Selasa, September 30, 2014
Gunung Melayang
Hari Kopi Internasional
Senin, September 29, 2014
Kemarau
Bulan September ini kalau berdasarkan akhiran yang ber-beran kata orang sunda berarti hujan. Beda dengan bulan tanpa ber seperti maret sampai agustus. Februari dan januari masih masuk kategori ber-beran karena ada bruari dan nauri, masih ada er di dalamnya yang berarti juga musim hujan.
Maret itu sudah ret, sudah raat atau sudah berhenti. Berarti kemarau siap-siap dengan rentang waktu mulai dari maret sampai agustus. Dulu sih berlaku. Masih ingat setiap agustus itu selalu ada pertandingan sepakbola karena musim kemarau dan pertandingan tidak akan terganggu hujan.
Sekarang sudah beda lagi, bulan september boleh saja mengandung ber tetapi yang terjadi adalah kemarau panjang sejak bulan agustus. Juni dan juli masih hujan, agustus masih ada hujan sedikit tetapi selama bulan september ini sama sekali tak ada hujan. Alhasil beberapa daerah terjadi bencana kekeringan. Bersyukur di sekitar rumah, sumurnya masih ada air walaupun terbatas jumlahnya.
Kemarau yang panjang ini sangat menyiksa terutama debu jalanan kalau menggunakan sepeda motor, jalan kaki, atau bersepeda. Kita harus menutup hidung dengan kain atau masker agar terhindar dari debu. Di beberapa daerah juga kemarau ini mengakibatkan sawah-sawah gagal tanam karena kekurangan air. Ada yang mengatakan kemarau ini karena badai matahari beberapa bulan silam. Tetapi dari semua prediksi tentang kemarau, hal yang utama adalah proses keseimbangan alam. Kemarau panjang lalu bersiaplah untuk menghadapi hujan dan akibatnya yaitu banjir.
Minggu, September 28, 2014
Belajar Dari Bangsa Indian
Saya punya teman yang selalu tampil mirip orang Indian, berambut panjang, bandana, celana jeans belel. Rambut panjangnya selalu dikepang dua. Rambut gaya Indian Apache, bukan gaya mohawk yang sekarang lagi ngetrend.
Gaya dia mengingatkan saya pada tokoh dalam buku Karl May. Bedanya dalam kehidupan sehari-hari ia tak menunggang kuda. Kalau bicara petualangan, ia selalu bersemangat. Maklum ia termasuk salah satu tokoh pecinta alam di sekolahnya.
Dari sekian banyak cerita, ada satu cerita yang menarik buat saya adalah kecintaannya pada gaya Indian. Ia menuturkan bahwa pembelajaran penting bagi seorang petualang ia dapatkan dari bangsa Indian. Orangtua-orangtua Indian akan melepaskan anak-anaknya untuk menjadi penjelajah. Mereka (para orangtua) percaya bahwa alam adalah media pendidikan yang sangat bagus untuk membentuk mental anaknya. Makanya mereka akan melepaskan anaknya untuk menjelajah pada waktu usia tertentu. Bisa jadi pada saat usia menuju dewasa dan penjelajahan adalah pendewasaan seorang anak.
Saat menjelajah, seorang Indian muda tidak akan lepas dari lima unsur penting kehidupan. Tanah, air, api, logam dan udara. Empat hal utama tanah, air, logam, dan api selalu mereka bawa kemana-mana. Tanah, mereka selalu bawa sekepal tanah kelahirannya yang disimpan dalam kantung kecil. Ini mengingatkan mereka untuk kembali setelah menjelajah jauh. Air, mereka bawa dalam bentuk selalu menyediakan air minum selama penjelajahan. Air sangat penting karena tubuh kita sangat membutuhkan asupan air untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Logam, mereka bawa dalam bentuk pisau dan mata panah. Pisau adalah senjata untuk memburu saat bertahan hidup di alam bebas. Untuk memotong kayu saat membuat bivak, dll. Udara sebenarnya tidak mereka bawa setiap saat tetapi keberadaan udara sangat penting untuk kehidupan. Api mereka bawa dalam bentuk pemantik. Api penting untuk membakar dan memasak makanan. Api juga penting untuk membuat perapian saat hari terasa dingin misalnya malam hari.
Nah, keempat unsur itu kemudian selalu saya ingat sebagai bekal dasar setiap akan bergiat di alam terbuka. Hal ini juga saya bagikan kepada siapapun yang akan bergiat. Ini sangat penting karena membuat penjelajahan menjadi sangat menarik ketika persiapan sudah matang. Ayo menjelajah lagi!
