Ruang Sederhana Berbagi

Jumat, Juni 04, 2010

Terpukau Chalwanka

Musik tradisional selalu menggelitik untuk diketahui, melodi serta suaranya yang berbeda dengan kebanyakan musik pada umumnya mampu mengalihkan perhatian. Begitu juga dengan peristiwa malam minggu 29 Mei 2010 saat ada pertunjukan dari group musik yang berasal dari Amerika Selatan.

Di sela-sela keramaian pengunjung, suara musik tradisional yang mengalun merdu itu ternyata mampu membuat pengunjung menengok. Yah, saya salah satunya, sangat disayangkan jika moment yang menarik, unik dan berbeda ini dilewatkan begitu saja.

Saya bersama Pacha (dok.pribadi)
Chalwanka, demikian nama group musik yang sedang performance malam itu. Di lorong kanan dari parkir depan, tepat di arah lorong masuk menuju Blitzmegaplex, Chalwanka menarik pengunjung untuk sejenak mengetahui alat seni tradisional dari Amerika Selatan ini. Chalwanka dari brosur yang saya dapatkan adalah group musik dari pegunungan Andes, Chalwanka berasal dari bahasa asli suku Inca yaitu bahasa Quechua (kechua) yang artinya ‘Ikan Batu’.

Pendiri Chalwanka yang juga hadir dan performance malam itu adalah seorang musisi yang bernama Pacha dari Peru. Dengan alat musik Zamponas (Zamponyas) dan Quenas (kenas). Pacha telah performance lebih dari 20 tahun ke beberapa negara seperti Italia, Portugal, Spanyol, Brazil, Jepang dan malam itu sedang di Indonesia.

Saya bersama Pacha (dok.pribadi)
Share:

Senin, Mei 03, 2010

Jalur Sepeda di Bandung

Jalur Sepeda di Bandung itu unik
Keberadaan jalur sepeda bagi pesepeda sangat membantu. Jalur sepeda memungkinkan para pesepeda merasa aman selama mengayuh sepedanya. Kekhawatiran terserempet atau parahnya tertabrak oleh mobil atau motor tidak akan ada. Jalur sepeda secara tidak langsung mengkampanyekan gaya hidup baru, bersepeda.

Bike Line di Bandung (dok.pribadi)
Jogjakarta adalah contoh kota yang sukses membangun jalur sepeda. Memang bukan hal yang aneh karena secara kultur, bersepeda disana seperti sudah menjadi tradisi sejak dahulu. Sepeda seolah tidak bisa dihilangkan dalam kebudayaan masyarakat Jawa. Lihat saja dalam beberapa catatan atau foto tentang sepeda, iring-iringan sepeda disana lebih banyak dibanding di Kota Bandung misalnya, atau Kota-kota lain di Indonesia. Mayoritas penduduk disana tidak asing dengan sepeda, bahkan sebelum ada kampanye bersepedapun sudah banyak yang menggunakan sepeda ke kantor, balaikota, dan juga ke sekolah.

Kita tengok sejenak keluar negeri, salahsatu kota yang sudah ada jalur sepeda sebagai implementasi program langit biru bersamaan dengan kebijakan transportasi massal adalah Bogota. Bogota berhasil dalam membuat jalur pedestrian, jalur sepeda, taman kota, ruang publik dan moda transportasi massal. Bahkan Jakartapun belajar dari Bogota dalam proyek Busway-nya walaupun tidak seberhasil Bogota karena tidak diikuti oleh program lainnya yang saling mendukung.

Bandung mau ikut Bogota, tunggu dulu. Bisa terlaksana jika kebijakan lainnya juga dilaksanakan dengan baik. Misalnya Jalur Sepeda, ternyata di Kota Bandung, jalur sepeda hanya 3-5 meter setelah itu hanya trotoar biasa. Yang lebih miris lagi, trotoar yang selalu terjadi rebutan ruang dengan pihak lain. Kalau sudah begini, pertanyaannya, bagaimana mungkin bersepeda di jalur sepeda seperti itu? Inginnya nyaman yang ada malah memancing keributan dengan pihak lain.

Oh iya, gambar Sepeda di Lantai ini hanya ada di Jalan Dago, hanya beberapa meter saja. Dulu saya berpikir sepanjang jalan Dago dari Ujung utara di Simpang Dago Sampai Balaikota Bandung di Jalan Merdeka, ternyata cuma sedikit saja.

Jalur Sepeda Tapi Tidak Ada Sepeda Yang Berani Lewat (dok.pribadi)
Jalur Sepeda Tapi Tidak Ada Sepeda Yang Berani Lewat (dok.pribadi)
Mari Pulihkan Bandung (dok.pribadi)
Mari Pulihkan Bandung (dok.pribadi)
Share:

Kamis, April 15, 2010

Ide yang Sama

Pernah melihat tulisan serupa tapi tak sama? Saya sering, bahkan beberapa ide ceritanya mirip, hanya saja ada beberapa bagian yang berbeda. Misalnya penyajiannya, penuturannya dan tentu saja penulisnya. Pada mulanya saya merasa sudah dicuri ide, tetapi setelah ditelusuri ternyata berbeda. Sayapun anggap sebagai bagian utuh cerita yang saling melengkapi.

Ilustrasi diunduh dari Google.com 
Misalnya tentang facebook, lebih dari sepuluh penulis yang menulis tentang facebook. Banyak dinamika facebook yang menjadi sorotan penulis kompasiana, dari mulai statusnya, isinya dan efeknya. Efek.. Ah lagi-lagi saya menulis efek facebook yang fantastis.

Bagi saya, keadaan ini menunjukan bagaimana besarnya dan mahalnya ide. Seorang yang memiliki energi ide yang besar adalah potensi bagi dirinya, orang lain dan lingkungannya. Beruntunglah mereka yang masih selalu berputar-putar idenya bahkan ketika melakukan apapun selalu terpikir ide menulis dan celakalah mereka yang kehabisan ide. Habis ide berarti kematian bagi penulis. Penulis yang notabene harus selalu punya ide untuk menjadi bahan tulisannya, jika tiba-tiba saja kehilangan ide maka sudah pasti dia mati karya. Saya berpikir lalu menulis maka saya ada. Keberadaan dilihat dari karya tulisnya.
Share:

Si Harimau Itu Telah Kembali

Si Harimau itu telah Kembali lagi dan bersiaplah diterkam
Tiger Wood is back, ya si harimau itulah yang kembali lagi meramaikan ajang kompetisi bergengsi Golf. Saya sangat mengagumi dia diluar kontroversi perselingkuhannya dengan beberapa wanita yang membuat heboh berita di dalam dan luar negeri. Bagaimanapun, saya mengidolakan dia karena kualitas pribadi dan skill bermainnya yang baik.

Tiger Woods (www.independent.co.uk)
Saya belum menonton secara penuh misalnya ketika permainan dimulai dari hall 1 sampai hall 18. Kadang cuma beberapa Hall saja, itupun karena Televisi dikooptasi bos besar. Selain sepakbola, ya Golf itulah yang bisa dinikmati bersama. Disela menonton itu saya mengetahui dari perbincangan tentang Tiger Wood. Bagaimana dia bersaing dengan Ernie Els, memukul, Birdie dan lain-lain. Pukulan Tiger Wood selalu tepat, jarang melihat pukulan dia OB, selalu jatuh di Green.

