Jalan raya selayaknya digunakan untuk kepentingan umum dengan dana
pembangunan yang mahal. Dari mulai pembangunan konstruksi jalan raya
hingga pemeliharaannya, jalan sangat besar memakan dana operasional.
Sekedar menambal-nambal saja, bisa jadi proyek puluhan bahkan ratusan
juta rupiah. Itu wajar dan selayaknya demikian. Tetapi jika ada jalan
yang setiap bulan rusak terus menerus diganti dan diganti maka itu
menjadi sangat spesial.
|
Jalan Rusak Braga (foto Tiari Pratiwi Hutami) |
Datanglah ke Jalan Braga, jalan yang fenomenal karena mengalami masa
keemasan pada jaman Hindi Belanda. Jalan spesial yang mengingatkan pada
sebuah kota di Eropa. Jalan yang dulunya terbatas hanya untuk
orang-orang Belanda. Jalan Braga yang ingin catat sebagai jalan termahal
bukan karena nama jalan dan aset yang ada di dalamnya. Tetapi
konstruksinya yang tidak kenal lelah butuh pemeliharaan.
Jalan Braga diganti dengan batu andesit sekitar 2 tahun yang lalu. Saat
itu ide-nya agar suasana jalan Braga kembali ke masa lalu. Batu andesit
ditata sedemikian rupa sehingga menjadi jalan raya yang menggambarkan
masa lalu. Sungguh sebuah jalan yang mengingatkan pada masa keemasan
Jalan Braga.
Tetapi sangat disayangkan, belum genap satu tahun konstruksi jalan
tersebut sudah berantakan. Rusak parah dimana-mana. Batu pecah,
bergeser, berlubang, dll. Walikota kemudian menginstruksikan agar
diperbaiki, jalan bragapun diperbaiki pada sisi-sisi yang mengalami
kerusakan. Tetapi kemudian terus menerus dan seterusnya Jalan Braga
tidak pernah membaik. Bahkan sampai catatan ini saya tulis, Jalan Braga
tetap saja rusak dibeberapa titik. Saya sebut saja jalan termahal di
Bandung.
Dasar argumentasinya begini, bayangkan jika harus setiap bulan
memperbaiki jalan. Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli
material batu andesit, semen, pasir, dll. Kemudian berapa biaya yang
dikeluarkan untuk membayar upah pekerja. Dalam satu jalan saja bisa
menghabiskan puluhan juta rupiah. Sementara jalan yang lain, simpel
saja.Cukup dengan di beton (jika konstruksi bawahnya sering berlubang
karena gerusan air) kemudian lapisi dengan aspal dan ting tong… Jalan
raya bisa digunakan semua masyarakat. Tidak usah beberapa kali melakukan
perbaikan dengan mengangkat beton dan aspalnya. Simpel bukan?
Kebijakan penggantian jalan aspal dengan batu andesit menurut saya
menunjukan perencana tidak bisa berpikir holistik, universal, dan
terintegrasi dengan pihak lain. Misalnya begini, perencana tidak
menghitung berapa kekuatan batu andesit jika terkena beban kendaraan
roda 2, mobil roda 4, roda 6, dll. Kemudian tidak dipikirkan jauh-jauh
dampaknya bila Braga diganti dengan batu andesit, dampak ekonomi,
sosial, budaya, dan lingkungan. Coba kalau dihitung efektivitasnya
dengan membandingkan jalan tersebut dengan jalan konstruksi aspal. Saya
yakin lebih efektif jalan aspal karena pemeliharaannya tidak serumit
sekarang. Oh iya, perencana mungkin lupa bahwa dahulu kala waktu jaman
Hindia Belanda boleh saja batu andesit menjadi pilihan terbaik karena
kendaraannya masih Kuda, Delman, dll. Tetapi sekarang hmmmm anak kecil
saja sudah tahu, kendaraan itu sudah jarang melewati Jalan Braga.
Kemudian berkembang wacana tentang melarang kendaraan bermotor lewat
jalan braga. Saya sih senang-senang saja, jalan braga jadi lebih lengang
dan bebas polusi. Tetapi sampai sekarang saat saya menulis ini, belum
pernah ada larangan mobil masuk Braga. Hanya Bus dan Truk yang dilarang
masuk Jalan Braga.
Nah, itulah jalan termahal di Bandung. Hmmm bisa jadi mungkin termahal
di Indonesia karena biaya pemeliharaan lebih besar dibanding jalan-jalan
lainnya. Kita perlu kritisi karena sumber dana setiap proyek pemerintah
untuk sarana dan prasarana umum kalau bukan dari pinjaman luar negeri
adalah pajak yang kita bayar.