Sabtu, September 27, 2014
Antara Lelaki dan Bajunya
Hidup Hari Ini
Suatu hari menjelang sore setelah memberikan instruksi untuk siswa Pendidikan Dasar sebuah Mahasiswa Pecinta Alam dari kampus yang berada di Jalan Setiabudi, Bandung, kami berkumpul di saung yang dijadikan base camp instruktur.
Seorang teman memulai pembicaraan yang menarik, "Tahun depan, kita tidak usah bikin perencanaan pendidikan dasar, langsung sebar formulir kemudian tahap kelas dan tahap lapangan. Orang-orang yang merencanakan pasti itu lagi, ke lapangan juga itu lagi, tinggal kader tiap pos agar tahun depannya mereka tidak ribet lagi bikin perencanaan".
Sekilas perkataan itu seperti bercanda, maklum kalau ada waktu berkumpul, para panitia pasti menyegarkan suasana dengan guyon lucu. Guyonan ini biasanya muncul lagi kalau ada acara kumpul-kumpul anggota. Tak pernah bosan untuk mengulang cerita menyenangkan pada masa lalu.
Nah, kata-kata teman saya itu kemudian saya maknai dikemudian hari. Ada benarnya semua kata-kata dia walaupun ada juga tidak benarnya. Saat itu semua instruktur rata-rata sudah melaksanakan pendidikan dasar minimal dalam jangka waktu 2 tahun. Dinamika di lapangan relatif datar karena semua sudah berjalan lancar dalam relnya masing-masing.
Di sisi yang lain, ada semacam kekhawatiran menurunnya trend penerimaan anggota karena titik jenuh para anggota untuk membuat inovasi. Syukurnya ini tidak terjadi. Kegiatan organisasi tetap berjalan sebagaimana mestinya sampai hari ini.
Seandainya saja semua tidak sadar dengan dinamika dan merasa sombong atas raihan saat itu, bisa jadi organisasi Mahasiswa Pecinta Alam itu sudah lenyap. Alam mengajarkan agar kita tidak sombong. Ini juga yang didengungkan kepada setiap siswa untuk terus semangat menyalakan harapan dalam diri agar bisa memberikan yang terbaik untuk lingkungan, untuk Indonesia.
Hidup hari ini! Saat matahari tak mampu memberikan kehangatan pada tubuh kita, harapkanlah bintang yang memberikannya, jika bintangpun tak mampu, nyalakan kehangatan dari dalam diri sendiri kemudian pancarkan keluar agar orang di sekitarmu merasakan kehangatan akan hadirmu!
Trubador
Kisah para trubador (saya lupa cara nulis yang benarnya, trabadur atau trabador) saya dapatkan dari Abah Iwan atau Iwan Abdurahman saat pentas pertama kali di Padepokan Mayang Sunda setahun yang lalu (sekitar Sept 2013). Sebuah kata untuk menggambarkan seorang pemusik pengelana yang singgah di setiap daerah kemudian bercerita, mendongeng tentang kisah-kisah inspiratif dan menghibur para pendengarnya. Kuda dan gitar atau alat musik lainnya menjadi sebuah padanan yang khas.
Kisah trubador juga saya dapatkan dari buku yang berjudul Sultan dan Santo. Sebuah buku yang menceritakan kisah dibalik proses perdamaian perang salib. Di buku itu, sang santo muda sangat terobsesi kisah-kisah heroik peperangan yang diceritakan oleh trabador. Dari cerita para trubador itu santo muda kemudian bertekad bahwa kelak ia akan menjadi ksatria perang.
Kisah para trubador ini menyala tidak hanya di Eropa, Spanyol khususnya tetapi juga di kawasan Amerika terutama Amerika Latin. Tak hanya itu, trubador semalam saya temui juga di Padepokan Mayang Sunda. Adalah Abah Iwan yang mendongeng kisah-kisah inspiratif penuh dengan muatan moral yang positif tentang kehidupan, romantika jaman dahulu serta harapan yang harus terus menyala untuk hari esok masa depan kehidupan yang lebih baik.
Banyak pesan moral yang muncul dari setiap lagu Abah Iwan. Semua hal yang menyangkut kehidupan dari hal-hal kecil sampai besar tak luput dari pengamatan abah. Misalnya tentang bunga warna putih kecil yang muncul di lembah, kemudian ia temui juga di tempat lain dengan bentuk yang sama. Atau misalnya tentang pesan burung kecil yang jangan diburu dan masih banyak lagi.
Performa abah malam itu sangat maksimal. Setiap pergantian babak, abah berganti kostum. Walaupun cuma selembar kain tapi energinya sungguh sangat luar biasa. Misalnya ketika ia memakai syal Wanadri untuk menceritakan kisah bersama Wanadri, memakai baju loreng pasukan khusus untuk menceritakan kisah perjuangan, dan masih banyak lagi termasuk bergaya flamboyan lengkap dengan kacamata pilot untuk menceritakan kisah romantis bunga-bunga. Yang ditunggu tentu saja burung camar, saat abah menceritakan kisah dibalik penciptaan lagu yang kemudian dipopulerkan oleh Vina Panduwinata.