Salahsatu hal yang unik dari permainan dia adalah selalu bermain jelek diawal tetapi seiring waktu terus menanjak dan puncak terbaiknya diakhir permainan dia menampilkan permainan terbaik hingga akhirnya memenangkan permainan. Saya tidak tahu apakah ini strategi dia untuk mengalahkan dan menjatuhkan mental yang lain atau memang kenyataannya demikian, telat panas kayak mesin diesel. Makanya melihat dia bermain, lihat diakhir saja.

Bermain konsisten dalam Golf sangat sulit, pukulan itu ternyata dinamis, bahkan sekelas Tiger Wood saja masih terus menerus melatih pukulan. Praktisnya dia memukul 1000 bola setiap hari, dan itu dilakukan berulang-ulang. Tiger Wood bisa seperti itu karena ketekunan dan konsisten dalam berlatih.
Kompetisi Golf sempat kehilangan greget ketika Tiger Wood menghilang karena isu perselingkuhan dan masalah keluarganya. Tetapi kini si Harimau itu siap mengaum, membuat banyak sejarah dan catatan kembali di dunia Golf.

Oh iya, saya suka sampul majalah ini :)
Tiger Woods and Obama - Golf Digest
Tiger Woods and Obama - Golf Digest
Share:

Rabu, Maret 31, 2010

Football Supporters in Kompasiana


Little by little emerged surface, that the fans write and read it was also a football lover. Moreover, many kompasianer who is also a supporter of football teams in their respective regions. That of West Java, for example-do discuss his support for Persib Bandung. From North Sumatra, blatant love die Sriwijaya FC, from supporting Persis Solo Solo Solo Arseto slipped even legendary. Then from Malang not miss a single soul Aremania greetings, from Medan to support PSMS Medan, Surabaya support from Persebaya, from PSM Makassar Makassar support and of course from Jakarta to support Persija.
In recent postings, especially after the teaser said "selocalsoccer", I saw like a mushroom growing in the rainy season. Many of the names of fans lined the ball ideas, write reports, record reportage about football trinkets. From critics, supporting up to put a complete entertainment is also available in the football record this Kompasianer.
This is if the supporters of the ball asiknya writing, there is always another side that can be written in the dynamics of football. But the key for me and it should be noted is that the average kompasianer writer in supporting his favorite team looks adult. There are no words to convey hostility or news writing. All delivered with unique styles, elegant and mature. I was lucky to meet the forum to write this, this is where the beauty of football supporters adults gather, convey ideas, express frustration, complaints and criticisms of his favorite team without being an anarchist or childish.
Imagine supporting Indonesian football like this, I'm sure the stadium is no longer a scary place. The stadium will be like a public space that can unite all elements of society without overwhelmed by fear, unrest will be riots after the match ended. Could be, this will become the benchmark in supporting, as an increasing number of campaigns for the support of adult-style football in a way kompasianer, maybe more that will mature in support.
Who love to die, please just continue his love of football. Who like to hang out and yells of encouragement to sing, just do it with attractive and interesting. Origin .... Please do not anarchist. Because anarchists will hurt yourself and the image of our beloved team. Let us support football supporters that the peace movement, grow up, and uphold sportsmanship. Fair play please!
Share:

Senin, Maret 29, 2010

Dirty is Not a Problem

One of the fun that will not be replaced in football is a dirty, muddy dirt in the field. The rainy season is happening in our city, not discourage the kids play ball. Note this is the portrait of a hungry child will not care about football, dirty, muddy, slippery, which is important football.

In a corner of elite housing in Batununggal Bandung, there is a field of luxury homes. In front of the housing and retail complex there are actually Batununggal usual large field to play ball rental. Noted there is some football clubs are often trained there, including soccer schools. Just say Persebat (persatuan sepakbola Batununggal), the union Batununggal football field is often used in the housing complex. Every evening after work, I see the ball players from children to adults mingle at the ball field is divided in several field. Approximately there are 4 big field there. But unique was again a small ball field used by children around the housing.


Field is no more than 100 meters normal size, probably about 60-80 meters long. Net made of bamboo in pairs in such a way to goal. Field does not have the sideline, the penalty box and goal nets. Just enough that there are two important goal and one point for the beginning of the kick in the middle of. They played bare-chested, shirt off and sometimes undressed. They're playing so cool, dribble, over, kicking, heading and catching the ball by the goalkeeper. The atmosphere is very cool, every player played well without any hostility, although sometimes a little friction there, too.

This is the game of soccer kids very beautiful, fair play well in the stands. Field of dirty, slippery and muddy is not a problem. The important thing is to play football. Football to them is a very fun game. In the mud, in the field who do not deserve anything they could still play well. Their dreams, of course, be a player for a player his idol, like the Christian Gonzales at Persib Bandung. Being a goalie, too, they idolize who also Sinthawetcai Hathairatanakool Persib
Bandung goalkeeper .

Dirty is not a problem, because for them dirty is fun. Want to feel the sensation of soccer kids? let's dirty and feel the sensation. Dirty is not a problem, because football fun. Rain, dirty, slippery, muddy, once again no problem. Football is fun.

“This blog post is submitted as part of Sony Ericsson’s Extra Time campaign. You can read the other local football stories here. :)”

Share:

Jumat, Maret 26, 2010

No Large Field, Lets Futsal!

Football is experiencing increased arousal. Indonesia League or the aura of World Cup was every young joints today. In the village, the town where it was rising passion. City, space is limited, soccer passion increases, the Futsal answer. In a room divided into two fields each measuring long 25-42 mx 15-25 m wide, the energy spilled. Kicking, heading, slading, over, takling, and insert the ball into the opponent’s goal. Energy soccer is cool.
Outdoor Futsal at Bandung (photo: Iden Wildensyah)
Business, ah once again sport can not be separated from this one word. Futsal is the media’s most lucrative businesses. In the city of Bandung as calculated more than a dozen places futsal from simple to fancy there. Simple means of facilities available only one common ground with the floor, while the more luxurious or simple as wearing a large room, synthetic grass and adequate lighting. Feel the difference when playing on the ground floor of concrete used to playing on synthetic grass. This facility value proportional to the price of rent every hour.
Because of this business, futsal several locations in Bandung Antapani Street, lined up side by side almost even with each other. Not to mention that plus into the small alleys around the housing. This unique condition shows that stretching futsal field rental business is growing very rapidly.
There are unwritten rules if it wants to build futsal facilities, there is no room for soccer fields. If the football fields are still a lot or land area is still scattered everywhere, tenants will be slightly futsal field. That is why futsal rapidly developing cities of the opening of land postscript is up by housing or buildings.
So if there is no large field, lets go futsal. It may be not because there is no big field but gather 2 teams (22 people) to compete in the big football field more difficult than collecting 2 team (10 people) to compete in the futsal field. If for me, futsal is not so cape, if out of breath can turn hehe.
This is a brisk futsal football big city.
Indoor Futsal (photo by Iden Wildensyah)
Indoor Futsal (photo by Iden Wildensyah)
Run..run (photo by Iden Wildensyah)
Run..run (photo by Iden Wildensyah)
Run.. Goooolll (photo by Iden Wildensyah)
Run.. Goooolll (photo by Iden Wildensyah)
Outdoor Futsall (photo by Iden Wildensyah)
Outdoor Futsall (photo by Iden Wildensyah)
The Dinamic of Futsal (photo by Iden Wildensyah)
The Dinamic of Futsal (photo by Iden Wildensyah)
Futsal is cool, no big field, let’s futsal!
“This blog post is submitted as part of Sony Ericsson’s Extra Time campaign. You can read the other local football stosrie here. :)”
Next to the click http://www.sonyericsson.com/extratime/
Share:

