Ruang Sederhana Berbagi

Jumat, April 18, 2014

Mandor dan Tukang Bangunan

Dikisahkan pada saat pembangunan gedung bertingkat tinggi di sebuah pesisir pantai yang sangat bising. Mandor memeriksa pekerjaannya dari atas sampai bawah. Ia harus melaporkan pekerjaan anak buahnya, para tukang kepada manajernya.

Saat ia berada di lantai 5, ia sendirian. Tak ada teman. Sebuah besi melintang menghalangi jalannya. Ia berpikir bahwa besi itu seharusnya disimpan rapi. Tak elok apalagi sampai menghalangi jalan. Ia berpikir memanggil tukang untuk merapikannya.

Seorang tukang sedang asyik di bawah. Bekerja giat dan tak pernah mengeluh. Ia sendirian dengan sendok tembok di tangannya. Ia hendak merapikan salah satu bagian dinding. Mata dan semua raganya fokus merapikan dinding. Tak pernah menengok ke kiri atau ke kanan. Hanya sesekali saja untuk memastikan pekerjaannya rapi.

Dari atas, mandor memanggilnya tetapi tukang itu tidak mendengar. Mandor terus saja memanggil dan tukang itu tetap saja tidak menoleh ke atas. Mandor kemudian mengeluarkan uang lembaran dengan nilai kecil. Jatuh tepat di samping tukang. Tukang kaget, ia melirik ke kiri dan ke kanan. Lalu diambilnya uang tersebut. 

Mandor yang melemparkan uang heran. Ia keluarkan lagi uang dengan nilai yang lebih besar. Berharap tukang bisa menoleh ke atas. Uang dilemparkannya dan jatuh persis di samping tukang. Tukang yang sedang bekerja makin senang. Ia pungut uang tersebut setelah memastikan tidak ada orang di kiri dan kanannya. Ia takut kalau terjadi keributan karena berebut uang yang tergeletak tersebut. Setelah diambil, ia kembali asyik bekerja.

Mandor makin heran. Setengah marah kepada tukang tersebut yang tidak melihat ke atas, ia ambil batu kerikil. Dengan perhitungan yang tepat, ia lemparkan batu kerikil tersebut tepat mengenai kepala si tukang yang sedang asyik bekerja di bawah.

Kaget bukan main! Tukang yang sedang asyik bekerja kemudian menoleh ke atas. Melihat ke sumber batu kerikil itu jatuh. Dilihatnya mandor yang ia hormati. Ia pun kemudian meminta maaf karena tidak melihat ke atas. Keasyikan bekerja sampai lupa melihat ke atas. Ia lupa melihat darimana datangnya uangnya jatuh. Alih-alih melihat ke atas, ia lebih suka melihat kiri dan kanan berharap tidak ada tukang lain di sampingnya.

Tukang pun meminta maaf dan mengembalikan uang yang ia temukan saat bekerja karena ia tahu itu bukan uangnya. Mandor baik hati. Ia tetap memberikan uang tersebut untuk kebutuhannya. Ia hanya berpesan "Lihatlah ke semua arah. Jangan lupakan di atas kita!"

Mandor dan Tukang Bangunan, siapakah kita? (Iden Wildensyah)
Share:

Kamis, April 17, 2014

Solpatu

"Solpatuuuuu!" Demikian saya memasarkan jasa. Saya adalah tukang sol sepatu. Nama saya Dedi tapi orang-orang lebih suka memanggil saya Ujang. Mungkin karena usia saya yang masih kecil, orang sunda memanggil anak kecil dengan "Jang, ujang". Tak apa, saya senang dipanggil ujang. Rasanya sangat akrab kalau ada orang panggil saya ujang. Mulai dari para pedagang di stasiun, kernet elf, kernet angkot di terminal semuanya memanggil saya, ujang.

                            Sepatu (www.deviantart.com)
Awalnya saya nongkrong di statsiun kota. Saya menawarkan jasa semir sepatu. Lama kelamaan pengguna jasa semir sepatunya berkurang. Mungkin orang sudah jarang memakai sepatu kulit seperti yang dulu pernah trend. Bergantilah saya menjadi tukan sol sepatu. 

