Tuntas sudah saya melakukan perjalanan darat dari Anyer menuju Panarukan yang berakhir pada tahun 1809. Sebuah perjalanan yang menguak sejarah genosida di Pulau Jawa semasa Maarschalk en Gouvernuer Generaal, Mr. Herman Willem Daendels.
Saya melakukan perjalanan jauh itu tentu saja tidak menembus ruang dan waktu lampau, saya melakukan perjalanan melalui sebuah buku berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels karya Pramoedya Ananta Toer yang ditulis pada tahun 1995 dan dicetak pertamakali sepuluh tahun kemudian yaitu tahun 2005.
Lewat buku ini saya belajar tentang daerah-daerah yang dilewati sewaktu proyek pelebaran jalan dari Anyer di Ujung Jawa Barat (Banten sekarang) sampai Panarukan di ujung Jawa Timur. Tentang sejarah kerajaan, tentang lika-liku adat istiadat serta kehidupan masyarakatnya.
Sebuah buku adalah sebuah kesaksian. Dan buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels adalah kesaksian tentang peristiwa genosida kemanusiaan paling mengerikan di balik pembangunan Jalan Raya Pos, jalan yang membentang 1000 kilometer. Inilah satu dari beberapa kisah tragedi kerjapaksa terbesar sepanjang sejarah di Tanah Hindia.
Membaca buku ini seperti diajak jalan-jalan menyusuri sejarah pada masa silam. Setiap daerah yang dilewati memberikan kesan tersendiri bagi saya. Bandung misalnya, di Kota ini Daendels pernah berkata ''Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd'' (usahakan bila aku datang lagi ke sini telah dibangun sebuah kota. Lalu ia menusukkan tongkat kayu ke tanah. Tempat menusukkan tongkat itulah yang kemudian menjadi titik nol kilometer Kota Bandung.
Daendels adalah penganut cita-cita Revolusi Perancis: ''Kemerdekaan, persamaan, persaudaraan''. Ia pun percaya bahwa ''segenap manusia dilahirkan sebagai mahluk merdeka dan mempunyai hak yang sama''. Tapi sebagai penguasa, dari seorang revolusioner ia menjadi seorang diktator yang bengis.
Pramoedya Ananta Toer lewat buku ini menuturkan sisi paling kelam dalam pembangunan jalan yang beraspalkan darah dan airmata manusia-manusia Pribumi. Pemeriksaan yang cukup detail dan bercorak tuturan perjalanan ini, membiakkan sebauh ingatan satire, bahwa kita adalah bangsa yang kaya tapi lemah. Bangsa yang sejak lama bermental diperintah oleh bangsa-bangsa lain.
0 komentar:
Posting Komentar