Ruang Sederhana Berbagi

Tampilkan postingan dengan label Rudolf Steiner. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rudolf Steiner. Tampilkan semua postingan

Jumat, September 26, 2014

Menulis Tangan

Lama saya tak membuat catatan tulisan tangan setelah banyak versi digital yang saya gunakan. Saat bergiat bersama anak-anak yang keseharian berada di kampung tanpa paparan teknologi digital, saya merasa ada yang hilang ketika saya terlalu sering berinteraksi digital.

Ada yang nyata di depan saya yaitu anak-anak yang bermain selalu dengan alam. Mereka berinteraksi secara alamiah dengan lingkungan sekitarnya. Maka sayapun berusaha mendekati mereka tanpa teknologi untuk menjaga kemurnian jiwa mereka.

Mulailah saya menulis dengan tangan. Hasilnya ada kepuasan yang saya rasakan ketika satu tulisan tangan selesai. Anak juga merespon dengan baik. Mereka seolah tertantang untuk kreatif.

"Sesuatu yang datang dari hati akan sampai kepada hati juga" demikian seorang teman saya berkata saat diskusi kecil tentang pendidikan yang menyenangkan dan pendidikan utuh dan holistik.

Share:

Jumat, Januari 03, 2014

Sekolah Waldorf

Sekolah ini adalah salah satu sekolah yang menginspirasi saya selama bergiat. Banyak inspirasi mendidik yang saya ambil referensinya dari sekolah ini.Sekolah Waldorf menjadi pilihan para petinggi perusahaan teknologi di Silicon Valley.
Pendidikan Waldorf dikenal pula sebagai Pendidikan Steiner. Sistem ini dikembangkan oleh Rudolf Steiner dari Austria. Pendidikan di Sekolah Waldorf mementingkan imajinasi dan kreativitas dalam pembelajaran. Misi sekolah ini adalah mendidik anak-anak agar menjadi pribadi yang merdeka, utuh, dan memiliki tanggung jawab sosial. Guru dipandang memiliki tugas suci membantu perkembangan jiwa dan rasa anak-anak. Setiap anak dibantu agar mereka bisa mencapai yang terbaik sesuai potensi masing-masing.
Sekolah Waldorf di Thailand (iden wildensyah)

Sejarah Sekolah Waldorf
Sekolah Waldorf di sebagian tempat dikenal pula sebagai Sekolah Steiner, yang diambil dari nama Rudolf Steiner. Sedangkan nama Sekolah Waldorf, diambil dari nama sekolah pertama yang didirikan dan dikembangkan Rudolf Steiner. Sekolah itu dibangun di Kota Stutgart, Jerman, tahun 1919. Sekolah itu dibangun untuk mendidik anak-anak pekerja pabrik Waldorf-Astoria. Nama Sekolah Waldorf kemudian menjadi trademark.
Sekolah Waldorf terus bertambah. Hingga tahun 2011, sudah ada 1.003 Sekolah Waldorf di 60 negara. Serta, ada lebih dari 2.000 pendidikan anak usia dini, 629 institusi untuk sekolah rumah, dan sekolah luar biasa di seluruh dunia. Sekolah-sekolah itu merupakan sekolah independen, namaun menerapkan model pendidikan yang dikembangkan oleh Rudolf Steiner.
Teori Perkembangan Anak Menurut Rudolf Steiner
Dalam prosesnya, pendidikan di Sekolah Waldorf sangat menekankan pentingnya pendidikan berdasarkan jenjang usia. Berikut ini tahap-tahap pembelajaran dalam sistem pendidikan Rudolf Steiner.
  • Pada masa awal kanak-kanak, pembelajaran  lebih banyak didasarkan kepada pengalaman, peniruan, dan berbasis indra. Pembelajaran pun lebih banyak menggunakan kegiatan-kegiatan praktis.
  • Pada masa usia sekolah dasar, pembelajaran bersifat artistik dan imajinatif. Pada tahap ini, pendekatan yang digunakan adalah membangun kehidupan emosional anak. Juga, mengembangkan ekspresi seni anak melalui serangkaian seni pertunjukan dan seni rupa.
  • Pada masa remaja, pembelajaran ditekankan pada pengembangan pemahaman intelektual, juga gagasan-gagasan mulia seperti tanggung jawab sosial.
Sistem Pendidikan di Sekolah Waldorf
  1. Memupuk Kreativitas 
Pembelajaran di tingkat SD ditekankan kepada pemupukan daya imajinasi dan kreativitas anak. Perkembangan emosi anak mendapat perhatian besar. Anak-anak mendapatkan banyak ruang untuk berekspresi melalui berbagai bidang seni seperti seni drama, seni musik, seni rupa, hingga seni suara. Untuk memupuk kreativitas, segala hal yang dipandang menghambat kreativitas anak akan dijauhkan. Bukan hanya komputer, tetapi juga televisi serta rekaman musik. Aktivitas di luar ruangan serta gerak badan juga sangat dipentingkan.
2.      Keterampilan Diutamakan
Keterampilan tangan para murid juga sangat diutamakan dalam pembelajaran ini. Misalnya merajut, membuat keramik, menjahit dengan tangan, dan sebagainya. Bahkan, pelajaran keterampilan masuk kurikulum sekolah. Mereka meyakini, keterampilan tangan dapat melatih koordinasi antara mata dengan tangan. Juga belajar untuk fokus dalam sebuah proses sejak membuat konsep hingga tahap penyelesaian.