Bapak saya mewarisi keahliannya. Lewat bapak, saya belajar menjahit dasar sepatu yang terlepas. Dari yang kecil-kecil dan mudah lalu saya beranjak ke sepatu yang agak rumit. Rumit dalam arti solnya kuat dan butuh tenaga lebih untuk menusukkan jarumnya. Bersyukur, serumit-rumitnya saya masih bisa menyelesaikan. Jikapun tidak, saya bawa pulang ke rumah kemudian saya kerjakan di rumah saat tenang. Yah, pekerjaan ini juga butuh ketenangan. Saya tak bisa terburu-buru. Jarum, benang, dan karet sepatu adalah benda yang berbahaya. Seandainya salah menekan bisa merobek kulit sepatu atau malah kulit tangan saya yang kena tusukan jarumnya.

Setiap hari saya berkeliling komplek. Dari satu komplek perumahan ke komplek perumahan lainnya. Berharap ada penghuni yang menggunakan jasa saya. Tak pernah mengeluh, saya jalani hari selalu dengan pengharapan yang lebih baik kepada Tuhan. Selalu berpikir positif kepada Tuhan bahwa rejeki akan datang kepada saya. Iya, saya punya alasan. Saya bekerja untuk orang lain. Saya bekerja dan memberikan jasa agar orang lain bisa nyaman lagi bersepatu. Setelah nyaman bersepatu, mereka bisa bekerja dengan tenang. Bisa mencari rejeki yang banyak untuk anak istri mereka. Hakekatnya seperti bekerja untuk diri sendiri, ternyata saya bekerja juga untuk kebaikan orang lain.

Saya senang menjalani keseharian ini. Demikian juga hal dengan seorang teman saya yang saya temui di komplek perumahan. Namanya Dadan, ia adalah sopir pribadi seorang direktur. Saya kenal karena ia pernah menggunakan jasa saya untuk memperbaiki sepatu majikannya. Sepatu Dadan pun pernah saya sol. Ia begitu menikmati hari-hari sebagai sopir pribadi.

Share:

Kamis, April 10, 2014

Rumput Kehidupan

Jika saja semua orang pernah merasakan kegiatan menyabuti rumput, saya yakin mereka akan tahu begitu bergunanya sebatang rumput. Walaupun letaknya ada di bawah, kadang terinjak, tumbuh tak diharapkan, tetapi rumput sudah memberikan banyak kehidupan buat mahluk lainnya. Manusia salah satunya mahluk yang diuntungkan oleh rumput.

Secara tidak langsung, rumput mampu menahan air, menyerap air yang tergenang di atasnya. Rumput juga membuat pemandangan sekitarnya menjadi indah, hijau dan sedap dipandang mata. Rumput banyak jenisnya. Ada rumput liar dan ada juga rumput taman yang sengaja ditanam. Harganya variatif mulai dari yang termurah sampai yang mahal. Rumput-rumput tersebut ada yang secara khusus didatangkan dari berbagai belahan dunia untuk ditanam. Rumput hias adalah rumput yang selalu dicari oleh penyuka taman.

Wah, banyak sekali kalau bicara rumput. Buat saya, rumput bukan sekedar rumput. Rumput itu kehidupan saya. Adanya rumput membuat saya bisa menghidupi diri saya juga keluarga kecil saya. Tak terbayangkan sebelumnya menjalani keseharian sebagai tukang rumput. Dulu saya bekerja di kebun tetapi panggilan dari salah satu orang di rumah yang besar untuk mengurusi rumput membalikkan semuanya. Saya mulai menerima orderan untuk menata taman, mencabuti rumput, menanam bunga-bunga yang baru. Semakin hari, semakin banyak pesanan. Akhirnya saya total menjalani hari-hari sebagai tukang rumput.


Awalnya peralatan sederhana yang saya bawa, semacam parang, gunting rumput, dan cangkul. Setelah ada pemotong rumput yang digerakkan mesin, mulai saya gunakan mesin potong rumput. Saya tempel di sepeda motor tua, vespa. Sepeda motor itu yang setia mengantar saya ke berbagai tempat untuk memotong rumput.

Setiap pagi, saya pergi berkeliling komplek dari satu rumah ke rumah lainnya untuk memotong rumput. Saat berkeliling, saya sering berpapasan dengan seorang teman saya yang juga berkeliling komplek. Bedanya ia membawa peralatan sol sepatu. Saya panggil ia, Ujang. Saya gak tahu namanya tapi orang sunda memanggil orang yang usianya lebih muda bahkan terlihat masih kecil dengan panggilan Ujang.