Banyak sekali alias banyak pisan energi semangat yang tercurah malam itu bersama Abah Iwan. Ia membagikan banyak ilmu pengetahuan berdasarkan pengalaman yang sudah dilewatinya. Dan satu hal yang saya catat adalah hiduplah mulai dari hari ini, nyalakan harapan dalam diri masing-masing, jangan berharap orang lain untuk menyalakan api dalam diri kita. Kasihanilah setiap orang seperti kau tidak akan hidup hari esok. Kata-kata ini mengingatkan saya pada Pho.
Jumat, September 26, 2014
Negara (tanpa) Demokrasi
Pagi ini saya mendapat kabar tentang matinya demokrasi karena pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPR bukan lagi dipilih langsung oleh rakyat. Ini adalah kemunduran dalam kehidupan berdemokrasi.
Kecuali ini negara kerajaan yang dipimpin oleh raja, bisa saja pemilihan kepala daerah dilakukan langsung oleh raja tapi ini negara yang bukan kerajaan. Jadi sewajarnya segala kebijakan itu berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Semalam juga melihat lalu lalang timeline perihal ini rame pisan. Misalnya #RIPdemokrasi untuk menggambarkan kematian demokrasi di Indonesia, lalu ada lagi #ShameOnYouSBY untuk menyindir sikap SBY terhadap sikap partai demokrat yang walk out saat sidang penentuan pilkada langsung atau pilkada DPR.
Buat saya, ini dinamika yang harus terjadi. Rakyat diuji lagi kebersamaannya. Kalau rakyat secara umum menolak, saya yakin rakyat akan menang untuk melawan politikus rakus jabatan. Pembelajaran dinamika ini mengingatkan saya pada setiap kejadian di kelas. Miniatur kehidupan ada di dalam kelas, bersama mereka saya belajar dewasa dalam bersikap terutama menghadapi situasi-situasi sulit.
Ayo bergerak!
Atau kembali ke sawah mencangkul lagi!
Menulis Tangan
Lama saya tak membuat catatan tulisan tangan setelah banyak versi digital yang saya gunakan. Saat bergiat bersama anak-anak yang keseharian berada di kampung tanpa paparan teknologi digital, saya merasa ada yang hilang ketika saya terlalu sering berinteraksi digital.
Ada yang nyata di depan saya yaitu anak-anak yang bermain selalu dengan alam. Mereka berinteraksi secara alamiah dengan lingkungan sekitarnya. Maka sayapun berusaha mendekati mereka tanpa teknologi untuk menjaga kemurnian jiwa mereka.
Mulailah saya menulis dengan tangan. Hasilnya ada kepuasan yang saya rasakan ketika satu tulisan tangan selesai. Anak juga merespon dengan baik. Mereka seolah tertantang untuk kreatif.
"Sesuatu yang datang dari hati akan sampai kepada hati juga" demikian seorang teman saya berkata saat diskusi kecil tentang pendidikan yang menyenangkan dan pendidikan utuh dan holistik.
Kamis, September 25, 2014
Merindu Sawah dan Ladang
Setiap hari, sawah dipelihara dengan penuh perhatian. Diberi air secukupnya serta diberi asupan vitamin dari kompos yang ada. Tidak ada pupuk kimia disini. Semuanya organik karena tahu bahwa pupuk organik itu sangat baik. Sementara pupuk kimia lebih banyak negatifnya daripada keuntungan positif terutama untuk kehidupan sekitar dan pertanian jangka panjang. Misalnya ketergantungan tanah pada pupuk kimia, tanah menjadi kering, dan masih banyak lagi dampak negatif pupuk kimia.
Tali dibentangkan dari satu sudut ke sudut lainnya untuk mengusir burung pipit dan ayam yang memakan biji-biji padi. Kaleng bekas kue disimpan diujung tali. Kelontrang-kelontrang! Demikian bunyi kaleng tersebut.
Di bagian atas, ladang yang ditanami berbagai sayuran sudah menunggu digarap lagi. Pakcoy baru saja dipanen. Kini giliran kacang panjang. Petak-petak di ladang yang tanahnya gembur itu sangat menanti setiap ayunan cangkul. Setiap ayunan seolah membawa doa dan harapan agar sayuran tumbuh dengan baik.
Sesiangan sampai pukul 11.00 saya berada di ladang tersebut. Saya membantu mang Akim mencangkul ladang. Ada kesenangan dan keasyikan yang saya rasakan ketika mencangkul. Seperti merindu sawah dan ladang yang dulu pernah saya cangkul.