Ruang Sederhana Berbagi

Tampilkan postingan dengan label Cerita Anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Anak. Tampilkan semua postingan

Kamis, April 17, 2014

Solpatu

"Solpatuuuuu!" Demikian saya memasarkan jasa. Saya adalah tukang sol sepatu. Nama saya Dedi tapi orang-orang lebih suka memanggil saya Ujang. Mungkin karena usia saya yang masih kecil, orang sunda memanggil anak kecil dengan "Jang, ujang". Tak apa, saya senang dipanggil ujang. Rasanya sangat akrab kalau ada orang panggil saya ujang. Mulai dari para pedagang di stasiun, kernet elf, kernet angkot di terminal semuanya memanggil saya, ujang.

                            Sepatu (www.deviantart.com)
Awalnya saya nongkrong di statsiun kota. Saya menawarkan jasa semir sepatu. Lama kelamaan pengguna jasa semir sepatunya berkurang. Mungkin orang sudah jarang memakai sepatu kulit seperti yang dulu pernah trend. Bergantilah saya menjadi tukan sol sepatu. 

Bapak saya mewarisi keahliannya. Lewat bapak, saya belajar menjahit dasar sepatu yang terlepas. Dari yang kecil-kecil dan mudah lalu saya beranjak ke sepatu yang agak rumit. Rumit dalam arti solnya kuat dan butuh tenaga lebih untuk menusukkan jarumnya. Bersyukur, serumit-rumitnya saya masih bisa menyelesaikan. Jikapun tidak, saya bawa pulang ke rumah kemudian saya kerjakan di rumah saat tenang. Yah, pekerjaan ini juga butuh ketenangan. Saya tak bisa terburu-buru. Jarum, benang, dan karet sepatu adalah benda yang berbahaya. Seandainya salah menekan bisa merobek kulit sepatu atau malah kulit tangan saya yang kena tusukan jarumnya.

Setiap hari saya berkeliling komplek. Dari satu komplek perumahan ke komplek perumahan lainnya. Berharap ada penghuni yang menggunakan jasa saya. Tak pernah mengeluh, saya jalani hari selalu dengan pengharapan yang lebih baik kepada Tuhan. Selalu berpikir positif kepada Tuhan bahwa rejeki akan datang kepada saya. Iya, saya punya alasan. Saya bekerja untuk orang lain. Saya bekerja dan memberikan jasa agar orang lain bisa nyaman lagi bersepatu. Setelah nyaman bersepatu, mereka bisa bekerja dengan tenang. Bisa mencari rejeki yang banyak untuk anak istri mereka. Hakekatnya seperti bekerja untuk diri sendiri, ternyata saya bekerja juga untuk kebaikan orang lain.

Saya senang menjalani keseharian ini. Demikian juga hal dengan seorang teman saya yang saya temui di komplek perumahan. Namanya Dadan, ia adalah sopir pribadi seorang direktur. Saya kenal karena ia pernah menggunakan jasa saya untuk memperbaiki sepatu majikannya. Sepatu Dadan pun pernah saya sol. Ia begitu menikmati hari-hari sebagai sopir pribadi.

Share:

Kamis, April 10, 2014

Rumput Kehidupan

Jika saja semua orang pernah merasakan kegiatan menyabuti rumput, saya yakin mereka akan tahu begitu bergunanya sebatang rumput. Walaupun letaknya ada di bawah, kadang terinjak, tumbuh tak diharapkan, tetapi rumput sudah memberikan banyak kehidupan buat mahluk lainnya. Manusia salah satunya mahluk yang diuntungkan oleh rumput.

Secara tidak langsung, rumput mampu menahan air, menyerap air yang tergenang di atasnya. Rumput juga membuat pemandangan sekitarnya menjadi indah, hijau dan sedap dipandang mata. Rumput banyak jenisnya. Ada rumput liar dan ada juga rumput taman yang sengaja ditanam. Harganya variatif mulai dari yang termurah sampai yang mahal. Rumput-rumput tersebut ada yang secara khusus didatangkan dari berbagai belahan dunia untuk ditanam. Rumput hias adalah rumput yang selalu dicari oleh penyuka taman.

Wah, banyak sekali kalau bicara rumput. Buat saya, rumput bukan sekedar rumput. Rumput itu kehidupan saya. Adanya rumput membuat saya bisa menghidupi diri saya juga keluarga kecil saya. Tak terbayangkan sebelumnya menjalani keseharian sebagai tukang rumput. Dulu saya bekerja di kebun tetapi panggilan dari salah satu orang di rumah yang besar untuk mengurusi rumput membalikkan semuanya. Saya mulai menerima orderan untuk menata taman, mencabuti rumput, menanam bunga-bunga yang baru. Semakin hari, semakin banyak pesanan. Akhirnya saya total menjalani hari-hari sebagai tukang rumput.


Awalnya peralatan sederhana yang saya bawa, semacam parang, gunting rumput, dan cangkul. Setelah ada pemotong rumput yang digerakkan mesin, mulai saya gunakan mesin potong rumput. Saya tempel di sepeda motor tua, vespa. Sepeda motor itu yang setia mengantar saya ke berbagai tempat untuk memotong rumput.

Setiap pagi, saya pergi berkeliling komplek dari satu rumah ke rumah lainnya untuk memotong rumput. Saat berkeliling, saya sering berpapasan dengan seorang teman saya yang juga berkeliling komplek. Bedanya ia membawa peralatan sol sepatu. Saya panggil ia, Ujang. Saya gak tahu namanya tapi orang sunda memanggil orang yang usianya lebih muda bahkan terlihat masih kecil dengan panggilan Ujang.

Rumput Kehidupan (Iden Wildensyah)
Share:

Pagi Baru

Pagi ini adalah pagi baru yang akan ku jalani bersama anak-anak hebat di kelas. Selalu aku katakan sebagai hari baru kepada anak-anak. Aku coba tanamkan ini sebagai bahan untuk selalu mencari hal-hal baru pada anak-anak. Setiap pagi, ku kayuh sepeda melewati jalan raya dan beberapa toko yang ada di kota kecil ini. Sisanya melewati jalur kampung yang harus meminggir jika pengendara motor lewat. Maklum, sebuah gang bukan sekedar jalan saja tetapi juga jalur umum untuk mereka yang memiliki motor. Aku, masih setia dengan sepeda ini. Pagi baru ini aku bersiap untuk pergi menemui keceriaan dan kegembiraan anak-anak.