Rumput Kehidupan (Iden Wildensyah)
Share:

Pagi Baru

Pagi ini adalah pagi baru yang akan ku jalani bersama anak-anak hebat di kelas. Selalu aku katakan sebagai hari baru kepada anak-anak. Aku coba tanamkan ini sebagai bahan untuk selalu mencari hal-hal baru pada anak-anak. Setiap pagi, ku kayuh sepeda melewati jalan raya dan beberapa toko yang ada di kota kecil ini. Sisanya melewati jalur kampung yang harus meminggir jika pengendara motor lewat. Maklum, sebuah gang bukan sekedar jalan saja tetapi juga jalur umum untuk mereka yang memiliki motor. Aku, masih setia dengan sepeda ini. Pagi baru ini aku bersiap untuk pergi menemui keceriaan dan kegembiraan anak-anak.

Pagi baru berarti aku bertemu Mahmud, seorang anak yang selalu berpikir positif jika teman-temannya menjahili. Mahmud tidak pernah sekalipun membalas temannya yang jahil pada dia. Dia seolah mengerti bagaimana temannya sedang berproses mengenali diri dan situasi saat berinteraksi dengan sesamanya. Mahmud suka bermain bola, ketangkasannya bermain membuat teman-temannya berebut untuk menjadi bagian kelompoknya.
Rumah Pohon (deviantart.com)

Suatu hari Mahmud datang padaku “Kak, punya ide untuk membuat pesawat luar angkasa”. Mahmud kemudian menceritakan sebuah gagasan-gagasannya yang luar biasa. Aku sesekali menanggapinya untuk mengapresiasi ide yang dia miliki. Gagasan ini bukan sekali dua kali dia sampaikan padaku, pernah satu kali waktu dia bercerita tentang kisah nabi-nabi yang menurut dia sangat menarik karena ada peperangannya.

Pagi baru berarti aku bertema Dani, seorang anak yang penuh cerita lucu. Dani senang melucu di antara teman-temannya. Dani sangat senang ketika teman-temannya tertawa oleh tingkah lucunya. Dani juga suka bercerita tentang proses mendapatkan kisah-kisah lucunya. Selain dari pengalamannya saat bermain di rumahnya, Dani juga mendapatkan kisah lucu tersebut dari buku-buku homur yang dibelikan bapaknya. Bapak Dani sangat mengerti bagaimana anaknya sangat menyukai kisah-kisah lucu.

Kisah lucunya tersebut mulai dari banyolan, cerita orang lain, juga dari tebak-tebakan yang spontan akan memancing tawa seluruh kelas. Suatu hari Dani cerita tentang seorang kakek dan nenek yang baru saja pulang dari dokter. Kakek kebingungan dengan secarik kertas yang diberikan oleh dokter. Kertas tersebut harusnya dibawa ke apotek untuk mendapatkan obat, tetapi karena ketidaktahuan si kakek akhirnya dibawa pulang saja. Di rumah, si nenek menjawab kebingungan si kakek. Nenek bilang “Masukan saja kertasnya ke gelas tambahkan air, mungkin itu jampi-jampi”. Gerrrrrrr semua anak tertawa, mereka melihat sebagai sesuatu yang lucu karena kakek dan nenek tidak mengenal resep dokter, yang mereka ketahui hanya jampi-jampi.

Pagi baru juga berari bertemu Darojat atau biasa dipanggil Ojat oleh teman-temannya. Ojat adalah anak yang cekatan. Ojat paling cepat kalau sudah berkarya, begitu juga saat beres-beres kelas. Sering kali Ojat diminta oleh teman-temannya untuk membantu membereskan sisa berkaryanya. Ojat sangat senang membantu teman-temannya. Kesenangan Ojat membantu temannya itu membuat Ojat banyak teman. Bahkan anak-anak lain yang beda kelas juga sangat senang dengan Ojat. Ojat tidak pernah mengeluh walau pekerjaannya banyak. Inilah yang membuat Ojat disenangi teman-temannya.

