Ruang Sederhana Berbagi

Kamis, Oktober 24, 2013

Cerita Memanah

Senin pagi seperti biasa rutin pagi. Anak-anak bercerita tentang libur akhir pekannya. Beragama cerita yang mereka sampaikan. Sekalipun hanya di rumah, tetapi selalu ada yang menarik.


Misalnya, Bryan yang berkata "bosan, aku di rumah saja. Baru pindahan dan semuanya beres-beres". Berbeda dengan Bryan, Bintang cerita tentang kegiatan akhir pekannya bersama keluarga di arena panahan. Ini yang menarik! Memanah.


Bintang kemudian menyusun ceritanya, mulai dari persiapan sampai pelaksanaan. Ia berkisah bahwa memanah itu sulit. Berkali-kali ia gagal melepaskan anak panah dengan baik karena pegangannya yang tidak tepat. Walaupun ia berhasil melepaskan anak panah, tetap saja belum mencapai sasaran.


Apa yang disampaikan oleh Bintang ini menjadi awal untuk saya bercerita tentang kisah dibalik memanah. Kebetulan sehari sebelumnya saya melihat ada seorang anak yang memajang photo dirinya berkostum Merida (tokoh kartun perempuan yang ingin jadi pemanah). 


Memanah, bukan sekedar melepaskan anak panah saja. Ada pembelajaran menarik di dalamnya yang bisa dibagikan. Memanah dan berkuda adalah dua kegiatan menarik anak laki-laki jaman dahulu. Bahkan Nabi Muhammad menganjurkan anak lelaki untuk bermain panah dan berkuda sebagai kemampuan dasarnya (ditambah juga berenang). 


Memanah adalah sebentuk latihan berpikir dan merasa dengan seimbang. Fokus dan menjiwai setiap kali akan melepaskan anak panahnya. Hasil bidikannya adalah bentuk perpaduan yang harmonis antara fokus, konsentrasi, dan kematangan jiwa.


Saya selalu terkesan dengan catatan Paulo Coelho tentang memanah dan melihat bagaimana ia berpikir mendalam dari kegiatan memanah.


"Ketika aku menarik busurku," kata Herrigel kepada guru Zen-nya, "kadang aku merasa seolah-olah aku tak bisa bernapas jika tidak segera melepaskan anak panah itu."


"Kalau engkau terus berupaya mengusik momen-momen saat engkau harus melepaskan anak panah, maka engkau tidak akan pernah mempelajari seni sang pemanah" kata gurunya. "Kadang-kadang, hasrat berlebihan sang pemanah sendirilah yang merusak ketepatan bidikannya." (Paulo Coelho, Kitab Suci Kesatria Cahaya, hal 43)


Semakin kita renungi cerita anak-anak kemudian merefleksikannya dalam catatan atau keseharian, semakin mudah menarik kesadaran dalam ritme yang ingin dibangun.


Share:

Rabu, Oktober 23, 2013

Ulat Bulu

Sore itu ia sedang berjalan kaki di atas dahan biasa yang sudah lama ia lewati. Berpindah dari satu daun ke daun lainnya untuk menggemukan badannya. Kelak ia akan berhenti makan. Puasa untuk menyongsong kelahiran sosok baru yang lebih baik dari saat ini.

Saat dimana ia tidak bisa bergerak kemana-mana di tubuh yang rapuh terbungkus kepompong. Semedi dalam kedamaian, merenung, menanti proses selanjutnya.

Sore ini berjalan seperti biasa. Sekumpulan anak-anak bermain di bawah pohon. Saling kejar dan teriak. Terlihat bergembira bermain bersama-sama. Sampai tiba-tiba ada seorang manusia yang lebih besar dari ukuran anak-anak mendekati pohon yang ia hinggapi. Dari atas, ulat merasa ada sesuatu yang aneh. Pohon bergoyang! Dan jatuhlah ia tepat dileher orang yang duduk di bawah pohok tersebut.