Rabu, Maret 24, 2010

The Term Of Sundanese’s Football



Football is ingrained in sundanese, not only sundanese but also society in general. The presence of football along with the Dutch presence in Indonesia. History speaks through their parents before that age-old leather ball and a lot of plastic balls, orange balls of Bali is an attractive option. At my age a little in the 1980s, plastic ball is the main choice for a branded leather ball is very hard to find and expensive for the size of the village children. Uniquely, as a child we called leather-wrapped ball with the name because there balbaliter, ‘Liter’ writing on the surface of the ball.
Football and Kid (illustartion from google.com)
There are several terms in football until now I still remember. Call it Barung, Barung circumstances where the ball was swept again by the leg opposite leg. Sometimes the ball was not hit but the leg with the foot again. Sometimes a strong measure of whether or not the player is determined by the strong one or at least barung, if after barung then collapsed while others were still able to run so-called defeat lying. Strangely though sprawling and blue bruised foot jet, players are not emotions, at best the same barung again another friend.
There is another term Temprang, temprang is taking another man’s feet while carrying the ball. If the new term I now know that the same temprang tackle slading. Similarly, the difference is only an opponent’s position, if barung face to face, if you can ditemprang side or from behind. If ditemprang from behind the regulations is now a yellow card and if the injury could make the red card. Ditemprang, sometimes making emotional player, but mostly fair. If ditemprang, yes just temprang again. That’s our kampong nice football as a child, no excessive emotions, was not a riot, unless seven football tournament which presents Domba Cup, sometimes violent games can cause fight too.
Other barung and temprang, there is one more term of Jambul. Jambul in our definition of a small time is a decision that was taken when both teams are equally doubtful. Jambul can be done with ‘suten‘ (I do not know this term in the Indonesian or english language, if depicted more or less like these two people hold hands and count out three clashing finger, thumb to pinkie elephant to lose by ants, elephants win if against the index finger to humans, humans win if against ants). The winning ‘suten‘ will take the ball. The condition usually occurs as tufts in determining whether or not goals. Understandably his goal was not wearing a metal or bamboo but just piles of stones. If you hit a rock then we will be confused whether or not that goal. To be fair, it was held jambul. Later I knew that the plume is a Jump Ball, but for us not a ball that bounced or thrown up, crested is the action to remain fair, if in doubt over a decision.
''This blog post is submitted as part of Sony Ericsson’s Extra Time campaign. You can read the other local football stosrie here. :)”
Next to the click http://www.sonyericsson.com/extratime/
Share:

Selasa, Maret 23, 2010

Listening To The Radio Football Game


Persib Bandung again made me write the other side of the football. This time watching the match live via Radio. At that time in a small town south of Garut, the presence of television is still scarce, and the radio is the most favorite means of communication for rural communities. There are tales Wa kepoh, Mang Jaya and Tinular tutur radio plays, etc. Ancestors Land Chronicle. Besides the show, there is an event that was never passed by the listeners in our city, Football. Yes .. Football, especially when Persib Bandung played. If Persib Bandung play, the village would look deserted because all the boys huddle, listen to the live broadcast.

Illustration/Admin (shutterstock.com)
Presented by the enthusiasm and always yelling dagdigdug make this heart. Full of tension, full of joy and full-dramatization dramatization that establish a live show is so colorful. Her name is Sandra and Mr Sambas, I never know how her figure, which I knew only his voice that always excited when a player dribbles Persib Bandung toward defense opponents. Especially if it comes to goals, then the audience jumping in unison, dancing and shouting goooool.
Direct broadcast over the radio proved to be its own motivation for football players like Adeng Hudaya, Adjat Sudrajat, Nyangnyang, Jajang Nurjaman and Uut. Uut for example, the famous Persib players passing the ball 'boseh' her, in one occasion has stated that the live broadcast on the radio makes him always want to get the ball, if you get the ball means announcer will call his name, when mentioned by name, then the people in our village will know its existence. And this being a proud people in our village all.
To this day, I still listen to the live broadcast football games on the radio RRI Bandung, especially if it was the Road and not get home when the game was going on. I always thought a football game dramatically if heard on the radio. My friend said, listening to the radio was full of surprises, the ball is still in the middle of the field was already near the goal. Players still dribbling into the opponents defense, uuh it was past eleven opposing players only. Indeed excessive, but it is very interesting. If you watch any more interesting in stadium carrying a small radio, looking directly, we can find the game rhythm and emotion through a radio announcer.


“This blog post is submitted as part of Sony Ericsson’s Extra Time campaign. You can read the other local football stories here. :)”
Next to the click http://www.sonyericsson.com/extratime/
Next can be clicked on www.kompasiana.com/wildensyah
Share:

Senin, Maret 22, 2010

Pohon Kalah Oleh Reklame


Salahsatu berita yang menarik di Koran Jawa Barat saat ini, bagi saya adalah berita tentang pemangkasan 51 pohon di Jalan Soekarno-Hatta Bandung oleh salahsatu perusahaan periklanan. Alasannya pasti karena pohon tersebut menghalangi papan reklame. Karena nilai jual papan reklame adalah visualisasi pengendara, berarti halangan yang menyebabkan pandangan ke papan reklame tidak maksimal, ya pangkas saja.
Pada Jumat, 12 Maret 2010 yang lalu, teman-teman dari Front Pembela Bandung (FPB) berunjukrasa atas pemangkasan pohon ini, mereka menyayangkan pihak Pemkot atas ijin serta keteledoran dalam menjaga lingkungan. Berita selengkapnya ada di sini.
Foto dari Walhi Jabar
Pemangkasan ini menunjukan bahwa kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungannya sangat rendah. Termasuk didalamnya adalah membuang sampah sembarang. Kedisiplinan masyarakat kota tidak begitu baik, terutama dalam menjaga lingkungan. Lihatlah bagaimana sampah berserakan dimana-mana setelah acara-acara seremonial. Saluran tersumbat karena sampah. Kalau disiplin dalam menjaga lingkungan, membuang sampah dll maka sampah-sampah tersebut tidak akan berserakan, tidak akan menyumbat gorong-gorong saluran drainase.
Balik lagi ke pohon, pohon di hutan gundul karena ditebang, pohon di kota juga tidak kalah 'gundulnya'. Pohon yang sudah ada dipangkas, yang belum tumbuh apalagi. Yang ironisnya pohon-pohon yang ditebang hanya karena menghalangi papan reklame, jika tidak ada yang mengangkat ke media, bisa jadi reklame-reklame lainnya juga akan demikian. Reklame kata teman saya adalah sampah visualisasi, penyebab polusi pandangan mata, menyebabkan kota menjadi berantakan dan tidak teratur. Penebangan atau pemangkasan yang tertangkap media kali ini bisa jadi hanya bagian kecil saja, ada yang lebih besar, ada yang dipangkasnya lebih banyak, bahkan mungkin bukan saja dipangkas tetapi ditebang. Dan ini luput dari media, kalau luput dari media, jangan berharap pemerintah berinisiatif mencari pelanggar yang memangkas pohon untuk reklame.