Ojat suatu kali pernah meminta ijin untuk tidak masuk sekolah karena harus membantu pamannya panen padi di sawah. Pamannya sangat senang karena Ojat mau belajar bertani, menanam padi, dan juga memanen. Saat itu kebetulan pamannya hendak memanen padi. Ojat tidak mau kehilangan kesempatan belajar. “Kak, aku ijin gak masuk besok yah, paman mau panen dan aku ingin belajar memanen padi”. Begitu kata Ojat sebelum pulang. Aku katakan, “Wah sangat menarik, Jat. Kalau sempat nanti cerita sama teman-temannya, yah”. Benar saja, keesokan harinya, Ojat bercerita dengan antusias bagaimana dia memanen padi, walau cape tetapi banyak hal yang menyenangkan.

Pagi baru berarti aku bertemu Darsa, seorang anak pendiam yang selalu berpikir. Aku katakan demikian karena Darsa nyaris tidak suka berbicara. Darsa lebih banyak diam ketika teman-temannya saling bercanda, bercerita, dan diskusi. Walaupun diam tetapi Darsa menyerap semua informasi yang masuk pada dirinya. Darsa hanya berbicara sesekali saja misalnya ketika dipancing pertanyaan “Menurut Darsa, bagaimana yah pembagian matematika dalam kehidupan kita?”. Darsa menjawab dengan meyakinkan, “Banyak kak, misalnya pada saat membagi kue, membagi permen, membagi pekerjaan, membagi uang. Kan pembagian bukan hanya soal angka-angka”. Darsa memang benar-benar mantap. Dia bisa melihat banyak sudut yang biasanya tidak terjangkau anak-anak seusianya.

Darsa lebih menyukai membaca buku yang dibawanya atau pergi ke perpustakaan untuk mengisi istirahatnya dibandingkan main dengan teman-temannya. Ketika kutanyakan, Darsa menjawab “Ah kak, aku senang membaca saja, kan buku bisa membawa aku ke berbagai tempat menarik di dunia”. Wooow... jawaban yang sangat menarik bagiku. Darsa memang hebat, dan setiap pagi aku harus bersiap dengan informasi baru yang ia dapatkan dari buku yang sudah ia baca.

Pagi baru berarti aku bertema sosok mungil penuh keceriaan, dia adalah Nurmelina. Teman-temannya biasa memanggil Nina. Nina adalah sosok yang menggembirakan teman-temannya. Nina selalu ceria, keceriannya terpancar dari tingkahnya yang energik, lincah, dan selalu tersenyum. Nina juga suka bercerita terutama cerita tentang pahlawan nasional. Nina terinpirasi oleh sosok Tjoet Nyak Dien. Nina mengatakan bahwa Tjoet Nyak Dien adalah perempuan hebat yang berani melawan penjajah. Walaupun penjajah menggunakan senjata api, tetapi Tjoet Nyak Dien tidak takut. Tjoet Nyak Dien berjuang sampai titik darah penghabisan. Aku pernah menanyakan pada dia, “Kalau sekarang kan tidak perang, berarti Nina mengambil pelajaran dari kisah Tjoet Nyak Diennya, seperti apa?”. Nina berkata “Aku harus belajar sungguh-sungguh, Kak. Seperti Tjoet Nyak Dien yang berjuang teguh melawan penjajah, aku juga harus semangat berjuang agar aku bisa belajar semakin baik”.

Pagi baru berarti aku juga bertemu dengan Dodo, anak yang katanya bodoh dan nakal. Aku tidak katakan demikian, Dodo adalah anak yang memiliki potensi besar untuk menjadi atlet. Dodo berbadan besar di antara teman-temannya. Dodo senang kegiatan olah raga, sepertinya Dodo hanya menyukai kegiatan olah raga saja. Dodo seperti malas-malasan kalau sudah kegiatan matematika. Dodo merasa dirinya tidak bisa menghitung. Tetapi bagiku tidak, Dodo sebenarnya pandai matematika, Dodo bisa menyerap dengan baik setiap pelajaran matematika. Sayangnya, Dodo tidak cukup sabar untuk mengerjakan soal-soal matematika.

