak, tuang adonan ke dalam cetakan hingga penuh, kemudian tutup.

Oh iya, nih saya beri resepnya 3/4 sdm garam halus, 2 sdm minyak goreng untuk olesan, 30 gram gula pasir (untuk taburan saat penyajian), 650 ml santan kelapa, 250 gram tepung beras, 100 gram kelapa parut. Kelapa parut ini diperas sedikit.

Nah setelah itu baru panggang di atas bara api kecil hingga matang dan di kedua sisinya garing, angkat. Bandro siap saya jual kepada pembeli di perumahan atau di sekolah-sekolah dasar tempat biasa saya nangkring.

Saya berangkat setiap jam 8 pagi. Menjelang anak-anak istirahat yaitu pukul 9.00 sampai 10.00. bahkan saya bisa menunggu sampai pukul 13.00 berharap masih ada yang mau membeli menjelang mereka pulang ke rumah.

Setelah sekolahan bubar, saya berjualan di perumahan. Melewati gang-gang kecil lalu tunggu sebentar. Di lapangan atau bersyukur jika ada keramaian, saya bisa lama nongkrongnya. Keramaian yang memancing banyak orang berdatangan bisa menjadi rejeki buat saya. Paling tidak saya bisa menjual banyak di saat-saat seperti itu.

Saya senang menjalani keseharian ini. Buat saya, menjual bandros itu bukan hanya usaha tetapi lebih dari itu, saya melestarikan makanan lokal. Yah, makanan lokal tersebut sekarang tergerus oleh makanan-makanan dari luar. Anak-anak sepertinya mulai meninggalkan makanan tradisional karena menganggap kuno dan ketinggalan jaman. Tapi saya masih yakin, ada banyak orang yang tetap menginginkan bernostalgia dengan makanan seperti bandros yang saya jual ini.


Salah satu orang yang selalu menjadi langganan saya adalah Mang Udin. Ia sering nongkrong dekat kantor wilayah. Ia dan temannya seperti rindu masa kecil, rindu kampung halamannya kalau sedang mencicipi bandros saya. Mang Udin adalah buruh tukang gali yang sudah lama menjalani profesinya.
Share:

Rabu, April 02, 2014

Mandiri

Salah satu hal yang selalu saya ingat tentang pelajaran mandiri adalah saat mendaki gunung. Selalu terngiang bahwa mendaki gunung itu adalah proses memadukan kesiapan mental dan fisik. Kemandirian terbangun saat saya harus menyiapkan segala sesuatu secara sendiri, menyiapkan alat dan perbekalan bahan makanan yang cukup selama pendakian. Tidak mengandalkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan selama di gunung. Tidak lucu jika kita meminjam barang orang lain hanya karena kita tidak bisa membawanya. Perlengkapan minimal harus benar-benar disiapkan secara matang. Peralatan atau perlengkapan tersebut di-packing dalam tas ransel yang memadai untuk dibawa sendiri.
Pendaki Gunung ( Iden Wildensyah - Ciremai jalur Linggarjati 2014)

Pendaki gunung itu harus mandiri, jika belum bisa mandiri, minimalnya jangan merepotkan orang lain. Penuhi kebutuhan diri sendiri baru menolong orang lain. Siapkan fisik agar bisa kuat mendaki dan menuruni gunung, siapkan peralatan dan perbekalan agar bisa mendukung kebutuhan fisik kita. Siapkan mental agar selamat dan sampai tujuan serta bisa pulang dengan baik.

Tentang kemandirian ini, ada sebuah kisah Gandhi yang sangat menarik yang dituliskan oleh Eknath Easwaran. 

"Aku tengah mengawali kehidupan yang dipenuhi kemudahan dan kenyamanan, tetapi eksperimennya terlalu singkat. Meskipun aku telah melengkapi rumah dengan perhatian, semua itu tidak mampu membuatku betah. Maka, segera setelah memulai usaha dalam kehidupan itu, aku mulai mengurangi pengeluaran. Tagihan tukang cuci sangat berat dan meskipun tepat waktu, dua hingga tiga lusin kemeja dan kaus yang tersedia terbukti tidak cukup bagiku. Kaus harus berganti setiap hari dan kemeja kalau tidak setiap hari, setidaknya dua hari sekali. Ini berarti pengeluaran dua kali lipat yang bagiku tampak tidak perlu. Oleh karena itu, aku melengkapi diriku dengan perlengkapan mencuci untuk menghematnya. Aku membeli buku tentang mencuci, mempelajari seninya, dan mengajarkanya kepada istriku. Ini tidak diragukan lagi menambah pekerjaanku, tetapi kebaruannya membuatnya menyenangkan.