Pagi baru berarti aku bertemu Mahmud, seorang anak yang selalu berpikir positif jika teman-temannya menjahili. Mahmud tidak pernah sekalipun membalas temannya yang jahil pada dia. Dia seolah mengerti bagaimana temannya sedang berproses mengenali diri dan situasi saat berinteraksi dengan sesamanya. Mahmud suka bermain bola, ketangkasannya bermain membuat teman-temannya berebut untuk menjadi bagian kelompoknya.
Rumah Pohon (deviantart.com)

Suatu hari Mahmud datang padaku “Kak, punya ide untuk membuat pesawat luar angkasa”. Mahmud kemudian menceritakan sebuah gagasan-gagasannya yang luar biasa. Aku sesekali menanggapinya untuk mengapresiasi ide yang dia miliki. Gagasan ini bukan sekali dua kali dia sampaikan padaku, pernah satu kali waktu dia bercerita tentang kisah nabi-nabi yang menurut dia sangat menarik karena ada peperangannya.

Pagi baru berarti aku bertema Dani, seorang anak yang penuh cerita lucu. Dani senang melucu di antara teman-temannya. Dani sangat senang ketika teman-temannya tertawa oleh tingkah lucunya. Dani juga suka bercerita tentang proses mendapatkan kisah-kisah lucunya. Selain dari pengalamannya saat bermain di rumahnya, Dani juga mendapatkan kisah lucu tersebut dari buku-buku homur yang dibelikan bapaknya. Bapak Dani sangat mengerti bagaimana anaknya sangat menyukai kisah-kisah lucu.

Kisah lucunya tersebut mulai dari banyolan, cerita orang lain, juga dari tebak-tebakan yang spontan akan memancing tawa seluruh kelas. Suatu hari Dani cerita tentang seorang kakek dan nenek yang baru saja pulang dari dokter. Kakek kebingungan dengan secarik kertas yang diberikan oleh dokter. Kertas tersebut harusnya dibawa ke apotek untuk mendapatkan obat, tetapi karena ketidaktahuan si kakek akhirnya dibawa pulang saja. Di rumah, si nenek menjawab kebingungan si kakek. Nenek bilang “Masukan saja kertasnya ke gelas tambahkan air, mungkin itu jampi-jampi”. Gerrrrrrr semua anak tertawa, mereka melihat sebagai sesuatu yang lucu karena kakek dan nenek tidak mengenal resep dokter, yang mereka ketahui hanya jampi-jampi.

Pagi baru juga berari bertemu Darojat atau biasa dipanggil Ojat oleh teman-temannya. Ojat adalah anak yang cekatan. Ojat paling cepat kalau sudah berkarya, begitu juga saat beres-beres kelas. Sering kali Ojat diminta oleh teman-temannya untuk membantu membereskan sisa berkaryanya. Ojat sangat senang membantu teman-temannya. Kesenangan Ojat membantu temannya itu membuat Ojat banyak teman. Bahkan anak-anak lain yang beda kelas juga sangat senang dengan Ojat. Ojat tidak pernah mengeluh walau pekerjaannya banyak. Inilah yang membuat Ojat disenangi teman-temannya.

Ojat suatu kali pernah meminta ijin untuk tidak masuk sekolah karena harus membantu pamannya panen padi di sawah. Pamannya sangat senang karena Ojat mau belajar bertani, menanam padi, dan juga memanen. Saat itu kebetulan pamannya hendak memanen padi. Ojat tidak mau kehilangan kesempatan belajar. “Kak, aku ijin gak masuk besok yah, paman mau panen dan aku ingin belajar memanen padi”. Begitu kata Ojat sebelum pulang. Aku katakan, “Wah sangat menarik, Jat. Kalau sempat nanti cerita sama teman-temannya, yah”. Benar saja, keesokan harinya, Ojat bercerita dengan antusias bagaimana dia memanen padi, walau cape tetapi banyak hal yang menyenangkan.

Pagi baru berarti aku bertemu Darsa, seorang anak pendiam yang selalu berpikir. Aku katakan demikian karena Darsa nyaris tidak suka berbicara. Darsa lebih banyak diam ketika teman-temannya saling bercanda, bercerita, dan diskusi. Walaupun diam tetapi Darsa menyerap semua informasi yang masuk pada dirinya. Darsa hanya berbicara sesekali saja misalnya ketika dipancing pertanyaan “Menurut Darsa, bagaimana yah pembagian matematika dalam kehidupan kita?”. Darsa menjawab dengan meyakinkan, “Banyak kak, misalnya pada saat membagi kue, membagi permen, membagi pekerjaan, membagi uang. Kan pembagian bukan hanya soal angka-angka”. Darsa memang benar-benar mantap. Dia bisa melihat banyak sudut yang biasanya tidak terjangkau anak-anak seusianya.

Darsa lebih menyukai membaca buku yang dibawanya atau pergi ke perpustakaan untuk mengisi istirahatnya dibandingkan main dengan teman-temannya. Ketika kutanyakan, Darsa menjawab “Ah kak, aku senang membaca saja, kan buku bisa membawa aku ke berbagai tempat menarik di dunia”. Wooow... jawaban yang sangat menarik bagiku. Darsa memang hebat, dan setiap pagi aku harus bersiap dengan informasi baru yang ia dapatkan dari buku yang sudah ia baca.

Pagi baru berarti aku bertema sosok mungil penuh keceriaan, dia adalah Nurmelina. Teman-temannya biasa memanggil Nina. Nina adalah sosok yang menggembirakan teman-temannya. Nina selalu ceria, keceriannya terpancar dari tingkahnya yang energik, lincah, dan selalu tersenyum. Nina juga suka bercerita terutama cerita tentang pahlawan nasional. Nina terinpirasi oleh sosok Tjoet Nyak Dien. Nina mengatakan bahwa Tjoet Nyak Dien adalah perempuan hebat yang berani melawan penjajah. Walaupun penjajah menggunakan senjata api, tetapi Tjoet Nyak Dien tidak takut. Tjoet Nyak Dien berjuang sampai titik darah penghabisan. Aku pernah menanyakan pada dia, “Kalau sekarang kan tidak perang, berarti Nina mengambil pelajaran dari kisah Tjoet Nyak Diennya, seperti apa?”. Nina berkata “Aku harus belajar sungguh-sungguh, Kak. Seperti Tjoet Nyak Dien yang berjuang teguh melawan penjajah, aku juga harus semangat berjuang agar aku bisa belajar semakin baik”.

Pagi baru berarti aku juga bertemu dengan Dodo, anak yang katanya bodoh dan nakal. Aku tidak katakan demikian, Dodo adalah anak yang memiliki potensi besar untuk menjadi atlet. Dodo berbadan besar di antara teman-temannya. Dodo senang kegiatan olah raga, sepertinya Dodo hanya menyukai kegiatan olah raga saja. Dodo seperti malas-malasan kalau sudah kegiatan matematika. Dodo merasa dirinya tidak bisa menghitung. Tetapi bagiku tidak, Dodo sebenarnya pandai matematika, Dodo bisa menyerap dengan baik setiap pelajaran matematika. Sayangnya, Dodo tidak cukup sabar untuk mengerjakan soal-soal matematika.

