Ruang Sederhana Berbagi

Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Selasa, Maret 18, 2014

Cinta dan Impian

Apa itu cinta? Cinta adalah sebuah kisah antara aku dan kamu. Banyak orang menafsir cinta. Ketika menggambarkannya, setiap kita punya rasa yang berbeda. Sebuah kisah berikut ini sangat menarik untuk menggambarkan cinta dan impian.

Seorang perempuan muda yang tidak berpakaian hitam mendekat. Dia membawa bejana di bahunya, dan kepalanya tertutup kerudung, tapi wajahnya terbuka. Si bocah mendekatinya untuk bertanya tentang sang alkemis itu.

Saat itulah si bocah merasa waktu berhenti, dan Jiwa Buana menyentak keluar dari dalam dirinya. Ketika dia menatap gadis itu, dan melihat bibirnya bersikap antara tertawa dan diam, dia mengerti bagian terpenting dari bahasa yang digunakan oleh seluruh dunia - bahasa yang bisa dipahami oleh setiap orang di bumi dengan hati mereka. Itulah cinta. Sesuatu yang lebih tua dari umat manusia, lebih purba dari gurun. Sesuatu yang menggunakan daya yang sama kapanpun dua pasang mata bertemu, seperti mata mereka kini dan di sini, di sumur ini. 

Gadis itu tersenyum, dan itu pastilah sebuah pertanda - pertanda yang telah dinantinya, sepanjang hidupnya. Pertanda yang dicarinya bersama domba-dombanya dan dalam buku-bukunya, dalam kristal-kristal dan dalam kesunyian gurun.

Itulah Bahasa Buana yang murni. Ia tidak membutuhkan penjelasan, sebagaimana alam semesta tak memerlukan apapun saat berjalan melewati waktu yang tiada akhir. Apa yang dirasakan si bocah pada saat itu adalah bahwa dia berada di hadapan satu-satunya perempuan dalam hidupnya, dan bahwa, tanpa perlu kata-kata, gadis itu merasakan hal yang sama. Dia lebih yakin pada hal itu daripada terhadap apapun di dunia ini.

Dia pernah diberitahu oleh orang tua dan kakek-neneknya bahwa dia harua jatuh cinta dan benar-benar mengenal seseorang sebelum terikat. Tapi mungkin orang-orang yang merasakannya tidak pernah memahami bahasa universal ini. Karena, jika kita memahami bahasa itu, mudahlah untuk mengerti bahwa seseorang di dunia menanti kita, entah di tengah gurun, atau di kota besar. Dan saat dua orang itu berjumpa, dan mata mereka bertemu, masa lalu dan masa depan menjadi tak penting. Yang ada hanyalah momen itu, dan kepastian yang ajaib bahwa segala yang ada di langit dan di bumi telah dituliskan oleh tangan yang esa. Itulah tangan yang menimbulkan cinta, dan menciptakan suatu jiwa kembar bagi setiap orang di dunia. Tanpa cinta seperti itu, impian-impian seseorang tidak bermakna.

Share:

Minggu, Maret 16, 2014

Nelayan dan Ikannya

Berharap keberuntungan saja tidak cukup, ia harus berusaha melawan rasa malasnya untuk bergerak mencari lokasi yang tepat untuk memancing.

Ikan bukanlah hewan yang berdiam diri di satu tempat untuk waktu yang lama kecuali beberapa jenis ikan. Ia akan bergerak ke sana ke mari mengikuti aliran air ke hilir atau juga menerjang melawan arah semestinya.

Muara ini sangat tenang, alirannya tak sederas di hulu. Banyak ikan yang bermigrasi dari lautan menuju sungai melewati muara ini. Air yang tenang ini hanya kelihatan dari permukaan. Arus di bawah sebenarnya deras apalagi kalau sudah naik air pasang laut. 

Hari ini cuaca sedang baik untuk memancing ikan di muara. Selama menunggu jadwal melaut, waktu senggang ia gunakan untuk memperbaiki jaringnya yang putus. Merajut kembali bagian-bagian yang bolong dan putus agar bisa digunakan dengan baik dan mampu menjaring ikan lebih banyak lagi. Sisa waktu setelah merajut jaringnya, ia memancing.

Dibandingkan dengan menjaring ikan di laut, memancing itu tidak ada apa-apanya. Hanya sedikit yang ia dapatkan dari hasil memancing. Baginya, hal ini cukup untuk memenuhi kebutuhan hariannya. Memancing di sebuah muara yang besar penuh dengan ketidakterdugaan. Ia hanya setitik kecil di muara itu. Ia melemparkan sedikit saja pancingan sambil berharap ikan besar menyantap kailnya.