Pernah satu kali waktu, Dodo seperti marah-marah. Dia mendatangiku dan berkata “Kak, aku tidak suka matematika, aku tidak suka soal ini, soal ini membuatku frustasi!”. Teman-teman kaget dan seketika langsung tegang, Dodo yang berbadan besar sedang marah-marah. Aku coba dekati, aku ajak Dodo diskusi. Sampai akhirnya Dodo berkata “Kak, ternyata mudah, yah!”. Senang rasanya hatiku melihat Dodo mau kembali terlibat dalam kelas. Biasanya Dodo selalu menarik diri untuk pergi dari lingkaran kelompok belajar di kelasnya jika dia merasa sudah tidak mampu untuk menyelesaikan soal-soal yang ada dihadapannya.

Pagi baru berarti aku juga bertemu Maesaroh. Teman-temannya memanggil dia Mae. Dia adalah anak rajin yang selalu rapi. Setiap kali Mae datang, temannya langsung mengerebungi untuk bermain congkak atau bola bekel. Mae bisa adil mengatur teman-temannya hingga mereka menjadi asik bermain. Mae bisa dikatakan sangat perhatian sama temannya, jika ada temannya yang tidak masuk sekolah, Mae biasanya menjenguk kemudian menceritakan pada teman-temannya. Mae juga menginisiasi teman-temannya untuk berkunjung ke temannya yang sakit. Kehadiran Mae membuat temannyas senang. Jika ada temannya yang bertengkar, Mae bisa melerai dan menyelesaikannya dengan baik. Setelah itu mereka bermain lagi dengan asik. Mae suka semua pelajaran, Mae ingin menjadi guru suatu hari nanti. Mae mengatakan bahwa Guru bisa mencerdaskan generasi bangsa. Mencerdaskan bangsa berarti mencerdaskan kehidupan. Dan inilah  kehidupan bagiku, seperti kata Mae yang selalu bijaksana dalam mengatur teman-temannya.

Pagi baru bagiku penuh dengan dinamika, pertanyaan-pertanyaan menarik dari anak-anak, ide-ide baru, keingintahuan baru, dan suasana baru yang akan menghiasi kehidupan. Inilah hari baru saat aku akan bertemu anak-anak hebat yang saling menginspirasi. Inilah generasi-generasi yang harus ku antarkan pada pengalaman-pengalaman belajar yang menyenangkan. Inilah pagi baru saat aku harus pergi.
Share:

Selasa, April 08, 2014

Sate Spesial

"Teee... Sateeeee!" Begitulah teriakan khas saya. Teriakan yang juga sama-sama dilontarkan oleh para pedagang sate dari Madura ini. Sekarang sih sudah saya tambah dengan bunyi gemerincing lonceng kuningan. Perlahan akan saya ganti teriakannya dengan gemerincing ini.

Setiap malam saya berkeliling dari satu komplek perumahan ke komplek perumahan lainnya. Ada yang sudah langganan tetapi banyak juga yang baru. Nah buat yang baru, saya biasanya senang. Para pelanggan saya selain keluarga di komplek perumahan juga keluarga di gang-gang kecil. Oh iya, tak lupa para mahasiswa dan mahasiswi yang kost di sekitaran kampus. Awal bulan saat mereka menerima kiriman uang biasanya makan sate. 

Sate yang saya jual paling banyak sate ayam. Selain ketersediaan ayamnya banyak juga pesanan paling diminati. Tentu saja harganya juga jadi lebih murah dibandingkan dengan sate kambing. Saya juga jual sate kambing walaupun stoknya tidak sebanyak ayam. Saya sediakan buat persiapan jika sesekali ada yang ingin sate kambing.

Syukur buat saya jika malam terang benderang dan cerah. Biasanya banyak warga yang begadang dan berkumpul. Mereka kadang makan-makan bersama di pos. Jika kebetulan saya yang lewat malam itu, bisa saja rejeki malam itu besar buat saya. Apalagi kalau sudah ada yang pesan lewat telepon, sms atau memberi kabar sebelumnya untuk lewat gang yang dimaksud, senang rasanya. Sudah malam cerah, dapat order banyak pula. Saya bisa menabung keesokan harinya dari hasil malam itu.