Pernah satu kali waktu, Dodo seperti marah-marah. Dia mendatangiku dan berkata “Kak, aku tidak suka matematika, aku tidak suka soal ini, soal ini membuatku frustasi!”. Teman-teman kaget dan seketika langsung tegang, Dodo yang berbadan besar sedang marah-marah. Aku coba dekati, aku ajak Dodo diskusi. Sampai akhirnya Dodo berkata “Kak, ternyata mudah, yah!”. Senang rasanya hatiku melihat Dodo mau kembali terlibat dalam kelas. Biasanya Dodo selalu menarik diri untuk pergi dari lingkaran kelompok belajar di kelasnya jika dia merasa sudah tidak mampu untuk menyelesaikan soal-soal yang ada dihadapannya.

Pagi baru berarti aku juga bertemu Maesaroh. Teman-temannya memanggil dia Mae. Dia adalah anak rajin yang selalu rapi. Setiap kali Mae datang, temannya langsung mengerebungi untuk bermain congkak atau bola bekel. Mae bisa adil mengatur teman-temannya hingga mereka menjadi asik bermain. Mae bisa dikatakan sangat perhatian sama temannya, jika ada temannya yang tidak masuk sekolah, Mae biasanya menjenguk kemudian menceritakan pada teman-temannya. Mae juga menginisiasi teman-temannya untuk berkunjung ke temannya yang sakit. Kehadiran Mae membuat temannyas senang. Jika ada temannya yang bertengkar, Mae bisa melerai dan menyelesaikannya dengan baik. Setelah itu mereka bermain lagi dengan asik. Mae suka semua pelajaran, Mae ingin menjadi guru suatu hari nanti. Mae mengatakan bahwa Guru bisa mencerdaskan generasi bangsa. Mencerdaskan bangsa berarti mencerdaskan kehidupan. Dan inilah  kehidupan bagiku, seperti kata Mae yang selalu bijaksana dalam mengatur teman-temannya.

Pagi baru bagiku penuh dengan dinamika, pertanyaan-pertanyaan menarik dari anak-anak, ide-ide baru, keingintahuan baru, dan suasana baru yang akan menghiasi kehidupan. Inilah hari baru saat aku akan bertemu anak-anak hebat yang saling menginspirasi. Inilah generasi-generasi yang harus ku antarkan pada pengalaman-pengalaman belajar yang menyenangkan. Inilah pagi baru saat aku harus pergi.
Share:

Selasa, April 08, 2014

Sate Spesial

"Teee... Sateeeee!" Begitulah teriakan khas saya. Teriakan yang juga sama-sama dilontarkan oleh para pedagang sate dari Madura ini. Sekarang sih sudah saya tambah dengan bunyi gemerincing lonceng kuningan. Perlahan akan saya ganti teriakannya dengan gemerincing ini.

Setiap malam saya berkeliling dari satu komplek perumahan ke komplek perumahan lainnya. Ada yang sudah langganan tetapi banyak juga yang baru. Nah buat yang baru, saya biasanya senang. Para pelanggan saya selain keluarga di komplek perumahan juga keluarga di gang-gang kecil. Oh iya, tak lupa para mahasiswa dan mahasiswi yang kost di sekitaran kampus. Awal bulan saat mereka menerima kiriman uang biasanya makan sate. 

Sate yang saya jual paling banyak sate ayam. Selain ketersediaan ayamnya banyak juga pesanan paling diminati. Tentu saja harganya juga jadi lebih murah dibandingkan dengan sate kambing. Saya juga jual sate kambing walaupun stoknya tidak sebanyak ayam. Saya sediakan buat persiapan jika sesekali ada yang ingin sate kambing.

Syukur buat saya jika malam terang benderang dan cerah. Biasanya banyak warga yang begadang dan berkumpul. Mereka kadang makan-makan bersama di pos. Jika kebetulan saya yang lewat malam itu, bisa saja rejeki malam itu besar buat saya. Apalagi kalau sudah ada yang pesan lewat telepon, sms atau memberi kabar sebelumnya untuk lewat gang yang dimaksud, senang rasanya. Sudah malam cerah, dapat order banyak pula. Saya bisa menabung keesokan harinya dari hasil malam itu.

Malam hujan pun tetap saya jalani keseharian saya. Walaupun harus menahan dingin tetapi saya tetap laksanakan sepenuh hati menjemput rejeki. Saya tak bisa membayangkan bekerja siang hari. Seperti Pak Juju yang menjadi tukang potong rumput. Ia bilang kepada saya sebagai ahli taman.
Sate Ayam dan Sate Kambing itu enak (iden wildensyah)
Share:

Jumat, April 04, 2014

Bandros Mang Ihin

Senang rasanya saat mendengar Banderos menjadi salah satu ikon kota Bandung. Bagaimana tidak, banderos atau bandros adalah jajanan yang saya jual setiap hari. Oh iya, nama saya Ihin, anak-anak memanggil saya Mang Ihin. Terutama anak-anak SD tempat saya nongkrong sudah mengenal saya dengan sebutan Mang Ihin.

Bandros 
Masih sederhana, saya menggunakan dua tanggungan yang dipanggul dengan rancatan. Masih menggunakan kompor dengan arang untuk membuat bandros.

Pagi-pagi sekali saya mencari bahan-bahan untuk membuat bandros ke pasar. Saya bertemu banyak orang, ada yang membeli sayuran, makanan, dan berbagai macam barang segar di warung. Bandros merupakan salah satu jajanan yang banyak ditemui di daerah Jawa Barat. Saya jualan bandros juga turun temurun dari kakek dan ayah. Dulu mereka jualan dan sekarang giliran saya.

Membuat bandros itu tidak sulit, walaupun pada awalnya saya mencoba, rasanya selalu ada yang kurang. Cara membuatnya adalah dengan mencampur kelapa parut, tepung beras dan garam, lalu tuang santan sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga tercampur rata. Setelah itu panaskan cetakkan bandros, olesi dengan sedikit minyak, tuang adonan ke dalam cetakan hingga penuh, kemudian tutup.

Oh iya, nih saya beri resepnya 3/4 sdm garam halus, 2 sdm minyak goreng untuk olesan, 30 gram gula pasir (untuk taburan saat penyajian), 650 ml santan kelapa, 250 gram tepung beras, 100 gram kelapa parut. Kelapa parut ini diperas sedikit.

Nah setelah itu baru panggang di atas bara api kecil hingga matang dan di kedua sisinya garing, angkat. Bandro siap saya jual kepada pembeli di perumahan atau di sekolah-sekolah dasar tempat biasa saya nangkring.

Saya berangkat setiap jam 8 pagi. Menjelang anak-anak istirahat yaitu pukul 9.00 sampai 10.00. bahkan saya bisa menunggu sampai pukul 13.00 berharap masih ada yang mau membeli menjelang mereka pulang ke rumah.

