Ruang Sederhana Berbagi

Tampilkan postingan dengan label Masyarakat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Masyarakat. Tampilkan semua postingan

Senin, November 23, 2015

Banti, Cerita Kepedulian Kepada Lingkungan dan Masyarakat Lokal

Banti bisa jadi salah satu destinasi menarik untuk anda kunjungi. Letak di bawah Tembagapura. Ketinggiannya berkisar antara 1.000-1.500 mdpl. Cukup dingin untuk ukuran mereka yang terbiasa sehari-hari berada di pantai tapi hangat buat mereka yang sering berada di ketinggian seperti Tembagapura. Banti termasuk salah satu wilayah binaan PT Freeport Indonesia. Semua fasilitas umum dibangun dari dana corporat social responsibility untuk masyarakat setempat seperti jalan, jembatan, gedung sekolah, rumah sakit, pasar, dan lain-lain.
Eksotisme Banti sudah terasa sejak memasuki kawasan desa. Dipinggir jalan tanaman hijau tersebar dengan baik. Sungai mengalir dengan deras. Penduduk berjalan dengan damai di pinggir sambil membawa gendongan yang disangkutkan ke kepalanya. Di beberapa lokasi sungai, tampak para penambang tradisional melakukan aktivitas penambangan menggunakan alat seadanya seperti saringan dan penyedot air sungai. Aktivitas yang mengundang banyak pendatang ke Tembagapura. Terlihat sepanjang jalan banyak sekali pendatang yang mendirikan bangunan semi permanen.
Beberapa warung yang menyediakan kebutuhan sehari-hari tampak mencolok karena warna barang jualannya yang kontras berbeda dengan alam sekitar. Sebut saja barang-barang dari plastik seperti ember, gayung, dan beberapa jenis pakaian. Pendatang ini seolah memeriahkan suasana penambangan di sungai tersebut. Beberapa dosen yang saya kenal sewaktu kuliah dulu pernah bercerita tentang para penambang tradisional ini. Mereka menggunakan air raksa untuk memisahkan mineral emas dari pasir tailing yang ada di sungai tersebut. Sebuah aktivitas yang berbahaya karena menyangkut logam merkuri yang akan mencemari air sungai dan biota lainnya. Terlebih selain biota yang hidup di sekitar sungai tetapi juga manusia.
Selama perjalanan ke Banti, sesekali saya melihat rumah tradisional Papua yaitu Honai tetapi sudah lebih modern karena atapnya menggunakan terpal atau plastik. Dalam Honai yang benar-benar asli, atapnya terbuat dari bahan alami yaitu sirap. Honai yang masih tersisa di Banti, bagian bawahnya tetap menggunakan deretan kayu-kayu yang keras. Sebagian rumahnya sudah ada yang berjenis panggung seperti rumah di pulau Jawa. Honai terselip di antara beberapa bangunan di sepanjang jalan.
Akses jalan ke Banti terbilang sangat mulus untuk ukuran jalan desa. Jembatan berdiri kokoh dilewati setiap hari oleh penduduk yang hilir mudik dari atau ke desanya setiap hari. Jalanan yang mulus ini harus tetap berhati-hati jika menggunakan kendaraan. Babi yang dipelihara oleh masyarakat setempat sering berlalu lalang di jalanan. Babi adalah harta yang paling berharga untuk kebanyak suku di Papua. Saking berharganya, babi dijaga sedemikian rupa agar tidak hilang. Babi juga masuk rumah dan tidur bersama-sama dengan pemiliknya di dalam rumah.
Jika saja seekor babi tertabrak dan mati, harga penggantiannya bisa lebih mahal dari harga kambing di pulau Jawa. Misalnya untuk babi yang baru beberapa bulan lahir saja harganya bisa mencapai jutaan rupiah. Seorang kawan bercerita bahwa temannya pernah harus mengganti sampai dua juta rupiah untuk seekor babi kecil yang tertabrak kendaraannya. Dengan terpaksa mereka harus merogoh sakunya dalam-dalam karena urusannya berabe jika tidak diselesaikan.
Hal lain yang penting diperhatikan adalah etika dan sopan santun. Kedua hal ini sangat universal dimanapun dan kapanpun kita berada. Memasuki Banti berarti anda memasuki wilayah adat tradisional. Di awal kunjungan saya diingatkan untuk berhati-hati saat berbincang dan memotret. Jangan sampai menjadi masalah hanya karena ketidaktahuan kita. Berbicara dengan penduduk lokal tentu sangat mengasyikan tetapi jika tidak tahu caranya, hal itu akan sangat merugikan kita. Para penduduk di Papua sangat berhati-hati saat berbicara dengan pendatang. Seorang guru di asrama Papua menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena antar satu suku dengan suku lainnya terkadang beda makna pada satu jenis kata. Untuk menghindari perbedaan makna ini, para penduduk lebih banyak terlihat seperti malu-malu saat diajak berbicara. Mereka mengobservasi dulu kita. Setelah terasa nyaman, obrolan akan mengalir. Berbeda dengan mereka yang sudah sering berinteraksi dengan penduduk dari luar, sudah tak sungkan lagi dan sangatlah asyik berteman dengan mereka.
Di Banti, semua akses masyarakat untuk pendidikan dan kesehatan dilakukan dengan gratis. Jika ada warga yang sakit, dokter dan tenaga kesehatan tak segan untuk menjemputnya bahkan sekalipun menggapai pedalaman. Dengan menggunakan helikopter, dokter dan tenaga medis siap melakukan pelayanan ke kampung-kampung. Jika bisa dirawat di rumah sakit Banti, warga yang sakit akan dirawat sebaikmungkin. Kalau ternyata sangat parah dan membutuhkan perawatan yang lebih, pasien akan dibawa ke rumah sakit di Jakarta. Jikapun ternyata di Jakarta terbatas, pasien akan dibawa ke luar negeri (Australia) dengan tetap gratis karena biaya perawatan akan dibayar oleh PT Freeport Indonesia.
Sebuah bentuk pelayanan masyarakat yang totalitas serta bakti untuk negeri yang nyata. Banti hanyalah bagian kecil dari bentuk dukungan perusahaan kepada masyarakat setempat. Bagaimanapun segala sesuatunya harus seimbang. Kepedulian kepada masyarakat sekitar harus terus ditingkatkan. Jangkauan yang lebih luas agar semua masyarakat Papua merasakan nilai dari kehadiran perusahaan harus makin dikembangkan. Jika bukan oleh mereka yang memiliki kepedulian kepada sesama, oleh siapa lagi? Tanggungjawab kemanusiaan adalah yang terpenting. Eksplorasi alam boleh dilakukan selama masyarakat setempat bisa merasakan hasilnya. Mengabaikan masyarakat berarti mengabaikan UUD 1945 bahwa alam beserta isinya digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Share:

Postingan Populer