Melemparkan kail ke muara yang besar dengan keyakinan akan ada ikan yang menyantapnya. Menarik tali kail ketika terasa ada getaran yang merambat lewat tangannya. Jika beruntung, ikan bisa ia dapatkan lalu ia simpan dalam keranjang. Ia tak terlalu pusing dengan ikan yang menyantap kailnya. Setiap kali ada gerakan pada kailnya, ia akan tarik dan ambil. Sesekali bukan ikan yang memakan umpan di kailnya, tapi kepiting kecil yang hidup di dasar muara. 

Semesta (gambar krayon by Ming Kry)
Kecewa, tentu saja ia merasakan kekecewaan saat diangkat bukan ikan. Sayangnya, ia bukan nelayan yang gampang menyerah. Dengan keyakinan yang sama, ia akan lemparkan lagi umpan yang baru.

Berapapun ikan yang ia dapatkan hari itu, selalu ia syukuri. Ia percaya ikan yang didapatkan hari itu adalah pemberian yang cukup dari semesta. Semesta tak pernah memberikan ikan yang berlebihan kepadanya. Hanya sifat manusia saja yang selalu merasa tidak cukup. Ia sadar tentang hal ini.

Hari memasuki sore, sinar matahari berubah menjadi kuning dengan perpaduan oranye. Panasnya mulai berubah menjadi hangat. Ia menengok ke keranjang ikan hasil pancingan. Cukup! Ia berkata untuk dirinya sendiri. Ia gulung benang kailnya kemudian beranjak pergi. Nelayan itu kemudian membereskan kail dan keranjangnya. Ia bergegas mengakhiri sore itu menuju rumahnya yang tidak jauh dari muara. Ada tugas semesta lainnya yang harus ia kerjakan.


Share:

Jumat, Maret 14, 2014

Pengembala Dan Kambingnya

Di pohon itu ia bersandar, hari ini matahari terasa sangat panas. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Ia bisa merasakan setiap perubahan alam yang tidak biasa. Sebuah anugerah bagi ia yang sering menguatkan perasaannya pada kejadian sehari-hari. Bagi beberapa orang bisa saja tidak terasa perubahan. Tetapi ia mampu merasakan bahwa matahari bersinar lebih terik siang itu. Bersandar sambil memandangi hamparan padang rumput yang luas adalah hal yang menyenangkan. Sambil mengamati kambing-kambing peliharaannya.

Pohon (iden wildensyah)
Ia sadar betul, kambing-kambing itu tak butuh untuk diamati terus untuk dikendalikan. Justru kekhawatirannya yang harus ia kendalikan. Khawatir yang sering muncul karena ketakutan datangnya harimau atau serigala yang akan memangsa kambing-kambingnya. Atau kambing-kambingnya yang pergi menjauhinya. Ia mencoba meraih lebih dalam, ia sadar ketakutan pada dirinya. Kekhawatiran yang muncul hanya karena ia tak mampu mengendalikan dirinya dengan baik.

Kekhawatiran itu muncul, ia berusaha melihat lebih luas tentang hukum alam. Hukum alam yang mengatur segala sesuatu yang ada di alam. Hujan yang bisa datang setelah musim kemarau, atau musim kemarau yang banyak menghilangkan rumput-rumputan untuk kambingnya. Tetapi setelah kehilangan itu, akan muncul lagi rumput baru untuk menggantikan rumput lama yang kering kerontang karena tak tahan terik matahari. 

Iapun melihat lebih jauh. Kekhawatiran kehilangan kambingnya justru akan membuat ia makin kehilangan akan kendali pada dirinya. Ia menjadi penakut. Untuk jadi pemberani, ia hilangkan segala ketakutan kehilangan itu. Bahwa segala sesuatu diatur oleh hukum alam yang adil, maka ia lebih nyaman untuk terus bersandar di bawah pohon itu. Ia tenang sampai akhirnya terlelap dengan nyaman sambil menunggu kambingnya yang terus makan rumput dengan asyiknya.  
Share:

Rabu, November 27, 2013

Kepada Hujan

Hujan telah bertahan berhari-hari, Tuhanku, dalam hatiku gersang. Kaki langit telanjang bulat tak ada selembar awan tipis pun menutupi, tak ada sekecil apa pun tanda-tanda akan datangnya hujan yang menyejukan. 1)
Mendung datang berlapis-lapis dan langit menjadi gelap. Ah, kekasih mengapa engkau biarkan aku sendirian menunggu di depan pintu? 2)
Hujan tumpah dengan deras dari langit, aku melihat dan tak mampu menghitung tetes demi tetes air yang turun melewati sirap. Barangkali aku tak memiliki cinta sebanyak curah hujan. Tapi tak bisakah aku diberi kesempatan?.
Ingin aku menjadi hujan yang tak pernah pamrih, yang menyirami bumi tanpa meminta imbalan.
Hujan, mestinya aku belajar darimu bagaimana caranya mencintai. 3)
Cinta adalah titik-titik hujan yang jatuh dari langit. Bunga bermekaran dan kupu-kupu menari-nari di sekelilingnya. Pelangi melengkung indah dan kamu berkecipak-kecipuk di tanah basah. 4)