Share:

Minggu, Maret 21, 2010

Ironi Liga Indonesia

Sekali lagi, sepakbola adalah permainan yang melibatkan 22 pemain di lapangan, 1 wasit dibantu 2 Asisten Wasit, Pelatih di pinggir lapangan, Pemain cadangan di bench dan penonton di tribun. Walaupun hanya sebuah permainan, tetapi sepakbola memberikan banyak hal menarik yang bisa menjadi dinamika. Itulah kenapa sebuah permainan sepakbola selalu dinamis, sama halnya seperti aliran bola dari kaki ke kaki. Banyak hal yang bisa dijadikan bahan untuk menulis, bahan perbincangan, bahan diskusi dll.
Indonesia terbukti sebagai pasar potensial untuk apapun, termasuk sepakbola. Kali ini saya melihat sebuah ironi yang menimpa Liga Indonesia, Liga Indonesia ternyata menjadi pasar potensial untuk memutar uang pembelian pemain. Pemain-pemain dari luar negeri adalah bahan komoditas yang laku di bursa transfer oleh agen-agennya. Banyak pemain-pemain dari Eropa, Amerika Latin dan Asia yang berlaga di LIga Indonesia. Semakin semaraklah perhelatan sepakbola di tanah air ini.

Si Jalak Harupat (Photo by Iden Wildensyah)
Yang paling fenomenal ketika Pelita Jaya mendatangkan Mario Kempes, Roger Milla dan Maboang Kesack tahun 1994. Mereka adalah pemain-pemain dunia yang pernah menyemarakan Piala Dunia (World Cup). Kehadiran mereka benar-benar membuktikan bahwa Liga Indonesia adalah Liga yang patut diperhitungkan. Setelah waktu berlanjut, kebijakan datang dan pergi, tambal sulam pemain dll sampai ke kebijakan pembatasan pemain asing yang ada di Liga Indonesia. Yang paling fantastis ketika kebijakan 5 pemain asing darimanapun, kalau sekarang komposisinya tetap lima tetapi harus menyertakan 2 dari Asia.


Kebijakan dari Asia ini membuat serbuan pemain-pemain dari Asia Tenggara, Asia Tengah dan Australia gencar ke Indonesia. Yang paling menarik adalah Thailand, banyak pemain Thailand yang berkiprah mengadu nasib di Liga Indonesia. Sebut saja Sinthaweetchai Hathairatanakool, Suchao Nutnum, Yutazack Konjan, Pipat Tonkya, lalu dari Jepang Takasi Uchida dan Satoshi Otomo, dari Korea misalnya Park jung Hwan dll. Tidak lupa dari Australia, Josh Maguire yang bermain di Persebaya. Timur tengah, tentu tidak ketinggalan menyerbu Indonesia, Afshin Rad dan Vali Kenari dari Iran yang sudah dipecat dari skuad Persitara, dan pemain-pemain asia lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Ironi ketika serbuan pemain dari Asia ini tidak disertai dengan prestasi Timnas Indonesia di Kancah Asia ataupun Internasional. Di Piala Tiger Indonesia keok, di penyisihan Piala Asia juga bernasib sama. Kalau seperti ini bisa jadi prestasi terbaik Indonesia hanya mendatangkan pemain untuk bermain di Indonesia saja. Ironi selanjutnya adalah karena ketidakmampuan berprestasi di ajang internasional, pemain-pemain Indonesia sedikit yang dilirik club sepakbola luar. Indonesia boleh saja bangga ketika Kurniawan Dwi Julianto berhasil menembus Liga Italia bersama Sampdoria walaupun main hanya sebentar saja di bawah asuhan Sven Goran Erikson. Lalu Bambang Pamungkas dan Elie Eiboy yang cemerlang bermain di Liga Malaysia, tetapi setelah itu siapa lagi?

Pameo tentang Indonesia adalah pasar potensial memang benar, bahkan untuk sepakbola-pun Indonesia menjadi lahan subur untuk mencari keuntungan. Pemain dari luar menyerbu pasar Liga Indonesia, sementara pemain Indonesia belum mampu bersaing diluar, akankah ini menjadi sebuah kenyataan yang terus berlangsung? semoga saja tidak. Saya yakin jika dibenahi dengan baik, kaderisasi yang terstruktur dan pembinaan yang memadai, Sepakbola Indonesia bisa maju. Mungkin bisa menjadi kompetitor di ajang piala Dunia 2014 atau 2018 atau 2012. Mudah-mudahan.

Share:

Jumat, Maret 19, 2010

Sportiflah Supporter!

Sportif adalah kata serapan dari Bahasa Inggris yang bermakna untuk menjelaskan soal fairness dan kejujuran. Sementara Supporter berasal dari bahasa Inggris, Support yang berarti mendukung dan orang yang mendukung adalah Supporter. Ada yang menarik di Kompas hari ini (19 Maret 2010) selain berita Barack Obama yang menunda kedatangannya ke Indonesia sampai Juni 2010, lalu Tiger Wood yang kembali main Golf. Nah.. Yang menarik itu adalah sebuah kartun Jakartaria di hal 27 pojok kanan atas. Kartun itu bagi saya sangat menggelitik karena menyindir supporter sepakbola di Indonesia. Digambarkan dalam kartun itu adalah seorang perempuan dewasa dan seorang lelaki muda pendukung sepakbola. Percakapannya kurang lebih digambarkan seperti ini:
Kartun Jakartaria Kompas 19 Maret 2010 (dok.pribadi) 
Di sebuah ladang rumput, seorang anak bertopi oranye, memakai kaus oranye, memegang sabit sedang menyabit rumput. Sabit adalah alat pertanian tradisional terbuat dari baja yang umumnya digunakan untuk membelah, membabat rumput, memotong tumbuhan perdu, ranting-ranting dll (definisi ini menurut SNI 02-0665-1989, sumber di sini). Disela-sela dia menyabit rumput, seorang perempuan dewasa mendatanginya dan berkata "Nhaa lebih baik dipakai buat begitu kan... Manfaatnya lebih terasa daripada... ". Perempuan itu berhenti bicara. Anak muda bertanya "Daripada apa?''. Perempuan itu melanjutkan "Daripada jadi senjata supporter sepakbola!". Hmmmm anak muda itu berkata "Keren juga kalau namanya jadi the green mania". Titik, percakapan sudah sampai disini saja.
Yang menarik dan unik bagi saya bukan saja sentilan perempuan dewasa tersebut, tetapi kenyataan yang terjadi bahwa masih ada sekelompok supporter yang datang untuk "perang". Membawa segala peralatan yang sedianya tidak harus dibawa ke stadion. Parang, sabuk bergerigi tajam, samurai, sabit, ketapel dll bukan alat yang harus berada di tempat bernama stadion. Alat-alat itu ternyata dibawa oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, biasanya ada dua kemungkinan mengapa mereka membawa. Kalau dalam psikologi perang, itu terjadi untuk menyerang atau bertahan dari serangan lawan. Dan benar saja, beberapa media ibukota melansir berita tentang aksi anarkis supporter sepakbola ini. Berita bisa lihat di sini juga di sini.
Ibukota, stop. Bukan hanya terjadi di ibukota saja, tetapi juga di kota lainnya. Supporter terlibat tawuran dengan supporter lainnya. Sungguh sangat ironis ketika sebuah tekad mulia mendukung team kesayangan harus diakhiri dengan bentrokan. Memang sangat sulit meredam supporter yang sudah terlewat emosi, kecintaan terhadap team kesayangan kadang membuat gelap mata. Ketika team kesayangan kalah, supporter bersedih dan sedikit saja memancing emosi bisa fatal akibatnya. Inilah yang harus dibenahi oleh PSSI sebagai lembaga tertinggi persepakbolaan nasional. Pembinaaan terhadap supporter harus terintegrasi dengan pembinaan team. Supporter yang dewasa akan membuat pertandingan enak dilihat, dan kemajuan sepakbola nasional tinggal menunggu waktu. Jangan sampai terucap "bagaimana mau berprestasi, supporternya masih anarkis".
Kita bisa melihat beberapa supporter sepakbola yang mendukung dengan fair play, menjunjung tinggi sportivitas, santun dalam bertindak dan dewasa. Saya yakin jika dibenahi dengan baik, aturan yang jelas, sepakbola Indonesia akan maju. Bukan saja sepakbolanya tetapi juga etika supporter sepakbola yang harus dibenahi. Mendukung dengan baik, dewasa dan selalu menjunjung tinggi sportivitas sedikit banyak akan berpengaruh terhadap kemajuan sepakbola Indonesia, saya yakin itu. Maju terus sepakbola Indonesia.
Bisa dilihat juga di www.wildensyah.co.cc
Share:

Kamis, Maret 18, 2010

Mengikuti Pertandingan Sepakbola Lewat Radio

Persib Bandung lagi-lagi membuat saya menuliskan sisi lain dari sepakbola. Kali ini menyaksikan siaran langsung pertandingan melalui Radio. Saat itu di kota kecil di selatan Garut, keberadaan televisi masih langka, dan radio adalah alat komunikasi paling favorit bagi masyarakat desa. Ada dongeng Wa kepoh, Mang Jaya dan sandiwara radio Tutur Tinular, Babad Tanah Leluhur dll. Disamping acara itu, ada acara yang tidak pernah dilewatkan oleh pendengar di kota kami, Sepakbola. Ya.. Sepakbola, terutama ketika Persib Bandung bertanding. Kalau Persib Bandung bertanding, maka kampung akan terlihat sepi karena semua pemuda merapatkan diri, mendengarkan siaran langsung.
Radio Tape (Ilustrasi diunduh dari google.com)
Pembawa acara yang menggebu-gebu dan selalu berteriak-teriak membuat jantung ini dagdigdug. Penuh ketegangan, penuh keceriaan dan penuh dramatisasi-dramatisasi lainnya yang membuat acara siaran langsung itu begitu berwarna. Namanya Bung Sandra, saya tidak pernah tahu bagaimana sosoknya, yang saya tahu hanya suaranya yang selalu bersemangat ketika pemain Persib Bandung menggiring bola menuju pertahanan lawan. Apalagi kalau sampai terjadi gol, maka serempak pendengar berjingkrak, berjoget dan berteriak goooool.


Siaran langsung lewat radio ini ternyata menjadi motivasi tersendiri bagi pemain sepakbola seperti Adeng Hudaya, Adjat Sudrajat, Nyangnyang, Jajang Nurjaman dan Uut. Uut misalnya, pemain Persib yang terkenal lewat bola ‘boseh’-nya, dalam satu kesempatan pernah menyatakan bahwa siaran langsung lewat radio membuat dirinya selalu ingin mendapatkan bola, kalau mendapatkan bola berarti penyiar akan menyebut namanya, kalau disebut namanya, maka masyarakat di kampung kami akan mengetahui keberadaannya. Dan keberadaannya ini membuat bangga masyarakat di kampung kami semua.

Sampai hari ini, saya masih tetap mendengarkan siaran langsung pertandingan sepakbola melalui radio RRI Bandung, terutama jika sedang di Jalan Raya dan belum sampai rumah saat pertandingan sudah berlangsung. Saya selalu teringat dramatisnya sebuah pertandingan sepakbola jika didengarkan lewat radio. Kata teman saya, mendengarkan dari radio itu penuh kejutan, bola masih di tengah lapangan terasa sudah didekat gawang. Pemain masih menggiring bola menuju pertahanan lawan, uuh rasanya sudah melewati sebelas pemain lawan saja. Berlebihan memang, tetapi ini sangat mengasikan. Kalau nonton distadion pun lebih enaknya membawa radio kecil, sambil melihat langsung, kita bisa mengetahui irama pertandingan dan luapan emosi lewat penyiar radio.
Share:

Selasa, Maret 16, 2010

Semata Wayang

C.Gonzales dan Hilton Moriera (foto di unduh dari okezone.com)
C.Gonzales dan Hilton Moriera (foto di unduh dari okezone.com)

Saya membaca beberapa postingan di Kompasiana tentang salahmologi (saya yakin kata ini juga sudah salah). Ada berbagai macam kesalahan umum yang sering terjadi tetapi tidak disadari sebagai sebuah kesalahan. Saya hendak mengangkat sebuah perumpamaan yang tidak tepat. Dalam sebuah berita misalnya terdapat semata wayang, contoh saja C.Gonzales stiker Persib Bandung mencetak gol semata wayang ke gawang Arema Malang pada pertandingan yang disiarkan secara langsung oleh Anteve. Gol semata wayang ini bertahan sampai akhir pertandingan. Atau anak semata wayang yang menjadi korban penculikan itu, kini sudah ada di pangkuan ayah ibunya.

Katanya, semata wayang itu berarti satu. Nah sekarang kita kupas dulu wayang sebelum mengupas matanya. Benarkah mata wayang itu satu?. Gol Christian Gonzales yang dilesakan ke gawang Arema Malang itu satu, anak semata wayang itu satu. Sekali lagi, benarkah semata wayang itu satu?

Wayang di Jawa Barat bernama Wayang Golek, dalang wayang golek yang terkenal adalah Asep Sunandar Sunarya. Tokoh Wayang Golek yang selalu mengundang gelak tawa adalah Cepot, Dawala, Semar, Astrajingga. Cepot sangat terkenal 'ngabodornya' dibanding tokoh lainnya. Selain tokoh 'bodor' ada juga tokoh serius seperti Arjuna, Bima, Kurawa dll. Sepengetahuan saya dari beberapa literatur dan wayang golek yang pernah saya lihat, matanya dua, tidak satu.

Lalu di Cirebon ada wayang wong atau wayang orang, wayang orang juga setelah saya selidiki ternyata bermata dua. Artinya wayang golek bermata dua, wayang wong juga bermata dua, berarti C.Gonzales mencetak gol semata wayang itu bisa jadi dua gol yang dia sarangkan ke gawang Arema Malang.
Berbeda lagi ceritanya jika mata wayang yang dimaksudkan adalah mata wayang kulit dari Jawa. Wayang kulit itu hanya satu sisi saja. Mungkin mata wayang yang dimaksudkan di kalimat C.Gonzales mencetak gol semata wayang ke gawang Arema Malang itu adalah mata wayang kulit yaitu satu. Karena kenyataannya C.Gonzales memang hanya mencetak satu gol saja untuk kemenangan Persib Bandung atas Arema Malang.

Share:

Senin, Maret 15, 2010

Tak Ada Lapang Besar, Futsal aja!