Malam hujan pun tetap saya jalani keseharian saya. Walaupun harus menahan dingin tetapi saya tetap laksanakan sepenuh hati menjemput rejeki. Saya tak bisa membayangkan bekerja siang hari. Seperti Pak Juju yang menjadi tukang potong rumput. Ia bilang kepada saya sebagai ahli taman.
Sate Ayam dan Sate Kambing itu enak (iden wildensyah)
Share:

Senin, April 07, 2014

Vermak Jeans

Bukanlah sesuatu sulit saya lakukan sekarang. Hanya memotong kemudian jahit kembali dengan warna benang yang sama. Ukurannya tinggal sesuaikan dengan kebutuhan. Itu teorinya, saya katakan sangat mudah. Kenyataannya kalau menemukan klien yang menuntut kesempuraan, beda ceritanya. Tapi saya tak pernah membeda-bedakan setiap orang yang membutuhkan jasa saya. Istilahnya saya tidak mau menolak rejeki. Saya Maman, sangat menyukai sepakbola sejak dahulu. Bahkan beberapa teman saya menganggap saya sebagai 'jurig bola'. Salah satu tim yang saya sukai adalah Persib Bandung. Maklum saya tinggal dari daerah asal yang banyak menjadi pemain Persib.

Sejak kecil saya mengidolakan pemain Persib. Dulu hanya mendengar lewat radio, tapi sekarang saya bisa melihat langsung ke lapangan kalau Persib Bandung main. Kesenangan saya pada Persib Bandung ini saya tunjukan lewat baju yang sering saya pakai. Saya selalu memakai kaos Persib saat menjalani keseharian di tempat saya bekerja sebagai tukang vermak jeans.

Saya tinggal tidak jauh dari toko tempat saya mangkal. Bersama anak istri, saya mengontrak satu rumah kecil. Istri saya bekerja juga di rumah. Ia mencuci baju kotor tetangga yang tidak sempat mencucinya. Buruh mencuci lumayan untuk menambah hidup kami berempat. Kadang ia juga menerima order untuk memasak di katering bu Haji.

Setiap hari saya berada di depan toko, menunggu order memotong celana jeans yang kepanjangan atau mengecilkan dari ukuran yang ada. Setiap hari selalu ada pesanan. Itulah mengapa saya bertahan di tempat ini. Saya percaya Tuhan Maha Baik. Rejeki mah di atur sama yang Kuasa. Jadi gak akan saya lewatkan setiap hari dengan doa dan harapan sebelum menuju tempat saya bekerja atau saat bekerja juga. Saya bersyukur setiap hari. Selalu ada yang datang ke tempat saya.

Saya tak mau mengeluh, itulah kenapa saya begitu bersemangat setiap hari membicarakan Persib Bandung agar suasana hati terus riang gembira. Kalau hati riang gembira, pelanggan juga datang dengan sendirinya. Nah, sama halnya dengan saya yang sering riang gembira, seorang teman bernama Marjuki, ia berjualan sate. Ia dikenal sebagai tukang sate sejak awal datang ke kota ini. Maklum ia berasal dari Madura. Ia jualan sate Madura.

Jeans dan sepatu
Share:

Tahu Gejrot Cirebon

Cirebon terkenal dengan sebutan kota wali songo, udang dan tahu gejrot. Batiknya trusmi sesuai nama tempat produksinya. Wilayah paling timur Jawa Barat dengan bahasa cerbon yang berbeda dari bahasa Jawa atau Sunda. Itulah sekilas saya jelaskan tentang Kota Cirebon. Saya berasal dari Cirebon dan sekarang menjalani keseharian sebagai penjual tahu gejrot yang biasa jualan keliling lalu mangkal di depan sebuah pertokoan elektronik. Nama saya, Narno. Mas Narno, demikian teman-teman saya menyebut nama saya dengan tambahan mas. Mas bisa berarti Aa kalau di wilayah Jawa Barat. Mas juga bentuk penghargaan untuk mereka yang usianya lebih tua dari kita.

Tahu Gejrot Cirebon
Tahu gejrot, sebuah makanan khas Cirebon yang sekarang banyak digemari. Tahu dan bumbunya khusus didatangkan dari Cirebon. Beda rasanya dengan tahu yang ada di Bandung, Sumedang, dan Cibuntu yang juga sama-sama produksi tahu. Tahu dari Cirebon sengaja didatangkan untuk kepuasan pembeli. Seperti tak lengkap jika bumbu tahu gejrot tetapi tahunya bukan dari Cirebon.