Setelah sekolahan bubar, saya berjualan di perumahan. Melewati gang-gang kecil lalu tunggu sebentar. Di lapangan atau bersyukur jika ada keramaian, saya bisa lama nongkrongnya. Keramaian yang memancing banyak orang berdatangan bisa menjadi rejeki buat saya. Paling tidak saya bisa menjual banyak di saat-saat seperti itu.

Saya senang menjalani keseharian ini. Buat saya, menjual bandros itu bukan hanya usaha tetapi lebih dari itu, saya melestarikan makanan lokal. Yah, makanan lokal tersebut sekarang tergerus oleh makanan-makanan dari luar. Anak-anak sepertinya mulai meninggalkan makanan tradisional karena menganggap kuno dan ketinggalan jaman. Tapi saya masih yakin, ada banyak orang yang tetap menginginkan bernostalgia dengan makanan seperti bandros yang saya jual ini.


Salah satu orang yang selalu menjadi langganan saya adalah Mang Udin. Ia sering nongkrong dekat kantor wilayah. Ia dan temannya seperti rindu masa kecil, rindu kampung halamannya kalau sedang mencicipi bandros saya. Mang Udin adalah buruh tukang gali yang sudah lama menjalani profesinya.
Share:

Jumat, Maret 28, 2014

Sepeda Sayur

Awalnya saya berniat menggunakan gerobak untuk jualan sayur ini. Tetapi sepeda yang saya punya menjadi nganggur. Setelah berdiskusi dengan teman, maka diputuskanlah saya menggunakan sepeda dengan tambahan bagain belakang untuk sayuran yang akan saya jual.

Berbeda dengan gerobak sayur yang didorong, saya mendapat keuntungan saat jalanan menurun dan datar. Tinggal naik lalu saya kayuh. Lumayan juga meringankan beban biaya transportasi saat saya harus belanja ke pasar pagi-pagi untuk berburu sayuran segar. Di pasar, saya bertemu juga dengan beberapa tukang sayur. Kadang berburu paling pagi agar dapat sayuran yang lebih segar sebelum dipilih yang lain.

Sepeda Sayur
Dengan sepeda yang saya sebut sebagai sepeda sayur, saya bisa melewati lorong-lorong sempit gang untuk melayani kebutuhan pembeli yang biasa. Sayuran yang saya bawa tidak sebanyak gerobak dorong, tetapi saya selalu berusaha memenuhi kebutuhan keluarga yang ingin makanan sehat secukupnya. Jika ada yang merasa kurang, saya beri alternatif untuk menunggu besok dengan memesan terlebih dahulu atau saya bilang, secukupnya saja biar tidak busuk.

Saya merasakan setiap hari berbeda, walaupun melewati jalur yang sama. Saya bisa tahu setiap kebutuhan keluarga yang langganan membeli sayuran kepada saya. Mereka menunggu saya dan saya tahu semua sudah diatur. Jadi, saya jalani setiap hari dengan pikiran bahwa dagangan saya hari ini habis.

Oh iya, ada juga sesama tukang sayur yang sering berada di jalur yang sama dengan saya. Namanya Didi, ia menggunakan gerobak dorong. Saya tidak merasa ia sebagai saingan. Begitu juga dengan Didi, ia tidak merasakan bahwa saya adalah saingannya. Kadang kita berbagi kesempatan, misalnya saat langganan menginginkan sesuatu yang tidak ada di dagangannya, Didi sering menyarankan untuk menunggu saya. Demikian juga sebaliknya, jika di dagangan saya tidak ada, saya berharap Didi masih tersedia banyak.

Tuhan tak pernah keliru menyisihkan rejekinya. Sekalipun sama-sama berdagang sayuran, saya masih bisa meraih sedikit-sedikit pembeli yang cukup untuk memenuhi modal dagang besok harinya. Saya melihat setiap hari demikian adanya dengan pasrah pada Tuhan Yang Maha Esa. Tak pernah mengeluh karena hujan atau apapun. Saya juga belajar banyak dari tukang banderos yang sudah lebih lama berjualan dan tetap setia berjualan sampai saat ini. Namanya Mang Ihin.
Share:

Rabu, Maret 26, 2014

Tukang Sayur

Nama saya Didi, orang menyebut saya mang Didi. Sapaan mang bagi orang Sunda adalah bentuk akrab, biasanya lebih tua dari panggilan Aa. Misalnya A Didi, saya lebih suka dipanggil mang Didi saja walaupun usia saya belum terlalu tua untuk ukuran emang-emang. Tak apa, yang penting panggilan itu mengakrabkan saya dengan orang lain.

Sayuran Sehat
Setiap pagi saya bergegas menuju pasar di dekat rumah. Pagi sebelum subuh sudah menunggu sayuran datang dibongkar dari mobil bak terbuka yang datang dari daerah Lembang atau Pangalengan. Sayuran segar yang akan saya jajakan setiap harinya. Dengan modal seperti biasa, saya merencanakan semuanya dengan matang. Bersyukur jika sayuran yang saya inginkan tersedia, saya bisa menjajakan sesuai rencana. Jikapun tidak ada, paling saya coba alihkan untuk membeli sayuran jenis lainnya yang tersedia. Oh iya, kadang saya mengingat pesanan ibu-ibu langganan yang memesan sayuran yang sebelumnya tidak ada.

Sehabis sholat subuh, saya menyiapkan segala kebutuhan untuk dagang hari ini. Roda yang biasa saya gunakan ditata sedemikian rupa agar terlihat menarik perhatian pembeli. Sayuran yang lebih segar disimpan di samping kiri, di tengah saya simpan ikan, daging, dan sayuran yang berat dan tak mungkin di simpan di tiang. Sayuran seperti kol, kentang, wortel, tomat, dan labu, pasti akan saya simpan di tengah gerobak.

Timbangan, saya simpan di dekat pegangan untuk mendorong agar saya bisa mengontrol jika sesekali terlepas atau butuh menimbang dengan cepat. Tatakan untuk memotong daging dan ikan, saya simpan di bawah roda. Saya sediakan tempatnya khusus berdekatan dengan ember yang membawa air.

Pagi hari, tepat jam 6 saya berkeliling komplek. Melewati gang-gang yang juga tempat langganan saya. Di belokan gang sebelum memasuki komplek perumahan, saya menunggu pembeli. Biasanya ibu-ibu sudah menunggu di sana. Kalau belum terlihat, saya akan teriak, "sayuuuuuuurrr!" Teriakan khas yang sengaja saya buat agar menarik perhatian pembeli. Syukur-syukur dapat langgangan baru. Lumayan bisa menambah penghasilan hari ini.

Sangat menarik! saya senang melayani mereka semua. Ada kesenangan ketika saya mampu memberikan pelayanan yang sesuai dengan harapan mereka. Tawar menawar itu sebuah hal biasa. Saya tak bisa menolak itu. Saya hanya menyiasati untuk menaikan harga sedikit untuk mengambil untung, istilahnya ongkos belanja ke pasar. Ongkos cape menawar di pasar. Kalaupun menawar, saya tidak mengurangi dari modal yang saya keluarkan. Jikapun pas-pasan antara modal dengan harga jual, saya terima saja. Mudah-mudahan sayuran yang dimakan keluarganya menjadi kebaikan buat saya. Saya menikmati keseharian menjual sayuran, lauk pauk, dan daging ini.