"Please, don't call me arrogant. I have won Champions League title with Porto, I am The Special One"
- Jose Mourinho
Sepakbola sedang mengalami gairah yang meningkat. Aura Liga Indonesia atau Piala Dunia terasa disetiap sendi anak muda saat ini. Di desa, di kota dimanapun gairah itu sedang naik. Kota, ruang terbatas, gairah sepakbola meningkat, maka Futsal jawabannya. Di sebuah ruangan yang terbagi dua lapang masing-masing berukuran panjang 25-42 m x lebar 15-25 m itu, energi tertumpah. Menendang, menyundul, slading, mengover, mentakle, menggiring bola dan memasukan ke gawang lawan. Energi sepakbola memang mengasyikkan.
Futsal Indoor di Gegerkalong Bandung (dok.pribadi) 

Bisnis, ah lagi-lagi olahraga tidak lepas dari kata yang satu ini. Futsal adalah media bisnis yang paling menggiurkan. Di kota Bandung misalnya terhitung lebih dari puluhan tempat futsal dari yang sederhana sampai yang mewah ada. Sederhana maksudnya fasilitas yang tersedia hanya satu lapangan dengan lantai biasa, sementara yang mewah atau lebih dari sederhana misalnya memakai ruangan luas, rumput sintetis dan penerangan yang memadai. Terasa bedanya ketika bermain di lapangan lantai cor-coran biasa dengan bermain di atas rumput sintetis. Inilah nilai lebihnya fasilitas yang berbanding lurus dengan harga sewa tiap jamnya.

Karena gurihnya bisnis ini, beberapa lokasi futsal di Jalan Antapani Kota Bandung, berjajar bahkan nyaris berdampingan satu sama lain. Belum lagi ditambah yang masuk ke gang-gang kecil di sekitar perumahan. Kondisi yang unik ini menunjukan bahwa geliat bisnis penyewaan lapangan futsal berkembang sangat pesat.
Ada aturan tidak tertulis jika mau membangun fasilitas futsal, tidak ada lahan luas untuk sepakbola. Jika lapangan sepakbola masih banyak atau lahan luas masih tersebar dimana-mana, penyewa lapangan futsal akan sedikit. Itulah mengapa futsal berkembang dengan cepat diperkotaan yang nota bene lahan terbukanya sudah habis oleh perumahan atau gedung-gedung.

Jadi jika tidak ada lapang besar, futsal aja. Bisa jadi bukan karena tidak ada lapang besar tetapi mengumpulkan 2 team (22 orang) untuk bertanding di sepakbola lapangan besar lebih sulit dibandingkan mengumpulkan 2 team (10 orang) untuk bertanding di lapangan futsal. Kalau bagi saya, futsal tidak begitu cape, kalaupun kehabisan nafas bisa bergantian hehe.
Inilah futsal yang meramaikan persepakbolaan kota besar.
Futsal (dok.pribadi)
Futsal Indoor (dok.pribadi)
Menggiring Bola Futsal (dok.pribadi)
Menggiring Bola Futsal (dok.pribadi)
Mengocek Bola (dok.pribadi)
Mengocek Bola (dok.pribadi)
Futsal Outdoor (dok.pribadi)
Futsal Outdoor (dok.pribadi)
Futsal yang dinamis (dok.pribadi)
Futsal yang dinamis (dok.pribadi)
Futsal memang mengasikan, tidak ada lapang besar, futsal aja !
Share:

Rabu, Maret 10, 2010

Mengapa Anarkis!

Supporter Sepakbola (ilustrasi diunduh dari google.com)

Supporter Sepakbola (ilustrasi diunduh dari google.com)

Tak habis pikir jika melihat kerusuhan karena sepakbola, di Liga Super Indonesia sering mendengar pendukung Persija bentrok dengan pendukung Persitara, atau pendukung Arema dengan pendukung Persebaya. Lalu di divisi utama, pendukung PSIM Yogya dengan pendukung PSS Sleman. Tetapi jangan apriori dulu, bahkan di luar negeri pun sering terjadi kerusuhan karena pendukung sepakbola ini. Di Liga Premier Inggris misalnya, pendukung MU sering bentrok dengan musuh bebuyutannya pendukung Liverpool, di Liga italia pendukung Roma dengan pendukung Juventus, di Liga Skotlandia pendukung Glasgow Celtics bentrok dengan Glasgow Ranger.

Inggris dengan istilah supporternya Hooligan dan Italia dengan Ultras-nya bahkan menjadi perhatian khusus pihak keamanan jika salahsatu dari mereka bermain. Dari sini muncul pertanyaan, mengapa anarkis? mengapa sering bentrok dan menyebabkan kerusuhan? inilah pangkal utama mengapa sepakbola ditakuti oleh beberapa orang. Takut bukan karena permainannya, tetapi karena pendukungnya. Beberapa bulan yang lalu headline koran berita nasional, televisi ataupun radio menyimak perilaku pendukung Persebaya, atau pendukung Persijap yang dilempari di Solo dll. Jalanan ketika akan berlangsung sepakbola di sebuah daerah sering terlihat mencekam, teriakan-teriakan, nyanyian dan ayunan bendera team kesayangan menghiasai jalanan. Jalanan benar-benar mencekam, sedikit saja berbuat masalah, bisa repot selanjutnya. Kisah seorang pengendara angkot di Jakarta yang dikeroyok oleh The Jak (pendukung Persija) hanya karena klakson, atau sepeda motor yang ugal-ugalan, belum lagi penjarahan pedagang asongan menambah seramnya jika akan terjadi pertandingan sepakbola.

Sikap anarkis para pendukung sepakbola ini disinyalir karena kecintaannya yang berlebihan, fanatisme salah kaprah dan keterlaluan dalam menumpahkan emosi. Seseorang yang memiliki cinta berlebih pada sesuatu cenderung akan melakukan apapun untuk menumpahkan cintanya. Awal mulanya terjadi kerusuhan karena saling ejek setelah team-nya kalah. Setelah team kalah, diejek pula, ya sudah.. yang keluar adalah emosi tingkat tinggi. Kalau sudah emosi, jangan berharap polisi bisa menenangkan, satu kompi pun bisa dilawan. Diobrak-abrik dengan pentungan, dikejar dan dibubarkan pada hakekatnya adalah untuk meredam emosi yang sudah diubun-ubun kepala. Masa yang berkumpul cenderung mudah disulut, dipanas-panasi dan dierahkan menjadi kerusuhan. Dan polisi benar, membubarkan masa adalah solusi paling baik agar tidak berkumpul lagi emosi-emosi yang tidak tertampung.

Bisakah kita mendukung tanpa anarkis, mendukung dengan sportif saya yakin bisa. Caranya dengan mMembuat efek jera bagi para perusuh adalah solusi yang bisa dipertimbangkan. Maksud saya, perusuh itu pidanakan saja. Bawa ke pengadilan dan buat mereka jera. Sayangnya regulasi peraturan ini tidak diikuti oleh para petinggi PSSI. Pendukung seolah mengolok-olok karena PSSI sendiri tidak mau berubah. Bagaimana mau mengubah sikap anarkis jika PSSI-nya sendiri tidak mau berubah.

Kita optimis saja, jika PSSI berubah, prestasi timnas meningkat dan perilaku pendukung sepakbola menjadi dewasa. Dewasakan dulu PSSI-nya setelah itu baru lakukan pembinaan terhadap pendukung sepakbola.