Kepada hujan


1) Rabindranath Tagore, Gitanjali, kidung 40 hal 24.
2) Rabindranath Tagore, Gitanjali, kidung 18 hal 11.
3) Andrei Aksana, Kompas. 05 Okt 2009.
4) Clara Ng, ‘Melukis Cinta’. Hal 8.
Share:

Minggu, November 17, 2013

Lelaki Yang Dihentikan Hujan

Sore itu hujan di bulan November saat gemuruh dan kilat saling berlomba menuju pelataran toko. Lelaki muda dengan tas selempang dan sebungkus rokok berteduh di salahsatu sisi pertokoan sederhana. Sore itu harusnya bertemu dengan seorang perempuan, tapi malang harus batal karena hujan. Si pemuda tidak tampak gelisah, dia menyalakan sebatang rokok dari dari dalam bungkusan berwarna putih. Rokok masih tersisa 6 dari 12 batang sebelumnya. Sudah setengahnya pemuda itu menghabiskan rokok. Di tengah gemuruh dan hujan, udara memang terasa menjadi lebih dingin, pemuda itu menyalakan rokok untuk kesekian kalinya. Dia menengok sebentar ke samping kiri dan kanannya. Tidak ada yang berubah sejak pertama dia datang berteduh.

Pemuda itu berpikir bahwa perempuan yang sedang menunggunya akan marah karena terlambat datang menemui. Tapi pemuda itu tak peduli, dia menikmati waktu berteduh dengan rokok yang terus menempel di tangannya.

Seorang lelaki paruh baya tergopoh-gopoh menggapai tempat berteduh setelah turun dari kendaraan umum. Hujan bertambah deras. Beberapa orang memilih berteduh daripada beresiko sakit karena kehujanan. Lelaki paruh baya mendekati pemuda yang sedang merokok. Sejenak mereka berdua berbincang. Lelaki paruh baya begitu ramah menyapa setiap orang yang berteduh termasuk pemuda itu. Pemuda yang disapa berpikir bahwa lelaki paruh baya baik hati.

Hujan belum reda, yang terjadi malah bertambah deras. Lelaki paruh baya yang ramah dan pemuda yang angkuh itu melebur dalam sebuah percakapan. Mereka ngobrol dengan asiknya. Dari pembicaraan itu mereka menyadari tentang arti persahabatan. Lelaki paruh baya mengajarkan kearifan, pemuda itu murid yang sedang belajar kearifan. Jika sebuah keangkuhan sekarang menimpa dirinya, pemuda anggap sebagai proses melewati dinamika.
Lelaki paruh baya bercerita tentang seorang temannya ketika mereka masih sama sama muda. Persahabatan yang terus terbina sampai sore ketika hujan deras turun di kota itu. Sore ini mereka akan bertemu disalahsatu tempat. Sayangnya hujan menghentikan langkah lelaki paruh baya untuk menemui temannya.

Pemuda menyimak semua cerita dengan seksama. Ada raut kekaguman pada lelaki paruh baya di sampingnya. Obrolan mereka melupakan orang yang menunggu di tempat berbeda.
Di tempat yang lain, seorang perempuan menunggu gelisah kedatangan pemuda. Sudah hampir dua jam lelaki yang ditunggunya tidak memberi kabar. Kegelisahan makin menjadi karena hujan bertambah deras. Tidak bisa diam dengan tenang, perempuan itu tampak gusar. Saat pertemuan terakhir mereka di sebuah sudut perpustakaan yang menyenangkan kini mereka hendak bertemu untuk kesekian kalinya. Sama halnya dengan pertemuan sebelumnya, mereka hendak membahas sebuah buku serta menulis beberapa artikel.

Sore itu ketika hujan deras dan gemuruh semakin menjadi, pemuda dan perempuan itu hendak bertemu. Hujan menghentikan langkah pemuda dan membuat gusar perempuan yang menunggunya sekian lama. Hujan masih turun tetapi pertemuan itu belum juga terwujud.