Aku takkan pernah melupakan kaus pertama yang aku cuci sendiri. Aku menggunakan kanji lebih banyak daripada yang kuperlukan, setrikanya tidak dibuat cukup panas, dan karena takut membakar kausnya, aku tidak cukup keras menekannya. Hasilnya adalah, meskipun kausnya cukup kaku, kanji yang berlebihan terus berjatuhan darinya. Aku berangkat ke pengadilan dengan mengenakan kerah itu hingga mengundang tawa kawan-kawan pengacara. Namun, bahkan pada masa itu aku bisa sangat tidak peduli jika menjadi bahan tertawaan.

Dengan cara yang sama, sebagaimana aku melepaskan diriku dari perbudakan tukang cuci, aku membuang ketergantungan pada pemangkas rambut. Semua orang yang pergi ke Inggris belajar setidaknya seni bercukur, tetapi tidak ada, setahuku, mereka belajar untuk memangkas rambut mereka sendiri. Aku pun harus mempelajari itu. Pernah aku pergi ke seorang pemangkas rambut di Pretoria. Dengan meremehkan ia menolak untuk memotong rambutku. Tentu saja aku merasa terluka, tetapi aku segera membeli sepasang gunting dan memotong rambutku di depan cermin. Aku kurang lebih berhasil memotong rambut bagian depan, tetapi aku merusak bagian belakang. Kawan-kawan di pengadilan tertawa terbahak-bahak.
‘Ada apa dengan rambutmu, Gandhi? Tikus menggigitinya?’
‘Bukan. Tukang cukur kulit putih tidak berkenan menyentuh rambutku yang hitam,’ jawabku, ‘jadi aku lebih suka memotongnya sendiri, tak peduli seburuk apa.”





Share:

Jumat, Maret 28, 2014

Sepeda Sayur

Awalnya saya berniat menggunakan gerobak untuk jualan sayur ini. Tetapi sepeda yang saya punya menjadi nganggur. Setelah berdiskusi dengan teman, maka diputuskanlah saya menggunakan sepeda dengan tambahan bagain belakang untuk sayuran yang akan saya jual.

Berbeda dengan gerobak sayur yang didorong, saya mendapat keuntungan saat jalanan menurun dan datar. Tinggal naik lalu saya kayuh. Lumayan juga meringankan beban biaya transportasi saat saya harus belanja ke pasar pagi-pagi untuk berburu sayuran segar. Di pasar, saya bertemu juga dengan beberapa tukang sayur. Kadang berburu paling pagi agar dapat sayuran yang lebih segar sebelum dipilih yang lain.

Sepeda Sayur
Dengan sepeda yang saya sebut sebagai sepeda sayur, saya bisa melewati lorong-lorong sempit gang untuk melayani kebutuhan pembeli yang biasa. Sayuran yang saya bawa tidak sebanyak gerobak dorong, tetapi saya selalu berusaha memenuhi kebutuhan keluarga yang ingin makanan sehat secukupnya. Jika ada yang merasa kurang, saya beri alternatif untuk menunggu besok dengan memesan terlebih dahulu atau saya bilang, secukupnya saja biar tidak busuk.

Saya merasakan setiap hari berbeda, walaupun melewati jalur yang sama. Saya bisa tahu setiap kebutuhan keluarga yang langganan membeli sayuran kepada saya. Mereka menunggu saya dan saya tahu semua sudah diatur. Jadi, saya jalani setiap hari dengan pikiran bahwa dagangan saya hari ini habis.

Oh iya, ada juga sesama tukang sayur yang sering berada di jalur yang sama dengan saya. Namanya Didi, ia menggunakan gerobak dorong. Saya tidak merasa ia sebagai saingan. Begitu juga dengan Didi, ia tidak merasakan bahwa saya adalah saingannya. Kadang kita berbagi kesempatan, misalnya saat langganan menginginkan sesuatu yang tidak ada di dagangannya, Didi sering menyarankan untuk menunggu saya. Demikian juga sebaliknya, jika di dagangan saya tidak ada, saya berharap Didi masih tersedia banyak.