Selain saya, ada teman saya juga yang menggunakan jalur ini. Bedanya ia menggunakan sepeda. Namanya mang Yana.
Share:

Minggu, Maret 16, 2014

Nelayan dan Ikannya

Berharap keberuntungan saja tidak cukup, ia harus berusaha melawan rasa malasnya untuk bergerak mencari lokasi yang tepat untuk memancing.

Ikan bukanlah hewan yang berdiam diri di satu tempat untuk waktu yang lama kecuali beberapa jenis ikan. Ia akan bergerak ke sana ke mari mengikuti aliran air ke hilir atau juga menerjang melawan arah semestinya.

Muara ini sangat tenang, alirannya tak sederas di hulu. Banyak ikan yang bermigrasi dari lautan menuju sungai melewati muara ini. Air yang tenang ini hanya kelihatan dari permukaan. Arus di bawah sebenarnya deras apalagi kalau sudah naik air pasang laut. 

Hari ini cuaca sedang baik untuk memancing ikan di muara. Selama menunggu jadwal melaut, waktu senggang ia gunakan untuk memperbaiki jaringnya yang putus. Merajut kembali bagian-bagian yang bolong dan putus agar bisa digunakan dengan baik dan mampu menjaring ikan lebih banyak lagi. Sisa waktu setelah merajut jaringnya, ia memancing.

Dibandingkan dengan menjaring ikan di laut, memancing itu tidak ada apa-apanya. Hanya sedikit yang ia dapatkan dari hasil memancing. Baginya, hal ini cukup untuk memenuhi kebutuhan hariannya. Memancing di sebuah muara yang besar penuh dengan ketidakterdugaan. Ia hanya setitik kecil di muara itu. Ia melemparkan sedikit saja pancingan sambil berharap ikan besar menyantap kailnya.

Melemparkan kail ke muara yang besar dengan keyakinan akan ada ikan yang menyantapnya. Menarik tali kail ketika terasa ada getaran yang merambat lewat tangannya. Jika beruntung, ikan bisa ia dapatkan lalu ia simpan dalam keranjang. Ia tak terlalu pusing dengan ikan yang menyantap kailnya. Setiap kali ada gerakan pada kailnya, ia akan tarik dan ambil. Sesekali bukan ikan yang memakan umpan di kailnya, tapi kepiting kecil yang hidup di dasar muara. 

Semesta (gambar krayon by Ming Kry)
Kecewa, tentu saja ia merasakan kekecewaan saat diangkat bukan ikan. Sayangnya, ia bukan nelayan yang gampang menyerah. Dengan keyakinan yang sama, ia akan lemparkan lagi umpan yang baru.

Berapapun ikan yang ia dapatkan hari itu, selalu ia syukuri. Ia percaya ikan yang didapatkan hari itu adalah pemberian yang cukup dari semesta. Semesta tak pernah memberikan ikan yang berlebihan kepadanya. Hanya sifat manusia saja yang selalu merasa tidak cukup. Ia sadar tentang hal ini.

Hari memasuki sore, sinar matahari berubah menjadi kuning dengan perpaduan oranye. Panasnya mulai berubah menjadi hangat. Ia menengok ke keranjang ikan hasil pancingan. Cukup! Ia berkata untuk dirinya sendiri. Ia gulung benang kailnya kemudian beranjak pergi. Nelayan itu kemudian membereskan kail dan keranjangnya. Ia bergegas mengakhiri sore itu menuju rumahnya yang tidak jauh dari muara. Ada tugas semesta lainnya yang harus ia kerjakan.


Share:

Jumat, Maret 14, 2014

Pengembala Dan Kambingnya

Di pohon itu ia bersandar, hari ini matahari terasa sangat panas. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Ia bisa merasakan setiap perubahan alam yang tidak biasa. Sebuah anugerah bagi ia yang sering menguatkan perasaannya pada kejadian sehari-hari. Bagi beberapa orang bisa saja tidak terasa perubahan. Tetapi ia mampu merasakan bahwa matahari bersinar lebih terik siang itu. Bersandar sambil memandangi hamparan padang rumput yang luas adalah hal yang menyenangkan. Sambil mengamati kambing-kambing peliharaannya.

Pohon (iden wildensyah)
Ia sadar betul, kambing-kambing itu tak butuh untuk diamati terus untuk dikendalikan. Justru kekhawatirannya yang harus ia kendalikan. Khawatir yang sering muncul karena ketakutan datangnya harimau atau serigala yang akan memangsa kambing-kambingnya. Atau kambing-kambingnya yang pergi menjauhinya. Ia mencoba meraih lebih dalam, ia sadar ketakutan pada dirinya. Kekhawatiran yang muncul hanya karena ia tak mampu mengendalikan dirinya dengan baik.

Kekhawatiran itu muncul, ia berusaha melihat lebih luas tentang hukum alam. Hukum alam yang mengatur segala sesuatu yang ada di alam. Hujan yang bisa datang setelah musim kemarau, atau musim kemarau yang banyak menghilangkan rumput-rumputan untuk kambingnya. Tetapi setelah kehilangan itu, akan muncul lagi rumput baru untuk menggantikan rumput lama yang kering kerontang karena tak tahan terik matahari. 

Iapun melihat lebih jauh. Kekhawatiran kehilangan kambingnya justru akan membuat ia makin kehilangan akan kendali pada dirinya. Ia menjadi penakut. Untuk jadi pemberani, ia hilangkan segala ketakutan kehilangan itu. Bahwa segala sesuatu diatur oleh hukum alam yang adil, maka ia lebih nyaman untuk terus bersandar di bawah pohon itu. Ia tenang sampai akhirnya terlelap dengan nyaman sambil menunggu kambingnya yang terus makan rumput dengan asyiknya.  
Share:

Rabu, Desember 04, 2013

Semut dan Murai

Di tepi danau yang berair jernih, terdapat sebuah pohon. Pohon rindang dengan daun yang hijau, batang dan dahan yang kuat. Dahan pohon itu adalah tempat menarik untuk burung-burung bertengger. Siang itu, seekor burung murai bertengger sambil bernyanyi.

Angin bertiup kencang. Seekor semut yang sedang berjalan di dahan pohon jatuh ke air. Semut itu berjuang keras berusaha menepi. Sayangnya, ia tidak bisa berenang. Lama sekali semut itu berputar-putar di atas air.

Murai melihat dari atas. Ia merasa iba. Ia mematuk beberapa helai daun. Daun itu jatuh di dekat semut.

"Semut, naiklah ke daun itu!" teriak Murai kepada Semut.

Semut menuruti perintah Murai. Angin bertiup. Daun dan Semut akhirnya sampai ke tepi danau.