3.      Cinta Bahasa Sebelum Bisa Membaca
Salah satu keunikan lainnya adalah sebelum anak-anak bisa membaca, para guru lebih dulu menumbuhkan kecintaan akan bahasa. Hal itu dibangun melalui bahasa lisan, nyanyian, puisi, serta permainan. Termasuk saat guru mendongeng, anak-anak akan menyimak dan belajar menjadi pendengar yang baik.
Selain bahasa ibu, anak-anak diajarkan pula dua bahasa asing di tingkat dasar. Untuk sekolah berbahasa Inggris, bahasa asing yang diajarkan adalah bahasa Jerman dan bahasa Prancis atau Spanyol.

4.      Keterampilan Bersosialisasi
Murid-murid juga diajarkan mengenai pentingnya memiliki rasa tanggung jawab sosial, rasa hormat, dan kasih sayang, serta kemampuan bekerja sama. Diajarkan pula mengenal perbedaan. Seperti di Afrika Selatan, saat politik apartheid masih diberlakukan. Sekolah Waldorf justru memiliki murid warga kulit hitam maupun kulit putih. UNESCO memiliki peran menyiapkan masyarakat untuk memasuki era komunitas baru yang menyatu.

Sekolah Waldorf di Thailand
Panyotai Waldorf School (dok. Iden Wildensyah)
Saya bersyukur punya kesempatan mengunjungi Sekolah Waldorf di Asia Tenggara yaitu Thailand. Dua Sekolah Waldorf yang saya kunjungi adalah Tripat Waldorf School dan Panyotai Waldorf School
Inilah sedikit catatan saya waktu mengungjungi kedua sekolah tersebut.
Salah satu hal yang menarik dari sekolah ini adalah penggunaan kapur dan bentuk papan tulis yang tidak konvensional. Bentuknya sangat artistik bisa dibuka tutup yang memungkinkan anak-anak untuk menyerap materi dengan penuh kejutan-kejutan menarik dari gurunya. Setiap bagian dalam papan tulis memiliki arti dan gambar tersendiri. Yang patut diacungi jempol dari setiap ruangan dan papan tulis yang saya lihat adalah kreativitas guru-gurunya dalam menampilkan gambar dan materi yang menarik. Tidak rata-rata, tentu saja.
Para guru membuat dengan kesungguhan dan cita rasa seni yang tinggi. Seperti menggambar salah satu adegan dongeng yang menjadi pengantar untuk belajar anak-anak, membuat komposisi warna pada pelajaran matematika dan pengenalan bidang datar, dll. Sangat artistik dan terlihat bahwa seni adalah bagian tak terpisahkan dari mengajar apapun. Inspirasi semangat ini yang perlu ditiru, saya senang melihat dan merasakan secara langsung energi yang positif dalam menghantarkan pembelajaran untuk anak-anak.
Di kedua sekolah yang saya datangi, saya juga merasakan bahwa berkarya adalah keseharian mereka dan mereka sangat menikmati saat-saat berkarya, saat merancang, dan saat mengerjakannya. Berkarya adalah bagian pembelajaran yang menyenangkan dan menaik.
Dalam berkarya, anak-anak membuat karya individu dan kelompok. Berkarya bisa menjadi proyek yang berdaya guna. Hasil karyanya bisa digunakan untuk aktivitas sehari-hari. Baik karya kelompok atau juga karya individu, misalnya merajut untuk membuat wadah dekoder. Lebih dalam lagi, merajut adalah bagian dari keterampilan untuk membuat pakaian. Dalam membuat proyek, anak-anak berkarya sesuai jenjangnya. Anak-anak yang lebih besar dengan kemampuan fisik dan motorik kasarnya yang sudah terasah mampu membuat proyek yang besar untuk digunakan anak-anak jenjang kecil. Misalnya membuat rangka kayu untuk permainan, rumah-rumahan dari kayu, dsb.
Bersama guru di Tripat Waldorf School (dok. Iden Wildensyah