Sedikit kaget, orang tersebut meraba lehernya. Sama halnya dengan ulat yang kaget dan buru-buru membuat rasa amannya terganggu. Ia melepaskan bulu-bulu yang akan menarik perhatian orang tersebut. Lewat kulitnya, orang tersebut mulai merasakan sengatan. Diusapnya  leher lalu digaruk. Rasa gatal mulai menjalari tubuhnya. Ia pindah menggaruk ke bagian tangan, wajah, dan perutnya.

Ulat masih menempel di bajunya. Tiba-tiba orang tersebut sadar. Ia berkata "oooh ini ulat bulu, pantas saja gatal-gatal". Dilemparkannya tubuh lemah ulat bulu itu ke tanah. Ia terus menggaruk karena efek sengatan ulat bulu.

Sementara itu, sang ulat bulu yang dilempar manusia kembali mencari dahan untuk dipanjat. Ia kelaparan. Ia ingin makan lagi untuk persiapan menjadi kepompong.

Share:

Selasa, Oktober 22, 2013

Mencuri Matahari

Alkisah di sebuah hutan yang sangat lebat, hiduplah dua orang manusia dalam satu rumah. Sepasang manusia itu belum tahu menghangatkan ruangan hingga mereka selalu kedinginan setiap malam. 

Gelap gulita dan kedingingan! Itulah yang terjadi pada mereka berdua. Mereka menikmati suasana gelap gulita dan kedinginan. 

Lama kelamaan mulailah salah satu dari mereka berpikir. Ia tidak mau begitu selamanya. Ia ingin malam yang bercahaya dan hangat. Bukan lagi malam yang dingin dan gelap.

Cahaya bulan adalah satu-satunya penerang mereka di malam hari. Sayangnya bulan tidak hadir setiap malam. Ada saatnya bulan hilang dan mereka kembali bersedih.

Mereka berharap kehangatan yang muncul seperti matahari. Merekapun berharap matahari bisa bersama mereka sepanjang hari. Tapi sayang, matahari tenggelam pada sore hari. Ia baru muncul keesokan harinya. 

Mereka berpikir mengambil matahari. Mereka akan mencuri kehangatan dan sinarnya untuk malam hari. Mereka akan menyimpan matahari di rumahnya. Segala upaya mereka lakukan saat matahari muncul. Dengan saling pangku mereka coba gapai matahari, dengan tongkat mereka coba raih matahari. Segala upaya mereka lakukan untuk mendapatkan matahari. Sayang, tak satupun usaha mereka yang berhasil menggapai matahari.

Kesal, digosok-gosokanlah tongkat pada papan rumah yang kering. Semakin lama semakin keras. Semakin keras dan mereka rasakan ada panas pada papan yang digosok. Tiba-tiba, percikan api muncul. Mereka semakin penasaran! Mereka gosok terus dan munculah api yang menggigit daun kering di sampingnya.

Gembira! Mereka menari di pinggir api yang baru saja menyala. Ada cahaya dan ada kehangatan sekarang. Mulai saat itulah mereka tak lagi berpikir mencuri matahari untuk mendapatkan kehangatan. Mereka bergembira dengan cahaya dan kehangatan yang hadir di antara mereka. Malam pun tak gelap gulita lagi.

Share:

Rabu, Oktober 16, 2013

Kamu Tetap Bernilai

Jika merasa dicampakan, terbuang sia-sia, dan merasa tidak berharga dan tidak dihargai, ingatlah selalu salah satu tulisan Paulo Coelho yang dikabarkan dari Carson Said Amer.
Dikisahkan seorang pengajar yang memulai seminar dengan memperlihatkan selembar uang dua puluh dolar dan bertanya, "Siapa yang menginginkan lembaran dua puluh dolar ini?"