Tuhan tak pernah keliru menyisihkan rejekinya. Sekalipun sama-sama berdagang sayuran, saya masih bisa meraih sedikit-sedikit pembeli yang cukup untuk memenuhi modal dagang besok harinya. Saya melihat setiap hari demikian adanya dengan pasrah pada Tuhan Yang Maha Esa. Tak pernah mengeluh karena hujan atau apapun. Saya juga belajar banyak dari tukang banderos yang sudah lebih lama berjualan dan tetap setia berjualan sampai saat ini. Namanya Mang Ihin.
Share:

Rabu, Maret 26, 2014

Tukang Sayur

Nama saya Didi, orang menyebut saya mang Didi. Sapaan mang bagi orang Sunda adalah bentuk akrab, biasanya lebih tua dari panggilan Aa. Misalnya A Didi, saya lebih suka dipanggil mang Didi saja walaupun usia saya belum terlalu tua untuk ukuran emang-emang. Tak apa, yang penting panggilan itu mengakrabkan saya dengan orang lain.

Sayuran Sehat
Setiap pagi saya bergegas menuju pasar di dekat rumah. Pagi sebelum subuh sudah menunggu sayuran datang dibongkar dari mobil bak terbuka yang datang dari daerah Lembang atau Pangalengan. Sayuran segar yang akan saya jajakan setiap harinya. Dengan modal seperti biasa, saya merencanakan semuanya dengan matang. Bersyukur jika sayuran yang saya inginkan tersedia, saya bisa menjajakan sesuai rencana. Jikapun tidak ada, paling saya coba alihkan untuk membeli sayuran jenis lainnya yang tersedia. Oh iya, kadang saya mengingat pesanan ibu-ibu langganan yang memesan sayuran yang sebelumnya tidak ada.

Sehabis sholat subuh, saya menyiapkan segala kebutuhan untuk dagang hari ini. Roda yang biasa saya gunakan ditata sedemikian rupa agar terlihat menarik perhatian pembeli. Sayuran yang lebih segar disimpan di samping kiri, di tengah saya simpan ikan, daging, dan sayuran yang berat dan tak mungkin di simpan di tiang. Sayuran seperti kol, kentang, wortel, tomat, dan labu, pasti akan saya simpan di tengah gerobak.

Timbangan, saya simpan di dekat pegangan untuk mendorong agar saya bisa mengontrol jika sesekali terlepas atau butuh menimbang dengan cepat. Tatakan untuk memotong daging dan ikan, saya simpan di bawah roda. Saya sediakan tempatnya khusus berdekatan dengan ember yang membawa air.

Pagi hari, tepat jam 6 saya berkeliling komplek. Melewati gang-gang yang juga tempat langganan saya. Di belokan gang sebelum memasuki komplek perumahan, saya menunggu pembeli. Biasanya ibu-ibu sudah menunggu di sana. Kalau belum terlihat, saya akan teriak, "sayuuuuuuurrr!" Teriakan khas yang sengaja saya buat agar menarik perhatian pembeli. Syukur-syukur dapat langgangan baru. Lumayan bisa menambah penghasilan hari ini.

Sangat menarik! saya senang melayani mereka semua. Ada kesenangan ketika saya mampu memberikan pelayanan yang sesuai dengan harapan mereka. Tawar menawar itu sebuah hal biasa. Saya tak bisa menolak itu. Saya hanya menyiasati untuk menaikan harga sedikit untuk mengambil untung, istilahnya ongkos belanja ke pasar. Ongkos cape menawar di pasar. Kalaupun menawar, saya tidak mengurangi dari modal yang saya keluarkan. Jikapun pas-pasan antara modal dengan harga jual, saya terima saja. Mudah-mudahan sayuran yang dimakan keluarganya menjadi kebaikan buat saya. Saya menikmati keseharian menjual sayuran, lauk pauk, dan daging ini.