Dalam berkarya selanjutnya bisa disebut sebagai bagian dari proyek kelas.Proyek yang selalu melibatkan anak-anak dan guru sebagai fasilitator. Pada sekolah yang saya datangi, salah satu proyek besarnya adalah pembuatan ruangan untuk berkarya dengan bahan kayu. Mulai dari meratakan tanah, membuat tiang-tiang penanda, dan membuat pondasi, semua dikerjakan bersama-sama oleh guru dan anak-anak. Anak-anak adalah pemeran utama dalam proyek ini, guru sebagai fasilitator mengarahkan dan membimbing anak-anak untuk bisa menjalankan proyeknya dengan baik.
Mari kita lihat juga proyek di jenjang kelas 2, di sini saya melihat sebuah anyaman dari benang berwarna-warni. Salah seorang guru yang saya temui merendah ketika ditanya itu proyek spektakuler untuk anak-anak kelas 2. “Yah, tapi gak tahu kapan selesainya” kata dia sambil bercanda. Proyek ini dikerjakan setelah mengerjakan pekerjaan rutin sekolah lainnya misalnya mengerjakan lembaran kerja matematika. Tiap anak yang berhasil duluan, boleh mengambil satu benang kemudian disulam dengan cara mengikuti pola yang sudah ada sebelumnya. Proyek ini selain mengajarkan ketekunan, kerapihan, dan ketepatan mengikuti pola juga mengajarkan kreativitas dalam mengolah bahan benang. Anak-anak yang mengerjakan proyek itu sangat menikmati prosesnya, mereka belajar untuk tenang dan mampu mengerjakan sesuai instruksi tanpa harus terburu-buru ingin menyelesaikan pekerjaannya.


Sebagian sumber artikel ini diambil dari Koran Berani, 15 November 2011. 



Share:

Minggu, September 08, 2013

Prinsip Dasar Berkarya

Bagi saya, setelah melalui diskusi menarik di studi klub Diagonal yaitu studi klub yang interest dengan pemikiran Rudolf Steiner yang mendasari sekolah waldorf, berkarya itu bukan semata-mata berkarya tetapi lebih dalam dari itu. Berkarya adalah keterampilan dasar menjadi manusia utuh. Sangat dalam memang, dan saya setuju. Dengan berkarya kita bisa menemukan diri kita. Menemukan passion dan juga menemukan semua hal yang menjadi tujuan kita dilahirkan ke dunia ini. Jika belum berarti kadar berkarya masih seputar permukaan saja. 

Nah agar berkarya bukan sekedar permukaan saja, maka berkarya harus memberikan nilai dan makna yang mendalam bagi orang yang berkaryanya. Saya menemukan isi berkarya ketika saya bisa merasakan lebih dalam dan berpikir lebih dalam serta ada paduan antara keduanya saat berkarya.
Apa saja makna berkarya itu? Bentuknya bisa macam-macam tergantung pemikiran masing-masing. Tetapi karya yang terpenting adalah membuat kebijaksanaan pada orang yang berkaryanya.
Karya bagi anak-anak yang harus terus menjadi inspirasi bagi kehidupan mereka kelak tidak lepas dari prinsip sandang, pangan, dan papan.
Berkarya itu berhubungan dengan keterampilan dasar membuat sandang adalah merajut, meronce, menjahit, dan lain-lain. Manusia butuh pakaian maka keterampilan membuat pakaian harus dikenalkan sejak dini.
Keterampilan kedua berhubungan dengan papan yaitu pertukangan. Manusia membuat papan atau rumah untuk berlindung dari panas dan dingin. Rumah dengan segala isinya untuk kebutuhan manusia.
Selanjutnya adalah keterampilan dasar mengolah pangan yaitu pertanian, mengolah tanah, meracik makanan, itu berarti anak harus diajak untuk menanam tanaman, memasak, dan lain-lain.
Pada akhirnya berkarya itu menjadi jembatan bagi manusia untuk menjadi manusia seutuhnya. 