Dengan rasa yang gurih, asin, dan pedas, tahu gejrot kini banyak yang mencarinya. Tak heran jika pengusaha dari Cirebon banyak berdatangan ke kota ini untuk mencari peruntungan berjualan tahu gejrot. Lihat saja di Jalan Asia Afrika, dekat Gedung Merdeka, para penjual tahu gejrot berjejer di pinggir jalan menunggu pembeli.

Ada dua rombongan penjual tahu gejrot di kota ini. Keduanya dikoordinir oleh pengusaha yang memasok bahan baku utama langsung dari Cirebon. Mereka sama teman-teman saya juga. Kalau bertemu di jalan, kami bertegur sapa dengan bahasa cerbon.

Sudah lama saya mengisi keseharian sebagai penjual tahu gejrot ini. Buat saya, tak masalah semakin banyak penjual tahu gejrot di kota ini. Tuhan Maha Pemberi rejeki, tak akan tertukar rejeki saya dengan teman saya. Adakalanya sehari habis semua, tetapi adakalanya bersisa banyak.

Saya senang menjalani keseharian ini. Melihat pembeli yang puas dengan tahu gejrot saya, rasanya senang sekali. Apalagi kalau bertemu pembeli yang juga sama-sama dari Cirebon, terasa seperti pulang kampung. Saya berikan bonus mengobrol ke sana ke mari untuk menghangatkan suasana.

Pembeli saya beragam, dari mulai mahasiswa, guru, dosen, pejalan kaki, tukang gali, bahkan sesama penjual yang juga mangkal berdekatan dengan saya. Di tempat mangkal, saya mengenal Doni. Tukang parkir yang bertato di tangannya, tetapi hatinya baik. Ia senang membeli tahu gejrot. Kalau saya berhalangan hadir, ia selalu menanyakan keberadaan saya. Ia peduli dengan teman-temannya.
Share:

Parkir Nyaman

Tak pernah terbayang sebelumnya bahwa saya harus berada di tempat ini. Pelataran toko yang menjual alat musik. Dulu saya bercita-cita menjadi pemain sepakbola. Waktu kecil di kampung, saya bermain sangat lincah bahkan beberapa guru SD menjuluki saya si Maradona.

Pergi ke kota awalnya diajak teman berjualan. Tapi karena tidak punya bakat menjual, rasanya jualan saya tak laku-laku. Lalu menjadi kuli bangunan, rasanya cape. Perkenalan dengan remaja-remaja kota yang sering nongkrong membawa saya ke tempat ini.

Mulailah saya mengikuti gaya mereka. Bergerombol mengikuti acara musik dari satu tempat ke tempat lain. Gaya-gaya berpakaian saya tiru sedemikian rupa. Termasuk tato, ya, tato. Saya punya tato di beberapa bagian tubuh. Tanganlah yang paling banyak. Saya menyukainya karena senang berada dalam lingkungan yang bertato juga. Dulu tak pernah punya bayangan akan memiliki tato. Bahkan kalau saya balik ke kampung, tato ini membuat beberapa teman lama saya jadi bergidik. Saya dianggap menjadi manusia bebas alias preman. Bukan, saya bukan preman sekarang. Saya menjalani keseharian sebagai tukang parkir.

Sampai memilih dan menyenangi berada di tempat ini, panjang ceritanya. Sekarang saya sudah menikah dan memiliki satu anak laki-laki. Untuk
Membiayai kontrakan rumah dan menghidupi keluarga, saya harus bekerja. Sayangnya pekerjaan yang saya idamkan tidak mungkin saya dapatkan. Jadilah saya nikmati keseharian di sini.

Setiap hari setelah mengantar anak sekolah, saya menuju pelataran toko ini untuk mengatur parkir. Tempat parkirnya tidak begitu luas tapi cukup menampung 10 mobil. Jika satu mobil Rp 2.000,-  berarti saya mendapat Rp 20.000,- dalam satu sampai dua jam. Sisanya yang lima menitan. Sehari saya bisa membawa ke rumah bersih Rp 100.000 -  250.000,- bahkan bisa lebih kalau sudah banyak yang parkir. Terutama pada akhir minggu saat banyak pengunjung.