Selain saya, ada teman saya juga yang menggunakan jalur ini. Bedanya ia menggunakan sepeda. Namanya mang Yana.
Share:

Selasa, Maret 18, 2014

Cinta dan Impian

Apa itu cinta? Cinta adalah sebuah kisah antara aku dan kamu. Banyak orang menafsir cinta. Ketika menggambarkannya, setiap kita punya rasa yang berbeda. Sebuah kisah berikut ini sangat menarik untuk menggambarkan cinta dan impian.

Seorang perempuan muda yang tidak berpakaian hitam mendekat. Dia membawa bejana di bahunya, dan kepalanya tertutup kerudung, tapi wajahnya terbuka. Si bocah mendekatinya untuk bertanya tentang sang alkemis itu.

Saat itulah si bocah merasa waktu berhenti, dan Jiwa Buana menyentak keluar dari dalam dirinya. Ketika dia menatap gadis itu, dan melihat bibirnya bersikap antara tertawa dan diam, dia mengerti bagian terpenting dari bahasa yang digunakan oleh seluruh dunia - bahasa yang bisa dipahami oleh setiap orang di bumi dengan hati mereka. Itulah cinta. Sesuatu yang lebih tua dari umat manusia, lebih purba dari gurun. Sesuatu yang menggunakan daya yang sama kapanpun dua pasang mata bertemu, seperti mata mereka kini dan di sini, di sumur ini. 

Gadis itu tersenyum, dan itu pastilah sebuah pertanda - pertanda yang telah dinantinya, sepanjang hidupnya. Pertanda yang dicarinya bersama domba-dombanya dan dalam buku-bukunya, dalam kristal-kristal dan dalam kesunyian gurun.

Itulah Bahasa Buana yang murni. Ia tidak membutuhkan penjelasan, sebagaimana alam semesta tak memerlukan apapun saat berjalan melewati waktu yang tiada akhir. Apa yang dirasakan si bocah pada saat itu adalah bahwa dia berada di hadapan satu-satunya perempuan dalam hidupnya, dan bahwa, tanpa perlu kata-kata, gadis itu merasakan hal yang sama. Dia lebih yakin pada hal itu daripada terhadap apapun di dunia ini.

Dia pernah diberitahu oleh orang tua dan kakek-neneknya bahwa dia harua jatuh cinta dan benar-benar mengenal seseorang sebelum terikat. Tapi mungkin orang-orang yang merasakannya tidak pernah memahami bahasa universal ini. Karena, jika kita memahami bahasa itu, mudahlah untuk mengerti bahwa seseorang di dunia menanti kita, entah di tengah gurun, atau di kota besar. Dan saat dua orang itu berjumpa, dan mata mereka bertemu, masa lalu dan masa depan menjadi tak penting. Yang ada hanyalah momen itu, dan kepastian yang ajaib bahwa segala yang ada di langit dan di bumi telah dituliskan oleh tangan yang esa. Itulah tangan yang menimbulkan cinta, dan menciptakan suatu jiwa kembar bagi setiap orang di dunia. Tanpa cinta seperti itu, impian-impian seseorang tidak bermakna.

Share:

Minggu, Maret 16, 2014

Nelayan dan Ikannya

Berharap keberuntungan saja tidak cukup, ia harus berusaha melawan rasa malasnya untuk bergerak mencari lokasi yang tepat untuk memancing.

Ikan bukanlah hewan yang berdiam diri di satu tempat untuk waktu yang lama kecuali beberapa jenis ikan. Ia akan bergerak ke sana ke mari mengikuti aliran air ke hilir atau juga menerjang melawan arah semestinya.

Muara ini sangat tenang, alirannya tak sederas di hulu. Banyak ikan yang bermigrasi dari lautan menuju sungai melewati muara ini. Air yang tenang ini hanya kelihatan dari permukaan. Arus di bawah sebenarnya deras apalagi kalau sudah naik air pasang laut. 

Hari ini cuaca sedang baik untuk memancing ikan di muara. Selama menunggu jadwal melaut, waktu senggang ia gunakan untuk memperbaiki jaringnya yang putus. Merajut kembali bagian-bagian yang bolong dan putus agar bisa digunakan dengan baik dan mampu menjaring ikan lebih banyak lagi. Sisa waktu setelah merajut jaringnya, ia memancing.