Share:

Jumat, Juli 19, 2013

Harapan

Salah satu hal yang tersisa walaupun sedikit dari kotak Pandora adalah harapan. Ini berarti walaupun kecil tetapi sebuah harapan sangatlah besar peranannya dalam kehidupan ini. Mendidik sepenuh jiwa dengan harapan-harapan yang baik untuk anak didik adalah bentuk kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Harapan tentang kebaikan dan kehidupan masa depan yang lebih baik.
Membangun harapan dalam diri di setiap anak untuk bisa menjadi dirinya, untuk menjadi manusia seutuhnya yang mampu memberikan kebaikan-kebaikan bagi kehidupan yang lain. Anak tumbuh dan kemudian akan menjadi penerus generasi harus selalu dipupuk harapannya. Sekolah punya peran besar dalam membangun harapan ini. Setiap harapan orangtua agar anaknya mampu menjadi anak yang baik dan harapan setiap anak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.
Inilah harapan semua yang harus tetap ada. Anak belajar dari pengalamannya, dan sebagai orangtua harus memberikan banyak harapan tentang the world is good, the world is beautiful, dan the world is truthful.


Share:

Senin, Juni 03, 2013

Kreativitas Memasak

Satu hal yang menarik dilakukan di sekolah sebagai implementasi pembelajaran menarik dan menyenangkan adalah memasak. Dalam konteks pembelajaran aktif, memasak adalah kegiatan yang secara langsung bisa dilihat hasilnya. Anak yang memiliki kreativitas dan kemauan belajar yang tinggi akan menghasilkan masakan yang menarik dan tentu saja enak.
Kalau saya coba komparasi ke konsep di Waldorf School yang memakai pemikiran Rudolf Steiner, memasak adalah salah satu bentuk berkarya yang secara filosofis mengenalkan kepada anak tentang pentingnya mengolah makanan untuk bekal hidup saat mereka dewasa.
Memasak setelah mereka menanam dari awal benih sampai layak untuk ditanam. Banyak hal menarik di sisi itu, anak bisa diajak untuk merasakan makanan sendiri dari hasil tanaman yang ditanam sendiri di kebun sekolah. Ini bentuk idealnya, bentuk praktisnya bisa saja memasak dari bahan makanan yang sudah disediakan. Misalnya anak memasak telur, nasi, dan lain-lain.
Kemandirian harus ditanamkan sejak dini mulai dari sekolah. Memasak adalah bagian dari pelajaran kemandirian yang akan berguna kelak ketika mereka dewasa saat semua harus dikerjakan sendiri.
Nah, sekolah sejatinya mengajarkan pengalaman-pengalaman yang harus menjadi bekal mereka dikemudian hari saat anak-anak tumbuh dan berkembang untuk menjalankan perannya di kehidupan. Berikan makna pada setiap aktivitasnya agar semuanya terasa bernilai. 

Memasak telur itu menyenangkan, anak-anak menyukainya!
Share:

Senin, Mei 27, 2013

Crafting

Salah satu bagian paling menarik saat bergiat bersama anak-anak adalah crafting. Dengan berbagai media yang ada, crafting sangatlah menyenangkan. Banyak pembelajaran di dalamnya. Apalagi kalau kita menyelami konsep pembelajaran seperti yang dilakukan di Waldorf School. Sebuah konsep yang dikembangkan oleh Rudolf Steiner melalui pemahaman dan pendalaman spiritual yang tinggi, seorang pengajar atau guru seolah digiring untuk mengenali dirinya sendiri sebelum mengajar atau mendidik anak. Mendidik anak dalam paradigma berpikir  Rudolf Steiner bukanlah sekedar mengantarkan materi-materi pelajaran saja. Tetapi mengenalkan sebuah kehidupan dan makna yang harus mereka (anak-anak) dapatkan selama mereka hidupnya.
Ada penjelasan atau semacam perasaan yang mendalam, yang filosofis pada sebuah kegiatan crafting. Bukan sekedar membuat karya tetapi memberikan pengalaman spiritual pada anak-anak yang tumbuh setiap harinya.
Karya anak kelompok Mahoni tentang rumah dari bahan alami.
Share:

Pojok Guru

Salah satu bahasan menarik dari buku Jenny Gichara adalah teacher corner. Saya menangkapnya bukan sekedar memiliki pojok khusus guru tetapi guru juga harus berkarya seperti anak-anak yang sedang belajar. Guru harus punya karya yang bisa menginspirasi muridnya. Guru tidak sekedar berbicara teori tetapi juga praktek. Salah satu bentuk praktek guru yang akan menginspirasi murid-muridnya adalah karya itu sendiri.
Pengalaman mengunjungi sebuah sekolah dengan konsep Waldorf School di Thailand sedikit banyak memberikan inspirasi untuk guru dalam berkarya. Waldorf School yang berdasarkan pemikiran Rudolf Steiner sangatlah inspiratif. Di sekolah tersebut, saya merasakan guru bukan sekedar guru. Guru adalah bagian kehidupan seseorang, bukan sebagai pekerjaan. Guru bisa berperan dalam bidang apapun sebagai dirinya sendiri. Guru bisa menjadi seorang pekerja kayu, guru juga adalah seorang pelukis, guru juga adalah seorang penulis, guru juga adalah seorang pemusik, guru juga adalah seorang penyanyi, dan semua hal yang bisa menginspirasi murid-muridnya.
Teacher corner kadang memancing ide anak-anak. Misalnya setiap pagi anak-anak datang menghampiri meja kemudian bertanya "Kak, ini apa? Kita berkarya ini yu Kak" sambil menunjukkan pada rajutan atau buku inspirasi lainnya.
Teacher corner bukan semata-mata pojok, tetapi lebih dalam dari itu, teacher corner adalah sebuah ajakan untuk guru berkarya dalam hal apapun. Memberikan pembelajaran menyenangkan dengan bukti dari guru tanpa harus banyak berbicara melalui teori. 
Teacher corner juga sebuah percikan ide dan semangat berkarya lebih baik!
Teacher cornerku di sekolah, ada sebuah buku Jalan-Jalan Belajar, recorder, jarum rajut, hasil rajutan, dan lain-lain. Ayo guru, mari berkarya!
Share:

Senin, Mei 20, 2013

Table Puppet

Salah satu kegiatan yang menarik di Waldorf Study Group, yang selalu saya sukai adalah crafting. Bukan hanya itu, kegiatan bernyanyi, berdiskusi juga tidak kalah menarik. Sebagai pendidik, kegiatan diskusi yang berisi banyak kisah dan pemikiran Rudolf Steiner melalui Waldorf School-nya sangat membantu saya dalam mengenal banyak hal-hal yang mendasar dalam mendidik anak. Seorang guru dituntut secara sadar untuk terus melakukan penggalian ide-ide tentang metode mengajar yang baik untuk anak didiknya.
Di studi group ini, saya belajar banyak terutama mengenal perkembangan anak dari banyak sisi filosofis yang tidak didapatkan di tempat lain. Mengenal anak adalah mengenal manusia. Belajar anak harus belajar tentang manusia, pertumbuhan manusia, perkembangan manusia, dan masih banyak hal lain yang menarik selama diskusi tentang pemikiran Rudolf Steiner ini.
Memahami anak (juga manusia) dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya mengenal secara utuh sebuah kisah dalam fairy tale yang dihimpun oleh Grimm's Brother, lalu melalui karya (crafting). 
Bukan sekedar berkarya, tetapi ada sisi-sisi filosofis di dalamnya. Demikianlah yang terus saya gali dalam setiap saat saya berdiskusi dan berkarya. Nah, salah satu karya yang 'membanggakan' saya adalah table puppet. Selain yang lainnya juga yang tidak kalah 'membanggakan' seperti membuat boneka rajutan, merajut, crocet ( saya lupa menuliskannya), tanah liat, dan masih banyak lagi.
Sabtu yang lalu, saya dan teman-teman membuat 'table puppet'. Rasanya sangat menyenangkan, benar-benar menyenangkan. Prosesnya begitu unik dan filosofis. 
Nah, inilah table puppet saya di antara teman-temannya. Saya membuat table puppet dengan tokoh prince. Belum utuh sih, jadi tunggu selanjutnya setelah 'prince' lahir dengan jubah dan baju kebesarannya, yah!
Share:

Postingan Populer