"Terima kasih, Murai! Aku selamat berkat pertolonganmu!" Teriak Semut.

Beberapa saat kemudian, seorang pemburu datang. Pemburu itu membidik Murai. Semut segera menggigit kaki pemburu. Si pemburu berteriak kesakitan.

"Murai, terbanglah menjauh! Pemburu hendak menembakmu!" teriak Semut.

Murai segera pergi sambil berteriak gembira, "Terima kasih atas pertolonganmu, kawan!"

Share:

Senin, Desember 02, 2013

Tupai Pemarah

Alkisah di sebuah hutan yang lebat, hidup seekor tupai di dalam pohon yang rindang. Pohon dengan daun yang lebat, batang-batang yang kokoh, serta ranting yang berderet rapi di atas. Tepat di sebuah lubang dekat batang pohon yang tengah, seekor tupai bersarang. Membuat rumah pohon yang nyaman. Sekilas tidak terlihat ada kehidupan. Tetapi di balik itu, di dalam pohon, sebuah rumah tupai begitu indah. Setiap ruangannya ditata dengan rapih. Setiap hari, tupai itu membersihkan ruangannya dengan baik.

Sayangnya, ia terkenal sering marah-marah tidak jelas kepada apapun benda atau mahluk hidup di depannya. Ia juga suka meledek dan menyombongkan dirinya. Kalau ada barang yang jatuh, ia akan marahi. Kalau ada barang yang tidak pada tempatnya, ia akan marah-marah dan meledek. Semua temannya tidak suka pada dia karena sikap marah-marahnya yang tidak jelas.

Suatu hari, ia melihat pohon. Ia kemudian berkata "hei, pohon kok kamu jelek. Rantingmu ke sana ke mari tidak beraturan". Setelah itu ia bertemu dengan seekor gajah, "hei gajah, kok badanmu gemuk. Gerakanmu tidak lincah!". Saat ia bertemu dengan burung, ''hei burung, kamu jelek banget. Tanganmu kok begitu, cuma punya kaki, yah?"

Semua yang ada dihadapannya selalu ia ledek dan ia marahi. Ia merasa senang saat teman-temannya sedih. Sampai suatu hari, ia tidur dan bermimpi. Dalam mimpi itu, ia sedang berada di sebuah tempat yang gersang. tidak ada pohon satu pun. Ketika itu ia berjalan dan melihat ada sebuah pohon. Ia hendak berteduh tapi pohon berkata, ''aku tidak mau meneduhimu, kamu sudah sering berbuat tidak baik. Kamu tidak bersyukur bahkan pada pohon tempat tinggalmu." Ia kemudian meneruskan perjalanan. Ia semakin kepanasan dan kelelahan. Setelah lama berjalan ia bertemu seekor gajah. Kepada gajah itu ia berkata, "hei gajah, bawa aku pergi dari sini. Aku haus dan ingin minum." Gajah kemudian menjawab, "aku tidak mau membawamu ke tempat yang banyak air, kamu sering meledek aku".

Ia semakin kepanasan dan kehausan. Sampai kemudian ia melihat burung. Ia berpikir burung itu akan membantunya mencari air minum. "Hei burung, bawa aku ke tempat yang banyak air minum." Lalu burung itu berkata, "aku tidak mau menunjukan tempat yang banyak air dan pohon kepadamu. Kamu sering meledek dan marah-marah tidak jelas."

Semakin lama semakin lemah tubuhnya. Ia pun kemudian pingsan. Saat itu juga terbangun dari tidurnya. Ia kemudian melihat sekelilingnya. Ia ternyata masih berada di rumah pohonnya. Ia merenungi mimpinya. Tersadarlah ia bahwa selama ini ia tidak bersyukur atas semua yang sudah ia dapatkan.

Sejak saat itu, tupai mulai mengubah semuanya. Ia tidak lagi marah-marah dan tidak suka meledek. Ia banyak bersyukur kepada semuanya. Ia melihat pohon dan tersenyum berterima kasih. Ia melihat gajah kemudian meminta maaf dan merekapun berteman. Ia bertemu burung, ia menyapa dan berterima kasih juga. Ia berubah menjadi tupai yang baik hati dan penuh syukur.

Share:

Rabu, Oktober 30, 2013

Menanti Hujan

Sepagian ia menantikan hujan. Ia belum beranjak dari dalam tanah yang gelap. Cuaca yang panas dan manusia yang sering bermain di atas bisa mengganggu dirinya. 

Kulitnya memang sangat tipis. Walau lebih tebal dari jenis yang lain, ia tetap tidak kuat menerima sinar matahari yang terik. Berdiam diri di dalam tanah adalah pilihan tepat.

Ia berharap hujan. Hujan yang membawa banyak air. Ia akan bernyanyi-nyanyi sepanjang hujan turun untuk mengumpulkan teman-temannya. Bermain bersama di genangan air. Syukur-syukur ia menemukan kolam besar yang bisa ia diami untuk beberapa saat. Genangan cukup untuk membuat ia dan teman-temannya bergembira, keluar dari lubang bawah tanah, meloncat-loncat, menari, dan bernyanyi bersama-sama.

Sore hari, angin bertiup kencang. Awan mulai bergerak membawa butir-butir hujan. Ia sudah merasakan sebentar lagi akan hujan. Ia tersenyum lega. Hujan yang ia nantikan sebentar lagi datang.

Gemuruh mulai berbunyi. Titik-titik air berjatuhan dari langit. Sedikit demi sedikit bertambah. Semakin lama semakin banyak air yang turun dari langit. "Hmmm ini hujan!" Ia berbisik sambil bersiap keluar menyambut hujan. Bergembira saat melihat sudah banyak temannya yang bermain-main di genangan. Ia berjingkrak, meloncat, dan bernyanyi.

Hujan kini datang, ia pun senang!


Share:

Kamis, Oktober 24, 2013

Cerita Memanah

Senin pagi seperti biasa rutin pagi. Anak-anak bercerita tentang libur akhir pekannya. Beragama cerita yang mereka sampaikan. Sekalipun hanya di rumah, tetapi selalu ada yang menarik.


Misalnya, Bryan yang berkata "bosan, aku di rumah saja. Baru pindahan dan semuanya beres-beres". Berbeda dengan Bryan, Bintang cerita tentang kegiatan akhir pekannya bersama keluarga di arena panahan. Ini yang menarik! Memanah.


Bintang kemudian menyusun ceritanya, mulai dari persiapan sampai pelaksanaan. Ia berkisah bahwa memanah itu sulit. Berkali-kali ia gagal melepaskan anak panah dengan baik karena pegangannya yang tidak tepat. Walaupun ia berhasil melepaskan anak panah, tetap saja belum mencapai sasaran.