Paulo Coelho
Beberapa orang mengangkat tangan, tetapi si pengajar berkata, "Sebelum saya memberikannya pada Anda, saya ingin melakukan sesuatu"

Dia meremas-remas lembar uang itu dan berkata, "Siapa yang masih menginginkan uang ini?"
Tangan-tangan kembali teracung.
Dia melemparkan lembar uang yang sudah kucal itu ke tembok, dan setelah lembar uang itu terjatuh, dia menginjak-injaknya, kemudian sekali lagi dia menunjukannya kepada peserta seminar --sekarang uang itu sudah benar-benar kucal dan kotor. Dia mengajukan pertanyaan yang sama, dan orang-orang tadi tetap mengangkat tangan.

"Jangan pernah melupakan pelajaran ini," katanya."Tidak masalah, apapun yang saya lakukan kepada lembar uang ini. Ini tetap selembar uang dua puluh dolar. Dalam hidup kita, sering kali kita dibuat kucal, diinjak-injak, diperlakukan buruk, dihina. Akan tetapi, meski mengalami semua itu, nilai kita tidak akan berubah."
 

Share:

Senin, Oktober 14, 2013

Semua Adalah Ilusi

Zen mengatakan "semua adalah ilusi". Ilusi adalah suatu persepsi panca indera yang disebabkan adanya rangsangan panca indera yang ditafsirkan secara salah. Ilusi yang paling mudah dikenal adalah ilusi optik. Ilusi optis adalah ilusi yang terjadi karena kesalahan penangkapan mata manusia. 

Semua yang tidak ada di hadapan kita itu hanya ilusi karena sebenarnya kita bisa membuatnya nyata di alam pikiran kita. Kita bisa saja berbicara dengan siapa saja yang kita inginkan, melakukan apa saja dengan mereka melalui alam pikiran kita. Kita bisa melakukan apa saja dengan bebas tanpa mengganggu orang lain di alam pikiran kita. Kita hanya cukup dengan menciptakan dunia di pikiran kita dan kita bebas melakukan apa saja di dunia kita.

Kita bisa saja ke masa depan dengan segala imajinasi yang kita miliki, kita bisa menjelajah jauh beberapa tahun ke depan yang mungkin tahun itu kita tidak hidup lagi. Jadi semua yang ada di dunia ini, yang kita lewati dan yang akan datang hanyalah ilusi.

Terkadang ilusi ini menyadarkan kita tentang hal yang terjadi dan bertentangan dengan pikiran kita adalah sesuatu yang wajar. Itulah ilusi. Demikian dan seterusnya, sebuah fakta dan pikiran bisa selalu bertentangan. Kedua bisa jadi benar tetapi keduanya bisa juga selaras. Pikiran kita dan hati kita mengendalikan semuanya. Seandainya orang lain menilai dengan subjektif tentang kenyataannya, ya terima saja. Lebih mudah! Semua adalah ilusi!


www.searchquotes.com

Share:

Rungkad

Kamari poho cai can dikocorkan ka kamalir sawah, atuh eta sawah digirang rungkad galenganna, Kapanggih poe isukan, dibejaan ku mang juned yen galengan sawah kuring nu lebah kaler kudu digancang diomean bisi kaburu banjir deui.  
Mang Juned geus ngabejaan tilu poe katukang perkara sawah di Ciburahol teh. Ngan dasar sok diengke-engke. Atuh pas hujan badag peuting tadi, galengan rungkad. Mang Entis rek dibejaan tapi keur euweuh di imah. Bejana mah keur di pasir, ngahuma.  
Hayangna mah harita keneh kuring indit nyusul ka huma, tapi euweuh kuda. Kabeh keur dipake bapa indit ka dayeuh. Bapa kuring tea teu bisa dicaram lamun geus aya kahayang indit ka dayeuh, hayang neangan bako palembang cenah. Bako ti kebon geus beak. Bapa indit naek si jalu. Si jalu kuduna aya ayeuna. Nya atuh galengan nu rungkad teh can bisa diomean da euweuh si jalu
sawah dok. idenide
Share:

Rabu, Oktober 09, 2013

Berinteraksi Melalui Soal

Jika selama ini anak pasif menerima soal-soal matematika, cobalah untuk membuatnya lebih aktif dalam membuat soal.