Share:

Selasa, Maret 09, 2010

Cerpenisasi Kartun Atau Membuat Cerita Pendek Yang Terinspirasi Oleh Gambar Kartun


"You know what love is?
It is all kindness, generosity"
(Rumi)

Saya masih ingat ketika salahsatu Unit Kegiatan Mahasiswa di kampus Setiabudi Bandung mengadakan acara Musikalisasi Puisi. Harap dicatat musikalisasi, entah benar penambahan sasi pada musik atau tidak yang pasti, dalam benak saya, musikalisasi berarti penambahan unsur musik pada puisi, atau sebaliknya puisi yang ditambah unsur musik.
Terinspirasi dari musikalisasi, saya membuat cerpenisasi kartun. Cerpenisasi adalah pembuatan cerita pendek yang berdasarkan kisah di kartun. Cerpenisasi pertama saya yang berhasil adalah kartun Yonk di Buletin Wanadri. Cerpenisasi kartun Yonk, demikian saya menyebutnya. Setiap kartun Yonk keluar, saya selalu buat dalam versi cerpen-nya. Walaupun kadang memaksakan, tetapi ide dasar dari kartun itu bagus untuk dibuatkan cerita pendek.
Selain kartun yong, kartun yang sering saya buat ceritanya adalah Benny dan Mice, salahsatunya adalah Smartphone sejuta umat yang sudah ada di kompasiana. Lalu konpopila, sukribo dll. Membuat cerpen dari kartun sangat mudah, tinggal tulis saja dari persfektif diri sendiri, maka jadilah cerpenisasi kartun.
Cerita pendek, berarti cerita yang pendek, tidak panjang dan tidak bertele tetapi penuh makna. Minimal ada cerita yang bisa di share dengan pembaca, entah itu muatan nilai-nilainya atau pesan-pesan moral lain yang sengaja dibuat oleh pembuatnya.
Inilah cerpenisasi kartun Yonk yang pernah saya buat.


Cat air

Karena Aku…
(Cerpenisasi kartun Yonk)
Oleh Iden Wildensyah
Sore itu…
” Inilah aku! lihat betapa gagahnya aku” dalam hati aku berbicara pada diriku didepan cermin kamarku sebelum berangkat naik gunung besok pagi. Sebuah ucapan yang mungkin saja bagi sebagian orang terkesan angkuh dan sombong.
Tapi apalah artinya sebuah persepsi orang, toh kenyataannya tiap orang berbeda ketika melihat sisi yang dilihat dari fisiknya. Bisa saja berbicara dari aksesoris tapi sisi yang lebih dalam belum tentu orang bisa melihatnya.
“Aku adalah sang penakluk !” kata orang tentang aku, ya… aku pernah lewati batas tipis antara hidup dan mati, ketika di Himalaya. Aku juga pernah tergantung beku dan nyaris mati, sementara garvitasi siap menghempaskanku kelantai bumi ratusan meter di bawahku.
Panas, dingin, hujan dan badai adalah bagian dari petualangan yang terus aku hadapi, sekalipun dingin es di puncak gunung, aku tetap bertahan. Aku dan alam seperti menyatu sebagai media bermainku. Dengan kegiatandi alam bebas semua orang bahkan dunia pun mengenalku setengah tak percaya, tapi itulah aku.
Sementara itu….
Fenomena alam tempatku bermain terus berlangsung siang malam, musim berganti ada kemarau, ada hujan. Bergilir silih berganti alam mendaur ulang setiap waktu. Proses ini bukan tanpa sebab, semuanya memiliki makna bagi kehidupan ini. Di antara proses ini terjadi juga hal yang positif dan negatif yang alamiah. Barangkali proses negatif yang menelan korban yang paling aku ingat. Lihatlah bencana banjir sebanyak 578 rumah dan 58 hektar (ha) lahan pertanian padi di delapan desa di sebuah kota di Indonesia, lalu fenomena air yang sering di konsumsi setiap hari dimana ekploitasi air yang berlebihan karena peningkatan populasi maupun penggunaan yang semakin konsumtif/boros. Sejak tahun 1950, secara global penggunaan air telah berlipat sebanyak tiga kali, dua kali lebih cepat dari peningkatan jumlah penduduk. Tinggi muka air tanah di semua benua saat ini telah mencapai titik terendah dalam sejarah. Berkurangnya sumberdaya air diperkirakan akan menjadi tantangan yang paling mendasar bagi keberlanjutan manusia pada abad 21.
Pencemaran hingga penggundulan hutan semakin menjadi. Aku seperti tidak bisa berbuat apa-apa, akibatnya tanah longsor dan banjir terjadi dimana-mana.
“Apa yang bisa aku lakukan?” aku bertanya pada diriku setiap saat ketika mendengar berita tentang bencana alam ini.
Aku sadar saatnya alam menagih kontribusi dari apa yang selalu manusia “Exploitasi” pada dirinya. Aku juga sadar betapa selama ini kurangnya perhatian kita pada alam dan lingkungan sedikitnya.
Malam itu….
Dengan segelas kopi panas dan sebatang rokok. Sekedar mengisi malamku, aku duduk didepan televisi, menikmati tayangan yang semakin hari semakin menjemukan, sinetron-sinetron palsu pembawa impian yang membuat aku mual melihat tayangan-tayangan sekarang.
Tapi berbeda dengan malam itu, aku sengaja melihat berita terbaru tentang bencana alam di Indonesia. Aku jadi malu dengan diriku, terlintas sejenak aktivitasku, saat dengan gagahnya aku taklukan gunung-gunung, kuarungi angkasa, laut serta jeram-jeram sungainya lalu dengan garangnya aku tancapkan paku-paku tebingku tanpa ampun.
Sejenak aku termenung lalu bertanya masih pada diriku
” untuk apa semua ini?”
Lewat layar kaca didepanku malam itu, aku saksikan bagaimana alam menjerit kesakitan ketika hutan-hutannya digunduli, sungai dan udaranya pun di cemari. Dan ketika rasa sakit sudah tak tak tertahankan alam pun mengamuk.
Tersentak aku memandanginya, aku hanya bisa menahan nafas sembari menghitung berapa korban yang tewas hingga kini. Tak ada yang bisa aku lakukan walau tak ada kata terlambat. Aku akan berikan cinta yang terbaik untuk Tuhan, manusia dan alam semesta.
Selanjutnya…
Besok pagi aku naik gunung sebagai seorang pecinta alam saatnya mulai untuk bergerak bersama menjaga alam ini, melestarikan dan menggunakannya dengan tidak serakah karena aku seorang pencinta alam.
Share:

Senin, Maret 08, 2010

Persentase Pelatih dan Pemain


Jaya Hartono (Foto diunduh dari vivanews.com)

Jaya Hartono (Foto diunduh dari vivanews.com)

Persentase adalah suatu cara untuk menyatakan fraksi dari seratus. Persentase sering ditunjukkan dengan simbol “%”. Persentase juga digunakan meskipun bukan unsur ratusan. Bilangan itu kemudian diskalakan agar dapat dibandingkan dengan seratus. Persentase amat berguna karena orang dapat membandingkan hal yang tidak sama angkanya. (wikipedia.com)

Pertanyaan awalnya adalah berapa persen faktor pelatih dalam menentukan baik atau buruknya sebuah permainan sepakbola?. Jawaban beberapa rekan saya ditempat kerja ternyata beragam, ada yang memberikan cuma 20%, 30%, dan 60%. Saya sendiri mencoba memilah antara pemain, pelatih dan manajemen. Khusus untuk sepakbola Indonesia (timnas) saya memberikan porsi hanya 30% saja, sisanya berada pada manajemen 20% dan pemain 50% lebih besar dari manajemen dan pelatih. Studi kasus yang paling nyata adalah ketika timnas dilatih oleh Peter White (PW), siapa yang meragukan kemampuan pelatih yang punya kapabilitas teruji di asia melalui Thailand, PW berkarakter, punya kemampuan manajemen yang baik. Tetapi apa mau dikata untuk prestasi timnas indonesia tidak sebagus pelatihnya, jadi sementara terjawabkan berapa persen porsi pelatih disini. Logikanya begini ” jika dan hanya jika”. Jika pelatih bagus, pemain bagus, maka permainan bagus jika pelatih tidak bagus, pemain bagus, maka permainan baik. Jika pelatih bagus, pemain tidak bagus, maka permainan kurang bagus. Jika pelatih tidak bagus, pemain tidak bagus maka permainan tidak bagus.