Saya mengatur sedemikian rupa agar mobil biasa parkir dengan teratur dan rapi. Menjadi kepuasan tersendiri jika banyak mobil yang parkir dengan rapi dan tanpa keluhan sedikitpun baik dari pengendara maupun dari pedagang yang ada di sana. Oh iya, mereka sudah saya anggap teman-teman sendiri. Gak pernah ada yang mengganggu mereka. Kalau ada, saya hadapi saja. Kasihan kalau tidak ada yang membela. Apalagi pedagang di sini sudah tua-tua.

Di pelataran toko musik sebelah toko baju, ada seorang penjahit. Lebih tepatnya dia menerima jasa vermak jeans. Menunggu dari dalam pembeli yang ukuran celana jeansnya kepanjangan. Ia bantu agar sesuai dengan keinginan pembeli. Namanya Kang Maman. Seusia saya dan selalu jadi teman mengobrol yang menyenangkan. Ia suka bola, kalau sudah bicara team kesayangannya, ia bisa berbusa-busa.
Share:

Minggu, April 06, 2014

Balincong

Alat ini setia menemani saya sehari-hari. Selain balincong, saya juga membawa satu rancatan dan dua tanggungannya. Dua alat ini menjadi wajib bagi pekerja seperti saya. Balincong untuk menggali dan tanggungan untuk membawa galian tanahnya ke sisi yang lain.

Pekerjaan menggali tanah sudah lama saya tekuni. Saya Udin dari kampung yang jauh jaraknya dari kota ini. Setiap hari saya mangkal di depan kantor wilayah. Menunggu orang yang butuh jasa penggali tanah. Mereka adalah adalah para kontraktor yang sedang membangun rumah, gedung, dan lain-lain. Sekarang mulai baru walaupun tidak baru-baru banget, kontraktor untuk saluran telekomunikasi. Mereka menanam kabel di bawah tanah sepanjang jalan. 

Rejeki buat saya jika ada kontraktor seperti itu. Apalagi galiannya panjang, bisa berhari-hari bahkan bisa berbulan-bulan. Rupa-rupa kabel mulai dari ukuran sampai warnanya. Ada kabel yang satuan, ada kabel kecil-kecil yang dibungkus jadi besar. Menarik bersama-sama setelah mendapatkan lubang galiannya.

Selain para kontraktor, ada juga yang menggunakan jasa tukang gali untuk keperluan rumah tangga seperti membuat galian sumur, galian saluran air, galian pondasi baru, dan galian untuk tanah. 

Kalau sedang bekerja di rumah, kadang saya ingat anak-anak di kampung. Mereka masih kecil-kecil. Sekarang tinggal sama ibunya. Sekali dalam sebulan saya pulang ke kampung. Menengok anak dan istri juga sawah. Yah, saya punya sawah. Pergi ke kota itu mengisi waktu setelah sawah beres saya tanami. Giliran mau panen, saya pasti pulang dulu untuk memanen padi yang sudah menguning.

Aneh rasanya jika tinggal terlalu lama di kampung. Sepi, saya lebih suka mangkal sebagai tukang gali. Walaupun meninggalkan anak dan istri di kampung tapi ada perasaan puas karena saya bisa menafkahi mereka dari hasil menggali di kota. Mereka tak keberatan karena saya penuhi kebutuhan sehari-harinya. Kalaupun kehabisan uang, mereka tinggal nganjuk (ngutang) di warung kemudian dibayar saat saya pulang.

Demikian halnya dengan saya di sini. Jika tidak ada uang karena belum dapat pekerjaan, saya nganjuk saja. Pemilik warung sudah biasa. Mereka tahu dan percaya bahwa saya akan membayar setelah mendapat bayaran dari pekerjaan menggali tanah.

Buat saya, menggali tanah sudah jadi keseharian saya dalam hidup ini. Saya tak pernah mengeluh saat ada pekerjaan atau belum mendapat pekerjaan. Saya tahu Tuhan Maha Adil. Ia akan selalu memberi rejekiNya selama kita berusaha. Saat mendapat pekerjaan, saya bersyukur demikian juga saat saya harus menunggu, saya tetap bersyukur.

Saat menunggu, saya bisa bercengkrama dengan teman-teman dari kampung dan juga mereka yang bekerja di bidang yang lain seperti berdagang. Sering banyak pedagang lewat tempat mangkal saya. Misalnya Mang Ihin yang jualan bandros, dan Mas Narno yang jualan tahu gejrot. 
Kampung halaman (iden wildensyah, 2014)
Share:

Postingan Populer