Saran ini terinspirasi dari paparan Prof Iwan Pranoto dalam sebuah seminar pendidikan matematika di sebuah sekolah di Kota Bandung.

Dengan membuat soal sendiri, anak memiliki soal tersebut. Harapannya, soal matematika menjadi tidak menakutkan lagi bagi dirinya. Matematika dengan mudah bisa dikenali dan dikerjakan dengan baik oleh anak-anak.

Jangan dikira membuat soal itu mudah, terkadang lebih sulit dari menjawab. Akan tetapi dalam bentuk pembelajaran aktif, anak harus mencoba membuat soal tersendiri. Variasinya bisa membuat soal untuk teman dan juga untuk dikerjakan sendiri.

Melalui soal juga, kita berinteraksi dengan anak. Kita bisa mengenal anak per anak melalui soal-soal yang ia buat sendiri. Anak yang cari aman, anak yang tertantang, dan anak yang biasa saja. Maka berinteraksilah dengan soal-soal yang dibuat sendiri dan anak-anak akan menyenanginya.

Nah, mari kita coba!

Share:

Selasa, Oktober 08, 2013

Prestasimu Sejarahmu

"Kuliah tong ngaganggu ulin!" atau kuliah jangan mengganggu main! Adalah sebuah jargon tidak resmi yang disampaikan para senior saya ketika bergiat di sebuah perkumpulan pecinta alam. Jargon tersebut terngiang sampai sekarang. Tujuannya adalah bermain, atau ulin. Hanya sebuah permainan yang tidak lebih dan tidak kurang.

Kalau dilihat sekilas, bisa jadi tidak penting, tetapi kalau dimaknai secara mendalam maka kata bermain itu menjadi sangat bernilai dan bermakna. Pada saat bermain, kita belajar banyak hal. Pembelajaran menarik terjadi justru pada saat bermain. Tidak bisa dipisah-pisahkan antara bermain dan belajar.

Burhanudin Aji, Teh Neneng, Silmy, dan Osiani
Minggu kemarin saya mendapat kabar tentang anak-anak Gandawesi KPALH yang meraih prestasi juara nasional, Kampala Orienteering National Competition 2013. Sebuah kompetisi permainan peta kompas yang diselenggarakan oleh salah satu perhimpunan pecinta alam. Prestasi yang perlu diapresiasi bersama sebagai kemenangan yang membanggakan. Bukan karena juaranya tetapi karena tekadnya untuk mengikuti. Kalau kata aktor Joe Taslim, "Pada akhirnya menang atau kalah itu bukan sebuah tujuan ketika kita sudah mengerahkan yang terbaik dalam sebuah pertandingan".
Bersyukurlah saat menang, sekalipun kalah, kita sudah berusaha semaksimal mungkin.

Nah, tentu saja kemenangan itu membanggakan semua. Bagi saya, kemenanganmu adalah sejarah. Saat kita berhasil menorehkan sesuatu, saat itulah kita menyimpan nama dalam sebuah sejarah. Jangan cepat puas tentu saja, masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk membuat sejarah atas namamu.

Selamat untuk Burhanudin Aji dan Silmy! Bravo Gandawesi!
Sebuah catatan apresiasi untuk Aji dan Silmi
Share:

Saya dan Bis Kota

Catatan ini adalah pengalaman ketika masih berkuliah di setiabudi 207 Bandung, seperti biasa setiap hal yang berkesan di benak selalu saya tuliskan. Naik bis kota adalah salah satunya, baik sendirian atau bersama seseorang untuk mengantar Ledeng-Leuwipanjang atau sebaliknya jemput leuwipanjang-ledeng. Pertanyaan awalnya adalah apa istimewanya naik bis kota? Berdesak-desakan, bau keringat, polusi udara, bising dan kalau lagi apes mungkin saja kecopetan. Jauh-jauh lah dari musibah itu selain kapok juga rugi materi, uang hilang atau HP dan barang berharga lainnya.