Share:

Rabu, Juli 31, 2013

Kancil di Kebun Mentimun

Sekelompok kancil tampak bergembira. Mereka sedang berpesta makanan. Di kebun mentimun yang sedang ranum.
Mereka begitu riang karena mentimun sangat enak rasanya. Mereka memakan sepuas hati.
Petani datang ke kebun. Ia kaget banyak kancil di kebunnya. Pak Petani marah. Mentimunnya dimakan para kancil. Kancil berlari tunggang langgang. Pak petani mengusir kancil dari kebunnya. Pak Petani sedih karena mentimunnya dicuri kancil.
Kancil pergi menjauh dari kebun petani. Mereka senang karena tidak tertangkap Pak Petani. Tetapi ada kancil yang murung dan bersedih. Ia kasihan melihat Pak Petani tidak bisa makan mentimunnya karena dicuri teman-temannya.
Ia pun bertekad membantu Pak Petani menumbuhkan lagi mentimunnya. Peri baik hati datang menolong kancil yang bersedih. Ia menolong tapi dengan syarat harus dikerjakan pagi-pagi sebelum Pak Petani datang tanpa berbicara atau berbisik sekalipun kepada siapa saja yang bertanya tentang kegiatannya. Peri memberi kancil biji yang harus dirawat baik-baik dan ditumbuhkan.
Setiap pagi kancil menebar biji-biji itu di antara mentimun yang rusak. Sesaat sebelum Pak Petani datang, ia segera berlari ke hutan. Demikian dan seterusnya.
Pak Petani kaget saat melihat banyak tanaman baru muncul di antara mentimun yang rusak. Pak Petani senang karena kini banyak tanaman baru yang tumbuh. Kancil melihat dari jauh. Ia juga senang karena melihat Pak Petani tidak lagi bersedih hati.

Share:

Selasa, Mei 07, 2013

Antologi Cerpen Adam Panjalu

Saya menemukan nama sendiri di Antologi Cerpen Adam Panjalu, dan saya senang. Lebih senang lagi karena buku itu adalah sebentuk kreativitas guru-guru yang tergabung dalam klub menulis IGI. IGI adalah Ikatan Guru Indonesia, sebuah organisasi guru untuk semua guru di Indonesia. Di antologi cerpen ini terdapat  24 kisah yang inspiratif seputar cerita pendidikan. Kisah inspiratifnya bisa baca sendiri yah, saya hanya ingin melihat sisi lain dari sebuah proses menulis di buku ini.
Menulis, yah.. menulis cerita atau apapun itu adalah bentuk kreativitas ide yang menjadi karya. Menuliskan berarti mewujudkan sebuah gagasan atau ide. Jika sekedar dibicarakan, bisa menguap begitu saja dan sayang karena akan menghilang. Tetapi dengan menuliskannya, kita sudah menggoreskan tinta sejarah untuk masa yang akan datang. Lebih jauh, sebuah tulisan akan menginspirasi banyak orang untuk melakukan kebaikan.
Buku antologi cerpen Adam Panjalu ini sangat menarik karena berisi kisah-kisah inspiratif. Melalui pengantarnya, Yudistira Massardi mengatakan "Jika para guru sudah mau dan bisa menulis, berarti para muridnya akan terdorong untuk lebih maju, sekurang-kurangnya memiliki gairah untuk membaca dan menulis; berarti sebentar lagi kita akan memiliki generasi baru intelektual - seperti para intelektual Indonesia yang lahir menjelang dan setelah Sumpah Pemuda 1928; berarti Bahasa Indonesia juga akan semakin kuat terjaga. Karena, para guru yang menulis tentu akan menjaga kualitas bahasa dan idenya, dan memberikan contoh yang baik bagi muridnya"
Bennya Arnas, seorang peraih penghargaan karya fiksi juga menulis dijilid belakang buku ini "guru-guru seharusnya menulis, lebih-lebih bersastra karena akan mengasah kepekaan mereka pada hal-hal mikro dan memiliki cara pandang kreatif estetik dalam menghadapi rutinitas mendidik. Guru-guru kontributor Antologi Cerpen Adam Panjalu ini telah menunjukkan usaha mereka untuk mencoba atau bahkan mengakrabi sastra.
Satu hal yang memotivasi juga berasal dari salah seorang pengajar FIB UI, Maman S Mahayana yang menuliskan "percayalah, cerpen-cerpen dalam buku ini adalah representasi spirit guru yang tidak terkungkung oleh ruang kelas dan tembok sekolah. Mereka -guru-guru ini- hendak berbagi dengan masyarakat dan meluangkan pesan moral kepada masyarakat bangsa ini.
Nah, jadi saatnya sekarang memesan buku inspiratif ini untuk melihat sisi-sisi lain dari guru yang kreatif dan inovatif.

Judul Buku : Antologi Cerpen Adam Panjalu
Penulis  : Faradina Izdhihary, dkk.
Penerbit : Pustaka Nurul Haqqy
pemesanan ke nurulhaqqy.publishing@gmail.com
Share:

Postingan Populer