Dibandingkan dengan menjaring ikan di laut, memancing itu tidak ada apa-apanya. Hanya sedikit yang ia dapatkan dari hasil memancing. Baginya, hal ini cukup untuk memenuhi kebutuhan hariannya. Memancing di sebuah muara yang besar penuh dengan ketidakterdugaan. Ia hanya setitik kecil di muara itu. Ia melemparkan sedikit saja pancingan sambil berharap ikan besar menyantap kailnya.

Melemparkan kail ke muara yang besar dengan keyakinan akan ada ikan yang menyantapnya. Menarik tali kail ketika terasa ada getaran yang merambat lewat tangannya. Jika beruntung, ikan bisa ia dapatkan lalu ia simpan dalam keranjang. Ia tak terlalu pusing dengan ikan yang menyantap kailnya. Setiap kali ada gerakan pada kailnya, ia akan tarik dan ambil. Sesekali bukan ikan yang memakan umpan di kailnya, tapi kepiting kecil yang hidup di dasar muara. 

Semesta (gambar krayon by Ming Kry)
Kecewa, tentu saja ia merasakan kekecewaan saat diangkat bukan ikan. Sayangnya, ia bukan nelayan yang gampang menyerah. Dengan keyakinan yang sama, ia akan lemparkan lagi umpan yang baru.

Berapapun ikan yang ia dapatkan hari itu, selalu ia syukuri. Ia percaya ikan yang didapatkan hari itu adalah pemberian yang cukup dari semesta. Semesta tak pernah memberikan ikan yang berlebihan kepadanya. Hanya sifat manusia saja yang selalu merasa tidak cukup. Ia sadar tentang hal ini.

Hari memasuki sore, sinar matahari berubah menjadi kuning dengan perpaduan oranye. Panasnya mulai berubah menjadi hangat. Ia menengok ke keranjang ikan hasil pancingan. Cukup! Ia berkata untuk dirinya sendiri. Ia gulung benang kailnya kemudian beranjak pergi. Nelayan itu kemudian membereskan kail dan keranjangnya. Ia bergegas mengakhiri sore itu menuju rumahnya yang tidak jauh dari muara. Ada tugas semesta lainnya yang harus ia kerjakan.


Share:

Jumat, Maret 14, 2014

Pengembala Dan Kambingnya

Di pohon itu ia bersandar, hari ini matahari terasa sangat panas. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Ia bisa merasakan setiap perubahan alam yang tidak biasa. Sebuah anugerah bagi ia yang sering menguatkan perasaannya pada kejadian sehari-hari. Bagi beberapa orang bisa saja tidak terasa perubahan. Tetapi ia mampu merasakan bahwa matahari bersinar lebih terik siang itu. Bersandar sambil memandangi hamparan padang rumput yang luas adalah hal yang menyenangkan. Sambil mengamati kambing-kambing peliharaannya.

Pohon (iden wildensyah)
Ia sadar betul, kambing-kambing itu tak butuh untuk diamati terus untuk dikendalikan. Justru kekhawatirannya yang harus ia kendalikan. Khawatir yang sering muncul karena ketakutan datangnya harimau atau serigala yang akan memangsa kambing-kambingnya. Atau kambing-kambingnya yang pergi menjauhinya. Ia mencoba meraih lebih dalam, ia sadar ketakutan pada dirinya. Kekhawatiran yang muncul hanya karena ia tak mampu mengendalikan dirinya dengan baik.

Kekhawatiran itu muncul, ia berusaha melihat lebih luas tentang hukum alam. Hukum alam yang mengatur segala sesuatu yang ada di alam. Hujan yang bisa datang setelah musim kemarau, atau musim kemarau yang banyak menghilangkan rumput-rumputan untuk kambingnya. Tetapi setelah kehilangan itu, akan muncul lagi rumput baru untuk menggantikan rumput lama yang kering kerontang karena tak tahan terik matahari. 

Iapun melihat lebih jauh. Kekhawatiran kehilangan kambingnya justru akan membuat ia makin kehilangan akan kendali pada dirinya. Ia menjadi penakut. Untuk jadi pemberani, ia hilangkan segala ketakutan kehilangan itu. Bahwa segala sesuatu diatur oleh hukum alam yang adil, maka ia lebih nyaman untuk terus bersandar di bawah pohon itu. Ia tenang sampai akhirnya terlelap dengan nyaman sambil menunggu kambingnya yang terus makan rumput dengan asyiknya.  
Share:

Postingan Populer