Bus Damri
Tapi jangan berkecil hati dulu, ternyata naik bis kota juga sebetulnya mengasikan. Bukan karena bau keringatnya, bukan karena polusinya tapi karena pengalamannya. Nah pengalaman saya naik bis kota di Bandung membuat saya tertarik untuk menuliskannya.
Siang itu seperti biasa sehabis kuliah saya pulang sengaja tidak naik angkot, selain ongkos angkot rada mahal, kadang panas dan gerah terus banyak “ngetem” menunggu penumpang.

Bahkan perjalanan yang biasa ditempuh dengan waktu 1 jam pun bisa molor sampai 2 jam, bagaimana ga bete kenyataannya seperti itu. Disamping murah, naik bis kota selalu menginspirasi saya untuk menulis, biasanya ide yang muncul itu tiba-tiba saja ketika ada peristiwa atau percakapan orang lain yang terekam dalam memori. Kalau dewi, seorang penulis novel di Bandung, bilang bahwa itulah proses imajinasi, bukan melamun, kalau imajinasi diarahkan kalau melamun itu melayang-layang tidak tentu arahnya.

Barangkali anda tahu bahwa bagi sebagian orang bis kota adalah ladang untuk mencari nafkah, sesuap nasi. Ada banyak kreatifitas yang muncul dari mereka yang selalu tampil didalam bis kota. Anak-anak kecil, dewasa dan orang tua berlomba membuat kreasi-kreasi baru dalam menarik perhatian penumpang.

Ada yang bernyanyi solo tanpa gitar dan “genjring” ada yang berkelompok lengkap dengan instrumennya, ada yang berpuisi ria, ada yang bercerita, ada yang berpantun dan selalu saya melihatnya dari persfektif seni.

Kadang ada tawa ditengah kreasi mereka, kadang ada tangis, kadang ada bete-nya juga. Kalau kebetulan bete, saya tidak menikmati sajian kreasi apapun dalam bis kota itu. Biasanya saya mencoba mengusirnya dengan membaca buku-buku yang selalu saya sediakan dalam tas karena saya tahu kadang sewaktu-waktu pasti ada banyak waktu untuk membaca salahsatunya di dalam bis kota yang tentunya setelah menunggu di halte.

Bete saya hilang, tapi tidak dengan pembaca pantun pada waktu itu, ia begitu antusias membacakan pantunnya, sehabis membacakan pantun seperti biasa ia mengeluarkan kotak lalu menyodorkan satu persatu ke penumpang.Sampailah kotak itu pada saya, lalu saya masukan uang receh yang sudah saya siapkan. Entah kenapa tiba-tiba ia berujar, sambil loncat keluar bis “Buat apa membaca kalau tidak bisa di bagi dengan orang lain”.

Saya termenung sejenak, ada kemarahan yang muncul begitu saja, alasannya hanya saya tidak diberi kesempatan buat menjawa “Membaca itu tergantung selera, tidak semua yang dibaca harus dibagi”. Namun dia sudah ada diluar bis kota, walaupun demikian dari pengalaman itu saya berfikir mungkin benar buat apa membaca bila tidak bisa di bagi dengan orang lain. Tapi sekali lagi bagaimana dengan membaca komik, novel atau cerpen ?
Itulah bis kota, ada banyak dinamika didalamnya. Tentunya kita harus tahan dengan cobaannya selain jarang, juga banyak orang yang mengincar untuk naik bis kota dengan kepentingan – kepentingan yang beragam. Bila ingin berdinamika naiklah bis kota.
Share:

Postingan Populer