Dari sekian banyak filsuf yang beredar, Ludwig Wittgenstein
saya pilih karena memberikan hal yang sangat menarik sebagai guru. Tentu saja
di samping cerita-cerita lainnya yang ia bawa sebagai manusia biasa yang lahir
ke dunia ini. Ludwig Wittgenstein berlatar belakang yang jauh dari dunia
filsafat adalah seorang mahasiswa Teknik Mesin di Universitas Manchester
saat pertama kali berkenalan dengan filsafat. Ia terkejut dengan sebuah
pertanyaan, “Apa angka itu?”
Pertanyaan itu yang ternyata jauh lebih menarik dibandingkan
materi perkuliahan yang ia dapatkan di bidang teknik mesin. Ia menyadari bahwa
pertanyaan itu sangat sulit untuk dijawab.
Ludwig Wittgenstein Bersama Siswa Sekolah Dasar (sumber: theparisreview) |
Bertrand Russel
Dari sebuah pertanyaan itu kemudian ia pergi ke Cambrigde
untuk menemui Bertrand Russel seorang ahli matematika yang terkenal pada masa
itu. Alih-alih memberikan jawaban, Russel malah menyuruh Wittgenstein pergi dan
menulis tentang pertanyaan itu. Ketika ia kembali dengan esainya beberapa bulan
kemudian, Russel sangat terkesan dengan esainya dan memintanya menjadi seorang
filsuf.
Wittgenstein yang awalnya dari bidang teknik mesin di
Universitas Manchester kemudian pergi meninggalkan bidang tersebut dan ia
pindah ke Cambridge untuk belajar di bawah bimbingan Russel.
Secara tidak langsung, Russel sangat memengaruhi
Wittgenstein dan dia menjadi sangat serius menekuni berbagai masalah dan isu
filsafat bahasa yang sedang dikembangkan oleh Frege dan Russel. Aliran ini
berusaha keras mencari jawaban dari pertanyaan yang dalam dan sangat
membingungkan, yaitu “Apa yang membuat bahasa menjadi bermakna?” Para filsuf
bahasa biasanya menghabiskan banyak waktu memikirkan mengapa, misalnya kata
“ayam” dan “kentang goreng” memiliki arti seperti yang dimaksudkan.
Wittgenstein muda mengembangkan filsafatnya tentang
bagaimana kata-kata memperoleh artinya. Menurutnya, bahasa manusia menjadi
berarti karena mewakili kenyataan seperti gambar. Sebuah kalimat (para filsuf
lebih suka menyebutnya proposisi) punya makna bila kalimat tersebut
menggambarkan suatu hubungan yang mungkin. Teori ini kadang disebut teori arti
gambar. Dari sini, Wittgenstein memublikasikannya dalam buku Tractatus
Logico-philosophicus yang terbit pada tahun 1921.
Buku Tractatus Logico-philosophicus memiliki cerita yang
menarik juga. Buku tersebut ditulis dalam parit perlindungan saat Perang Dunia
I berkecamuk. Ketika itu, ia menjadi sukarelawan dalam tentara Austria. Menurut
catatan, buku ini adalah salah satu buku yang paling sulit dimengerti dalam
sejarah filsafat. Kejadian ini mengingat saya pada sosok Tan Malaka yang
menyusun buku Madilog dalam berbagai kondisi kritis yang dialami oleh
penulisnya. Dalam pengejaran polisi, atau dalam kondisi yang sangat sulit
dibayangkan untuk keadaan sekarang.
Menjadi Guru Sekolah Dasar
Salah satu fase perjalanan yang menarik dari filsuf ini
adalah guru. Wittgenstein adalah seorang guru sekolah dasar. Setelah
menyelesaikan bukunya dan yakin telah menyelesaikan semua masalah filsafat, ia
mulai bekerja sebagai guru di sekolah dasar di Austria. Namun jangan
dibayangkan ia menjadi guru kreatif, menyenangkan, dan mengasyikan.
Kenyataannya semua tidak selancar yang dibayangkannya. Para orangtua murid
mengeluh bahwa anak-anak mereka sering diperlakukan kasar oleh Wittgenstein.
Mereka bahkan menuntut Wittgenstein dengan tuduhan telah berbuat keji.
Wittgenstein akhirnya berhenti mengajar dan kembali ke Cambridge.
Pertanyaan kenapa ia menjadi guru yang kejam buat saya sangat
menarik. Kenapa ia berlaku keji saat menjadi pengajar di sekolah dasar
tersebut? Saya menganggap ekspektasi dia terhadap anak didiknya terlalu tinggi
sementara kenyataan tidak sesuai ekspektasi. Terutama dia yang sangat fokus
pada konsep-konsep dasar yang berawal dari bahasa kemudian mentok ketika
berhadapan dengan anak-anak atau bisa jadi banyak sekali pertanyaan anak-anak
yang mendasar yang ia tidak bisa jawab sebagaimana adanya anak-anak.
Menjadi guru di sekolah dasar bukanlah pekerjaan yang mudah.
Banyak sekali hal yang harus dipersiapkan terutama hal-hal yang sifatnya filosofis, psikologis, dan persiapan mental lainnya . Ada kesadaran anak yang belum bisa dijangkau oleh orang dewasa yang
membuat mereka terkadang sulit untuk dimengerti dalam wacana orang dewasa. Di
sinilah saya menaruh respect kepada guru-guru senior di jenjang pendidikan anak
yang sudah lama berkecimpung dengan dunia anak dan tetap bisa objektif dalam
membangun pembelajaran menarik dan menyenangkan untuk anak-anak. Saya kira,
Wittgenstein tidak sampai pada kesadaran pendidikan anak seperti itu.