Sisi lain sebuah kota pertambangan adalah denyut kota yang
bergairah dari awalnya hanya sebuah wilayah kecil menjadi kota metropolitan
yang bergelimang menawarkan berbagai jenis layanan untuk warganya. Kisah-kisah kemajuan
selalu beriringan dengan dampak yang ditimbulkannya. Misalnya hilangnya
keanekaragaman hayati di lokasi setempat, tercemarnya air dan tanah serta
udara, dan yang tidak kalah menariknya adalah fenomena AIDS di Kota
Pertambangan.
Ah, saya katakana saja demikian. Fenomena AIDS di Kota Pertambangan
menjadi menarik untuk dilihat sisi-sisi lainnya. Metropolitan terkadang menjadi
jahat untuk mereka yang tidak bisa mengendalikan dirinya. Menjamurnya tempat-tempat
hiburan bisa menjadi sebuah alternative untuk melepaskan kepenatan selama
beraktivitas. Penat karena pekerjaan yang monoton selama berhari-hari kemudian
lepas dan bebas dengan sehari di tempat
hiburan. Pekerjaan ini membutuhkan fokus dan konsentrasi tinggi setiap harinya.
Kehilangan fokus dan konsentrasi berakibat fatal pada orang atau alat yang
sedang bekerja.
|
Suatu malam di pinggir jalan, Timika, Papua (iden wildensyah) |
Fenomena AIDS di Kota Pertambangan bukan hanya isapan jempol
belaka. Dalam Laporan Kementerian Kesehatan di bulan Juni 2011 menunjukkan
penularan HIV berubah dalam lima tahun terakhir dan ada kecenderungan penularan
baru HIV dan AIDS melalui transmisi seksual dengan kelompok terbesar pada
pekerja laki-laki, yang kebanyakan bekerja di sektor-sektor pertambangan,
perkebunan, perhubungan dan konstruksi yang berlokasi di daerah-daerah
terpencil di Indonesia.
Pekerja di sektor-sektor tersebut umumnya memiliki mobilitas tinggi dan dengan
upah yang cukup besar sebagai kompensasi lingkungan yang penuh resiko, namun
banyak yang memiliki perilaku seksual berisiko tinggi, seperti membeli
pelayanan seks tanpa alat pelindung. Perilaku seks tanpa alat pelindung ini
menjadi bagian yang penting dikampanyekan oleh berbagai lembaga yang fokus
menangani fenomena AIDS di kota-kota pertambangan. Aturan mengenai
penanggulangan HIV dan AIDS di tempat kerja sudah dituangkan dalam Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 68 tahun 2004 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan HIV dan AIDS.
Godaan Uang, Minuman Keras, dan Seks Bebas
Dalam catatan Kompas, di Timika Ibukota Kabupaten Mimika,
Papua. HIV/AIDS menjadi wujud nyata kehancuran orang asli Papua. Mereka diguncang
oleh modernitas yang bergelimang uang, gemerlapan, dan konsumtif. Sejak tahun
2006, kota yang dibanjiri uang bisnis pendulangan emas tailing PT Freeport
Indonesia (PTFI), dan perputaran dana kemitraan PTFI –lazim disebut dana satu
persen- itu telah menjadi kota dengan jumlah kasus HIV/AIDS tertinggi di Papua.
Barangkali sebuah kebetulan bahwa kasus pertama HIV/AIDS di Timika ditemukan
tahun 1996, tahun dimana pertama kali pengucuran dana satu persen.
Akan tetapi, jika melihat buku laporan jurnalistik kompas
ketika melakukan eksepedisi ke tanah Papua, bukan sebuah kebetulan jika dari
1.382 kasus HIV/AIDS yang ditemukan hingga 30 Juni 2007, 884 kasus dialami
warga dari ketujuh suku penerima dana satu persen.
Gaya hidup baru yang bergelimang uang, minuman keras, dan
seks bebas terus merebak di Timika, tanpa memandang umur. Di Timika, pelajar
SMP sekalipun bisa masuk dalam kelompok berisiko HIV/AIDS, karena maraknya seks
bebas dan konsumsi seks. Yang lebih mengenaskan banyak orang di luar kelompok
risiko yang juga telah menjadi korban. Sejak 1996 sampai saat ini sudah
ditemukan sekira 29 bayi dan anak-anak yang terinfeksi HIV. Seluruh bayi dan anak
itu terinfeksi saat berada di dalam kandungan.
Demikian hal dengan ibu rumah tangga, sejumlah 305
terinfeksi HIV/AIDS. Satu kasus penularan HIV/AIDS melalui tranfusi darah
menunjukan ancaman besar bagi setiap orang di Timika karena HIV/AIDS telah ada
di mana-mana. Data dari Dinas Kesehatan dan Keluarga Berencana Kabupaten Mimika
menunjukan proporsi HIV positif dalam kantung tranfusi darah pada Mei 2007
mencapai 1,44 persen.
Penanggulangan
Fenomena AIDS di kota pertambangan demikian menakutkan
tetapi pencegahan yang dilakukan untuk mengurangi angka yang terinfeksi
HIV/AIDS harus terus dilakukan. Dalam beberapa kesempatan, kampanye-kampanye
kesehatan dilakukan oleh dinas terkait dan PT Freeport Indonesia. Semua kembali
kembali kepada manusianya. Demikian besarnya godaan atas keberlimpahan sumber
daya bisa menjadi boomerang jika tidak bisa mengendalikan diri dengan baik.
Sebaik usaha yang dilakukan melalui kampanye-kampanye
penanggulangan HIV/AIDS jika tidak ada perubahan dalam diri manusianya pasti
hasilnya nihil. Dengan itikad baik untuk mengajak kebaikan, saya yakin
kelompok-kelompok spiritual seperti komunitas keagamaan, komunitas sekolah, dan
komunitas kemasyarakatan lainnya bisa diandalkan untuk menanggulangi penyebaran
HIV/AIDS di masa-masa yang akan datang.
Harapan tentu masih ada, dengan bersatu padu antar semua
elemen masyarakat dan Negara untuk mencegah kenaikan angka yang terinfeksi bisa
dilakukan bersama-sama. Semoga jalinan antara berbagai komunitas lintas sector bisa
menjadi harapan untuk generasi yang akan datang. Mengabaikan anak-anak yang
terinfeksi adalah kesalahan besar, bagaimanapun mereka adalah penerus bangsa
ini. Dengan meraih semua pihak dan melibatkan dalam berbagai kampanye kesadaran
tentang risiko HIV/AIDS ini mudah-mudahan fenomena AIDS di kota pertambangan
hanya menjadi cerita masa lalu saja. Generasi selanjutnya bisa tersenyum lebih
baik dari sekarang.