Apa yang disampaikan oleh Bintang ini menjadi awal untuk saya bercerita tentang kisah dibalik memanah. Kebetulan sehari sebelumnya saya melihat ada seorang anak yang memajang photo dirinya berkostum Merida (tokoh kartun perempuan yang ingin jadi pemanah). 


Memanah, bukan sekedar melepaskan anak panah saja. Ada pembelajaran menarik di dalamnya yang bisa dibagikan. Memanah dan berkuda adalah dua kegiatan menarik anak laki-laki jaman dahulu. Bahkan Nabi Muhammad menganjurkan anak lelaki untuk bermain panah dan berkuda sebagai kemampuan dasarnya (ditambah juga berenang). 


Memanah adalah sebentuk latihan berpikir dan merasa dengan seimbang. Fokus dan menjiwai setiap kali akan melepaskan anak panahnya. Hasil bidikannya adalah bentuk perpaduan yang harmonis antara fokus, konsentrasi, dan kematangan jiwa.


Saya selalu terkesan dengan catatan Paulo Coelho tentang memanah dan melihat bagaimana ia berpikir mendalam dari kegiatan memanah.


"Ketika aku menarik busurku," kata Herrigel kepada guru Zen-nya, "kadang aku merasa seolah-olah aku tak bisa bernapas jika tidak segera melepaskan anak panah itu."


"Kalau engkau terus berupaya mengusik momen-momen saat engkau harus melepaskan anak panah, maka engkau tidak akan pernah mempelajari seni sang pemanah" kata gurunya. "Kadang-kadang, hasrat berlebihan sang pemanah sendirilah yang merusak ketepatan bidikannya." (Paulo Coelho, Kitab Suci Kesatria Cahaya, hal 43)


Semakin kita renungi cerita anak-anak kemudian merefleksikannya dalam catatan atau keseharian, semakin mudah menarik kesadaran dalam ritme yang ingin dibangun.


Share:

Rabu, Oktober 23, 2013

Ulat Bulu

Sore itu ia sedang berjalan kaki di atas dahan biasa yang sudah lama ia lewati. Berpindah dari satu daun ke daun lainnya untuk menggemukan badannya. Kelak ia akan berhenti makan. Puasa untuk menyongsong kelahiran sosok baru yang lebih baik dari saat ini.

Saat dimana ia tidak bisa bergerak kemana-mana di tubuh yang rapuh terbungkus kepompong. Semedi dalam kedamaian, merenung, menanti proses selanjutnya.

Sore ini berjalan seperti biasa. Sekumpulan anak-anak bermain di bawah pohon. Saling kejar dan teriak. Terlihat bergembira bermain bersama-sama. Sampai tiba-tiba ada seorang manusia yang lebih besar dari ukuran anak-anak mendekati pohon yang ia hinggapi. Dari atas, ulat merasa ada sesuatu yang aneh. Pohon bergoyang! Dan jatuhlah ia tepat dileher orang yang duduk di bawah pohok tersebut.

Sedikit kaget, orang tersebut meraba lehernya. Sama halnya dengan ulat yang kaget dan buru-buru membuat rasa amannya terganggu. Ia melepaskan bulu-bulu yang akan menarik perhatian orang tersebut. Lewat kulitnya, orang tersebut mulai merasakan sengatan. Diusapnya  leher lalu digaruk. Rasa gatal mulai menjalari tubuhnya. Ia pindah menggaruk ke bagian tangan, wajah, dan perutnya.

Ulat masih menempel di bajunya. Tiba-tiba orang tersebut sadar. Ia berkata "oooh ini ulat bulu, pantas saja gatal-gatal". Dilemparkannya tubuh lemah ulat bulu itu ke tanah. Ia terus menggaruk karena efek sengatan ulat bulu.

Sementara itu, sang ulat bulu yang dilempar manusia kembali mencari dahan untuk dipanjat. Ia kelaparan. Ia ingin makan lagi untuk persiapan menjadi kepompong.

Share:

Selasa, Oktober 22, 2013

Mencuri Matahari

Alkisah di sebuah hutan yang sangat lebat, hiduplah dua orang manusia dalam satu rumah. Sepasang manusia itu belum tahu menghangatkan ruangan hingga mereka selalu kedinginan setiap malam. 

Gelap gulita dan kedingingan! Itulah yang terjadi pada mereka berdua. Mereka menikmati suasana gelap gulita dan kedinginan. 

Lama kelamaan mulailah salah satu dari mereka berpikir. Ia tidak mau begitu selamanya. Ia ingin malam yang bercahaya dan hangat. Bukan lagi malam yang dingin dan gelap.

Cahaya bulan adalah satu-satunya penerang mereka di malam hari. Sayangnya bulan tidak hadir setiap malam. Ada saatnya bulan hilang dan mereka kembali bersedih.

Mereka berharap kehangatan yang muncul seperti matahari. Merekapun berharap matahari bisa bersama mereka sepanjang hari. Tapi sayang, matahari tenggelam pada sore hari. Ia baru muncul keesokan harinya. 

Mereka berpikir mengambil matahari. Mereka akan mencuri kehangatan dan sinarnya untuk malam hari. Mereka akan menyimpan matahari di rumahnya. Segala upaya mereka lakukan saat matahari muncul. Dengan saling pangku mereka coba gapai matahari, dengan tongkat mereka coba raih matahari. Segala upaya mereka lakukan untuk mendapatkan matahari. Sayang, tak satupun usaha mereka yang berhasil menggapai matahari.

Kesal, digosok-gosokanlah tongkat pada papan rumah yang kering. Semakin lama semakin keras. Semakin keras dan mereka rasakan ada panas pada papan yang digosok. Tiba-tiba, percikan api muncul. Mereka semakin penasaran! Mereka gosok terus dan munculah api yang menggigit daun kering di sampingnya.

Gembira! Mereka menari di pinggir api yang baru saja menyala. Ada cahaya dan ada kehangatan sekarang. Mulai saat itulah mereka tak lagi berpikir mencuri matahari untuk mendapatkan kehangatan. Mereka bergembira dengan cahaya dan kehangatan yang hadir di antara mereka. Malam pun tak gelap gulita lagi.

Share:

Senin, Oktober 07, 2013

Kuda Poni Dan Kuda Zebra

Di sebuah padang rumput yang terbentang luas, tersebutlah dua kuda sedang menyaksikan balapan. Kuda-kuda balap berpacu dengan kencang. Melesat bagai anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Secepat kilat melintas di antara mereka berdua.

"Ah seandainya aku bisa menjadi kuda balap, aku bisa berlari kencang menghindari musuh-musuhku" kata kuda poni.
"Kamu harus bersyukur, walau kamu tidak bisa berlari secepat kuda balap, warna kulitmu bisa menyamarkan dari musuhmu" kata kuda zebra. "Lihatlah aku, belang-belang ini memancing musuh untuk memangsaku" lanjut kuda zebra.

