Jika menulis diibaratkan sebagai kehidupan, saya anggap itu bagian dari lomba marathon. Kehidupan terus berlangsung dan marathon pun tetap demikian. Terutama menulis dengan target. Misalnya membuat target atau diberi target untuk menulis sebanyak 30.000 kata dalam satu minggu. Yang menargetkan bisa diri sendiri, bisa juga orang lain.
Dengan target itu, saya melihat seperti garis finish untuk satu tahap ini. Setelah itu kemudian berlari lagi, ada jeda sejenak iya! saat kehilangan ide, saat mandeg, dan saat-saat yang tidak terduga karena merasa lelah setelah berlari.
Terasa banget saat menggenjot pemikiran untuk menuangkannya dalam minimal 1.000 kata. Badan terkuras karena energi menulis begitu kuat untuk dituangkan. Badan berasa hilang beberapa kilo karena pikiran sedang berusaha keras menarik semua simpanan memori-memori dalam pengalaman atau bacaan yang sudah dicerna sebelumnya. Di titik ini saya benar-benar bersyukur dan memahami sebuah ungkapan "kualitas buku bacaanmu menentukan kualitas tulisanmu". Begitu juga jalan-jalan atau travelling ke berbagai tempat, saya bersyukur dengan kesenangan itu karena memberi banyak referensi untuk menulis.
Dengan kondisi ini pula, ada benarnya bahwa menulis itu membutuhkan stamina. Katanya, penulis profesional itu tidak tergantung stamina, mood, dan keadaan. Dalam kondisi apapun, seorang penulis tidak boleh mengeluh. Persis seperti senior yang selalu mengatakan "Jangan mengeluh, Tuan!"'
Sebuah hal yang sangat menyenangkan saat saya berhasil membuat satu tulisan, bahkan tulisan inipun benar-benar saya syukuri karena masih bisa menuangkan sebuah rasa dan ide yang melayang-layang di udara.
Jika menulis adalah kehidupan, maka inilah saatnya memberi makna pada setiap jejak yang kita jalani setiap hari.
Dengan target itu, saya melihat seperti garis finish untuk satu tahap ini. Setelah itu kemudian berlari lagi, ada jeda sejenak iya! saat kehilangan ide, saat mandeg, dan saat-saat yang tidak terduga karena merasa lelah setelah berlari.
Terasa banget saat menggenjot pemikiran untuk menuangkannya dalam minimal 1.000 kata. Badan terkuras karena energi menulis begitu kuat untuk dituangkan. Badan berasa hilang beberapa kilo karena pikiran sedang berusaha keras menarik semua simpanan memori-memori dalam pengalaman atau bacaan yang sudah dicerna sebelumnya. Di titik ini saya benar-benar bersyukur dan memahami sebuah ungkapan "kualitas buku bacaanmu menentukan kualitas tulisanmu". Begitu juga jalan-jalan atau travelling ke berbagai tempat, saya bersyukur dengan kesenangan itu karena memberi banyak referensi untuk menulis.
Dengan kondisi ini pula, ada benarnya bahwa menulis itu membutuhkan stamina. Katanya, penulis profesional itu tidak tergantung stamina, mood, dan keadaan. Dalam kondisi apapun, seorang penulis tidak boleh mengeluh. Persis seperti senior yang selalu mengatakan "Jangan mengeluh, Tuan!"'
Sebuah hal yang sangat menyenangkan saat saya berhasil membuat satu tulisan, bahkan tulisan inipun benar-benar saya syukuri karena masih bisa menuangkan sebuah rasa dan ide yang melayang-layang di udara.
Jika menulis adalah kehidupan, maka inilah saatnya memberi makna pada setiap jejak yang kita jalani setiap hari.