Apakah keputusan menghentikan pelatih ditengah jalan bisa menjadi sebuah solusi bagi tim yang terus menerus kalah? untuk kompetisi luar negeri, rasanya tidak masalah menghentikan pelatih ditengah kompetisi. Lihat saja Chelsea dahulu ketika terpuruk, Mr Spesial One mengundurkan diri lalu diganti Avram Grant prestasinya menanjak sampai finalis Liga Champion. Hal ini karena faktor mental dan fisik pemain yang sudah berada pada tingkat matang kalaupun tidak ya.. mendekatilah. Mental mereka selalu bisa cepat bangkit dari keterpurukan, tidak emosional dan tidak menyalahkan satu sama lain, yang ada adalah bangkit bersama. Dewasa dalam arti yang sesungguhnya, mereka adalah motivator bagi dirinya sendiri.

Untuk Persib Bandung, saya mengambil contoh ketika masa kepelatihan Arcan Iurie. Kesalahan fatal seorang pelatih yang sangat elementer (mengutip komentator sepakbola) adalah merusak kondisi tim yang sudah kondusif. Menurut saya, waktu itu dia salah memprediksi, kuncinya itu saja. Dia takut kehilangan pilar pemain karena harus membela timnas, pikir dia harus ada yang menggantikan dengan kemampuan individu yang sama. Kenyataan prediksi dia salah, kesalahan utamanya adalah merusak kondisi yang sudah kondusif.

Untuk Jaya Hartono sendiri, bertanggungjawab betul, tapi kalau sampai menuntut mundur ditengah kompetisi ketika team anjlok, rasanya kurang bijak. Saya melihat banyak hal positif dari kepemimpinan Jaya Hartono dibanding yang lain. Salahsatunya adalah pemilihan pemain, JH memilih pemain yang memiliki talenta, bukan yang sudah jadi. Pemilihan yang saya lihat juga seimbang siapa yang siap, dia yang akan dipasang di starting up line. Penampilan tim pun tidak bombastis tetapi mengikuti proses, menanjak sedikit demi sedikit. Bandingkan dengan Arcan Iurie, diawal memang bombastis tetapi keropos di akhir, contoh paling mutakhir adalah ketika dia melatih Persik Kediri tahun 2008, coba kurang apa Persik Kediri dengan pemain-pemain bintang timnas dan finalis liga indonesia (PSMS) yang hampir 80% ditarik ke Persik Kediri, pun dengan pemain asingnya yang sudah memiliki kemampuan diatas rata-rata. tetapi apakah persik berada diurutan pertama? ternyata tidak (diluar masalah non teknis).

jadi berapa persen pelatih, pemain, dan manajemen menentukan baik atau buruknya performa sebuah tim? jawaban itu ternyata relatif untuk sepakbola Indonesia. sebagai supporter saya hanya bisa mendoakan saja, saya tidak menuntut mundur ketika performa menurun dan tidak akan menyanjung ketika performa naik, saya hanya bersyukur jika tim kesayangan saya menang. karena tidak mudah jadi bagian dari manajemen begitu pula menjadi pelatih, apalagi menjadi pemain. untuk satu jam bermain futsal saja cape-nya minta ampun… eh minta istirahat apalagi main di Liga Super, ah mimpi kalee!

Bersama Suwitha Patha ketika masih di Persib Bandung (Dok.Pribadi)

Bersama Suwitha Patha ketika masih di Persib Bandung (Dok.Pribadi)

Share:

Sabtu, Maret 06, 2010

Saya dan Persib

Saya mengenal Persib Bandung ketika masih kecil, sejak usia sepuluh tahun saya sudah diperkenalkan oleh Paman saya. Ketika itu sedang jaya-jayanya Persib di era perserikatan. Masa kecil saya dilewatkan di Cikajang-Garut, Cikajang adalah kota kecil di selatan Garut yang terkenal dengan Gunung Ciremai, Papandayan dan perkebunan teh Cisaruni. Cikajang waktu dulu adalah bibitnya Persib Bandung. Cita-cita anak kecil di Cikajang adalah menjadi pemain Persib.

Dari Cikajanglah, pemain Persib bersinar. Sebut saja Uut, Nyanyang, Jajang Nurjaman, Adeng Hudaya dan era sekarang yaitu Zaenal Arif. Untuk nama terakhir, ketika Liga Indonesia sudah profesional tanpa dukungan APBD, Zaenal Arif pindah ke Persisam. Nama-nama itu beken di kampung saya, siapapun pasti mengidolakan pemain itu. Saya masih ingat ketika itu tahun 80an, televisi belum masuk kampung kami, dan satu-satunya alat komunikasi yang selalu menyiarkan acara Persib adalah RRI Bandung. Dengan pembawa acara yang mengebu-gebu ketika salah seorang pemain Persib membawa bola, auranya terasa sampai ke kampung-kampung, apalagi kalau terjadi gol.. berjingkrak, berangkulan dan bersujud atas kemenangan seolah kami merasakan saat-saat mencetak gol. Bayangkan, itu hanya dari indera pendengaran saja, bukan seperti sekarang era televisi.

Uut yang terkenal dengan bola “boseh“nya (boseh diperuntukan pada saat kaki mengayuh sepeda, dalam bahasa Indonesia berarti kayuh) membawa bola dengan kaki seperti mengkayuh sepeda melewati beberapa pemain, mengoper dan goool. Serentak semua pendengar berteriak. Istilah yang kini menjadi tren adalah “ngabobotohan” Persib (ngabobotohan berarti mendukung). Bobotoh kini menjadi nama supporter khusus dari Jawa Barat. Uut adalah fenomena tersendiri bagi saya waktu itu, ditariknya dia ke team Persib karena kelincahannya sewaktu membawa bola, melewati beberapa pemain Persib saat tandang persahabatan ke Cikajang.

Dari cita-cita anak kecil Cikajang yang selalu terngiang dalam benaknya menjadi Pemain Persib inilah saya menjadi punya hubungan spesial dengan Persib Bandung. Setelah mengalami masa-masa kecil dan remaja, saya merasa Persib tetap menjadi bagian dari orang-orang di Jawa Barat. Menurut saya ini sangat unik, Persib berbeda dengan team lain yang ada di Indonesia, Persib bukan milik pecinta sepakbola di Bandung saja, tetapi juga di Jawa Barat, dari Ujung Barat sampai ke perbatasan Jawa Tengah. Bahkan saya pernah membaca tulisan salah seorang wartawan Tribun Jabar, bahwa fanatisme terhadap Persib bukan hanya terjadi di Jawa Barat saja, tetapi juga sebagian Jawa Tengah terutama perbatasan.

Tentu bukan saya saja yang menyukai Persib, bisa jadi anda juga walaupun bukan orang Jawa Barat. Tetapi yang utama adalah tetap menjunjung tinggi sportivitas, dewasa dalam mendukung dan santun dalam bertindak. Menghindari anarkisme, mendukung sepenuh hati dan selalu berteriak “Hidup Persib!”

Bobotoh Persib

Bobotoh Persib

Share:

Postingan Populer