"Kamu juga tetap harus bersyukur, justru karena belang-belang itulah kamu sulit ditangkap musuhmu. Saat kamu berada di antara teman-temanmu, penglihatan musuhmu bisa kabur karena kesulitan fokus" jawab kuda poni.

"Oh benar, berarti kita tetap harus bersyukur. Bagaimanapun lambatnya kita berlari yang tak secepat kuda balap, kita masih tetap punya banyak keistimewaan yang tidak dimiliki yang lain" kata kuda zebra.

"Yah, kita harus bersyukur" jawab kuda poni.


Share:

Randu Dan Mawar

Alkisah di sebuah negeri hutan yang hijau dan lebat. Ada banyak pohon yang menjulang tinggi tetapi ada juga tanaman di bawah yang melata. Menghijau dan berwarna-warna bila dilihat dari dekat. 

Tersebutlah dua buah tanaman yang hidup berdampingan selalu setiap hari. Mereka berbagi cerita baik pengalaman sehari-harinya. Pohon randu yang tinggi dan bunga mawar. 

"Hai mawar, apakah kamu merasa cukup dengan hidup di bawah seperti itu?" Tanya pohon randu. "Aku senang, walaupun aku tidak setinggi kamu, tapi aku bisa memberikan bunga yang indah dan mudah dipetik siapa saja" Jawab mawar. 

"Kamu hidup setinggi itu, apa kamu tidak merasa kecapean ditempa angin kencang terus menerus" tanya mawar. "Aku senang dengan tinggiku, aku bisa melihat sekitar dengan luas. Setiap hari aku bisa mendapatkan sinar matahari yang sangat banyak" jawab randu.

"Lalu, bagaimana orang memanfaatkan kamu dari hutan ini" tanya mawar lagi. "Mawar, apakah kamu tidak lihat? Setiap pergantian musim aku selalu berbunga. Bunga-bungaku mekar kemudian muncul kapuk yang bisa dimanfaatkan untuk alas tempat tidur" jawab randu. 

"Dan, kemunculan bunga serta kapuk ini juga membuat orang bisa melihat pergantian musim ke musim berikutnya" kata randu melanjutkan.
Demikianlah mereka bercerita dan berbagi pengalaman setiap hari. Bunga mawar dan pohon randu selalu senang berbagi kebaikan.

Share:

Minggu, Oktober 06, 2013

Kisah Tiga Sapi

Nun jauh di sebuah negeri yang aman dan damai. Di dalam sebuah rumah yang mungil hidup tiga sapi. Masing-masing sapi berbeda dengan sapi lainnya. Ada yang berwarna cokelat, ada yang berwarna putih, dan ada yang berwarna putih hitam.

Setiap hari mereka pergi ke ladang yang luas, banyak rumput yang hijau, pepohonan yang rindang, dan burung-burung yang berkicau merdu. 

Sapi-sapi itu hidup rukun dengan semua temannya. Tidak suka bertengkar dan tidak suka mengejek. Mereka senang berteman. Mereka makan rumput yang hijau. Membiarkan burung hinggap dipunggungnya untuk mengambil kutu-kutu yang ada dibadannya.

Sapi-sapi itu suka dengan keramahan temannya. Mereka senang juga berbagi cerita kesehariannya. Misalnya mendongeng masa lalu, membuatkan mainan untuk hewan anak-anak yang masih kecil.

Ketiga sapi itu tidak pernah bertengkar. Walaupun warna kulit mereka berbeda, mereka tetap bisa bermain bersama. Mereka tidak membeda-bedakan warna. Mereka senang membantu satu sama lain yang membutuhkan.

Mereka sadar satu hal yang membuat mereka tetap rukun, ramah, dan bisa bekerja sama. Mereka adalah sapi yang hidup di rumah mungil.

#ceritaanak #dongeng
Share:

Selasa, September 10, 2013

Kelinci dan Anjing Pemburu

Pada suatu pagi seekor anjing pemburu mencari mangsa untuk sarapan paginya. Dia menjelajahi semak belukar di dekat hutan. Tak lama kemudian sampailah di padang rumput. Dia mendapatkan seekor kelinci yang sedang asyik makan rumput.
Anjing itupun menyalak keras sehingga kelinci itu terkejut bukan kepalang. Kelinci itu terus berlari sekencang-kencangnya. Sementara itu anjing mengejarnya. Kelinci larinya berbelok-belok, sehingga anjing sukar mengikutinya.
Karena kalah gesit, dia tidak berhasil menikmati daging kelinci. Dia pulang dengan kecewa. Di tengah jalan bertemu dengan seekor kambing. Kambing itu menyindir, “Kawan, bukankah anda pemburu yang cekatan? Alangkah malunya, kalau hal ini terdengar oleh binatang lain. Anda terkenal gesit kali ini menyerah kepada kelinci”.
“Bukan begitu” tukas anjing kecewa. “Kelinci itu lari karena dia ingin menyelamatkan jiwanya. Aku memburunya sekedar memenuhi selera makan pagiku. Masih banyak binatang untuk makananku. Bagi kelinci hanya ada satu nyawa saja.”


(diambil dari kumpulan dongeng “Kelinci dan Anjing Pemburu”, Sulartoyo S, dkk. 1977)




Share:

Rabu, Juli 31, 2013

Kancil di Kebun Mentimun

Sekelompok kancil tampak bergembira. Mereka sedang berpesta makanan. Di kebun mentimun yang sedang ranum.
Mereka begitu riang karena mentimun sangat enak rasanya. Mereka memakan sepuas hati.
Petani datang ke kebun. Ia kaget banyak kancil di kebunnya. Pak Petani marah. Mentimunnya dimakan para kancil. Kancil berlari tunggang langgang. Pak petani mengusir kancil dari kebunnya. Pak Petani sedih karena mentimunnya dicuri kancil.
Kancil pergi menjauh dari kebun petani. Mereka senang karena tidak tertangkap Pak Petani. Tetapi ada kancil yang murung dan bersedih. Ia kasihan melihat Pak Petani tidak bisa makan mentimunnya karena dicuri teman-temannya.
Ia pun bertekad membantu Pak Petani menumbuhkan lagi mentimunnya. Peri baik hati datang menolong kancil yang bersedih. Ia menolong tapi dengan syarat harus dikerjakan pagi-pagi sebelum Pak Petani datang tanpa berbicara atau berbisik sekalipun kepada siapa saja yang bertanya tentang kegiatannya. Peri memberi kancil biji yang harus dirawat baik-baik dan ditumbuhkan.
Setiap pagi kancil menebar biji-biji itu di antara mentimun yang rusak. Sesaat sebelum Pak Petani datang, ia segera berlari ke hutan. Demikian dan seterusnya.
Pak Petani kaget saat melihat banyak tanaman baru muncul di antara mentimun yang rusak. Pak Petani senang karena kini banyak tanaman baru yang tumbuh. Kancil melihat dari jauh. Ia juga senang karena melihat Pak Petani tidak lagi bersedih hati.

Share:

Postingan Populer