Ruang Sederhana Berbagi

Minggu, Agustus 12, 2012

Mawar Untukku

Di sebuah desa terpencil nun jauh di pelosok. Tiga orang sahabat bercengkrama dengan akrabnya. Seperti melepas kerinduan setelah lama tak bersua. Seorang di antara mereka adalah aku.

Summer Village illustration painting (http://www.wallcoo.net)

“Hahahahahahahahahaha… kemana aja kawan, rasanya sangat kangen dengan candaan ini. Lama nian kita tak berjumpa. Banyak kali kau cerita. Hebat… Hebat, senang rasanya bisa jumpa sama kau” Joni tertawa dengan lepasnya. Terbahak-bahak seperti baru saja mendengar lawakan radio.
“Hahahahahaha.. itulah kenapa aku sangat kangen ketemu kau, sekedar bercanda dan bicarain si Mawar yang semakin hari semakin cantik aja. Hahahahahaha” Dodo ikut tertawa sambil tak lupa menyebutkan nama seorang perempuan.
“Ahahahaha, jadi.. kau masih naksir sama si Mawar lha?” Aku ikut nimbrung mengejar candaan  Dodo.
“Hahhh masih lupa kau, si Mawar itu pujaan hatiku, takkan kubiarkan lelaki lain merebutnya dariku” Kata Dodo.
“Ah kau, masih saja kayak dulu. Emang si Mawar suka sama kau?” Tanyaku
“Bah… mana mungkin si Mawar nolak aku, aku ini raja kecil desa! semua permintaan si Mawar bisa kupenuhi. Tak percaya kau?” kata Dodo.
“Dodo, kau ini ngacalah sana di pinggir sungai, lihat muka kau itu tak pantas buat si Mawar, pantasnya kau buat pengawal saja hahahahahahaha” Kata Joni sambil terbahak-bahak setengah mengejek Dodo.
“Dodo, kau rupanya tak sadar juga… keluarga si Mawar itu tak mungkin nerima kau” Kataku ikut terbahak.
“Eh kau kampret berdua, kau belum tahu berapa besar cintaku pada si Mawar?” Dodo bertanya.
“Hahahahaha…Emang berapa kau mau berikan cinta buat si Mawar?” Kataku terbahak.
“Cintaku pada si Mawar besar banget, bahkan mati pun aku akan susul itu si Mawar, aku dan si Mawar itu bagai Romeo dan Juliet, hah!” Kata Dodo.
“Romeo Juliet!” Kata Joni keheranan.
“Siapa itu?” Kataku tidak kalah heran.
“Nah, makanya itulah… Kau kau ini jangan menyepelekan cintaku pada si Mawar. Seperti Romeo dan Juliet yang terus bersama sampai mati” Kata Dodo menjelaskan.
“Ohhhhhh” Kami berdua ternganga mendengar Dodo menjelaskan.
“OOOOOO…Tutup mulut kau kau berdua, lalat masuk tuh” Kata Dodo.
“Gimana ceritanya si Romeo dan Juliet itu Do” Tanyaku pada Dodo.
“Alaaaaah, udah waktunya pulang tuh matahari udah tenggelam, tar kuceritakan kisah si Romeo. Tapi kau harus tahu yah, pokoknya si Mawar untuk aku” Kata Dodo.
Share:

Kamis, Juli 12, 2012

Sore Sepulang dari Sawah

Sore hari menjelang malam saat berjalan di pematang sawah saat hendak menuju rumah, tiba-tiba seseorang memanggil “Hei, kemana aja? Kok baru ketemu sih”. Sejenak, langkahku terhenti oleh suara yang tidak asing bagiku. Setengah kaget kubalikkan badan, ”eh kamu, ada aja gak kemana-mana” Jawabku.
“Gak kemana-mana kok baru kelihatan?” Tanya dia terus memburu memecah keheningan sawah dan sore yang berwarna kuning. Matahari terasa hangat, tidak seterik siang tadi ketika bermain lumpur, mencangkul untuk menyiapkan musim tanam baru. Musim kemarau sebentar lagi berganti musim hujan. Itu berarti aku harus bersiap-siap menggarap sawah ini.
“Oh, kemarin satu bulan aku di ladang, menjaga kebun dan beberapa bibit pohon kelapa dari serangan celeng” Jawabku berharap tidak banyak lagi pertanyaan dari dia.
“Wah, kalau begitu banyak singkong dong di rumahmu?” Dia masih bertanya tentang tanaman yang tiga bulan lalu aku tanam bersama dia di ladang itu. “Banyak banget engga sih, sekedar buat makanan pagi dan sore aja”. Sore dan pagi jika tidak ke sawah atau ladang, mengukus singkong atau membakar singkong yang kemudian di cocol ke gula aren yang diiris kecil-kecil. Hidangan ini juga menjadi awal sebelum kami bergegas ke surau untuk mengaji di surau Pak Ustadz.
Kami terus berjalan beriringan karena pematang sawah itu tidak cukup bagi kami untuk berjalan berdampingan.
“Eh, datang ke surau ntar malam yah” Ajak dia meyakinkan aku untuk datang di pengajian malam. “Lha, sejak kapan aku tidak ikut pengajian?” Kataku balik bertanya. “Engga sih, aku cuma ingin meyakinkan saja”.
Pematang sawah sudah menemui ujungnya, sebuah jalan desa dengan kerikil kecil dan besar yang ditata agar delman tidak ambles saat melewati jalan tersebut. Jalan itupun menjadi akhir bagi kami untuk melewatkan sore sebelum bersiap ke surau. Dia berbelok ke kanan menuju rumahnya sementara aku berbelok sebaliknya. Sore sebentar lagi berganti, matahari sudah menghilang di balik bukit. Desa sudah mulai temaram oleh lampu obor anak-anak kecil yang hendak ke surau. Inilah sore saat terakhir aku kaget bertemu sosok yang misterius.
Share:

Minggu, Juni 24, 2012

Memoar Sang Guru

Menulis adalah sesuatu yang menyenangkan. Ada kebanggaan saat ide sudah mewujud karya. Ide yang terserak kemudian secara sistematis dikeluarkan melalui tulisan.
Cerpen atau cerita pendek adalah genre yang menarik untuk dicoba. Tantangan menulis cerpen berbeda dengan tantangan menulis artikel. Cerpen butuh sentuhan imajinasi dan emosi, yang menarik lagi adalah mencari penutup atau ending dari cerita yang dibuat. Pesan, tentu saja penting. Tapi yang terpenting juga adalah LAKUKAN SEKARANG!
Ini ajakan menarik dari Eko Prasetyo, menulis Antologi Memoar Sang Guru dan Cerpen Pendidikan


Share:

Minggu, Juni 17, 2012

Penjelasan Tuhan Sekali Jalan

Setelah membaca buku pertama Paul Arden tentang “Think The Opposite“, saya penasaran dengan buku kedua dia tentang Tuhan. Saya ingin mengetahui penjelasan Tuhan oleh Paul Arden yang cukup dengan satu kali perjalanan saja. Kesampingkan dulu sisi subjektif dalam membaca buku dia, resapi dengan penuh pemikiran yang objektif. Dia akan menjungkirbalikan anda sebelum membangkitkan kembali keingintahuan kanak-kanak di dalam syaraf-syaraf anda yang terlalu dewasa.
Buku ini tidak setebal Sejarah Tuhan karya Karen Amstorng, sebuah buku yang menyimpulkan bahwa pengertian tentang Tuhan berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan di antara agama-agama yang kelihatannya saling bertentangan dan saling menyerang, seperti Yahudi, Kristen, Katholik, dan Islam (walaupun mempunyai akar yang sama –Abraham), mereka mengalami sejenis “evolusi” pengertian yang sangat mirip. Bahkan dalam Islam yang menganut dengan keras Keesaan Tuhan kadang-kadang muncul pemahaman-pemahaman baru yang bernada-nada trinitas. Manusia dengan segala akal dan daya upaya berusaha mendekati realita ini. Apakah dengan menganggapnya personal, atau sebagai suatu energi yang memancar dan menguasai, atau bahkan ada tidak mau menganggapnya sebagai sesuatu.
TUHAN, satu kata yang sampai sekarang terus mempengaruhi setiap orang. Sejak adanya alam semesta, kata ini terus menggaung di setiap peradaban manusia dalam berbagai nama. Bahkan usaha-usaha untuk meniadakan arti keberadaan-Nya pun sebenarnya secara tidak sadar merupakan bentuk pengakuan akan kehadiran-Nya.
God Explained in Taxi Ride adalah salah satu buku dari penulis yang memiliki pemikiran brilian, nakal, memesona, tempramental dan benar-benar tak terduga. Dari awal Membaca daftar isi buku, kadang-kadang senyum menggelitik. Ada daftar jalur cepat memahami Tuhan. Belum lagi lembaran pertama, dikejutkan, jika kita sedang tak punya waktu, silahkan langsung ke halaman 96. Pada halaman tersebut ditemukan tulisan besar; Jadi, apakah Tuhan itu ada? Jika Tuhan itu ada, dimana Anda bisa menemukannya? Saya menemukannya di sini! Penulis menyebutkan sebuah alamat, mungkin tempat tinggalnya. Kembali penulis menyentak pertanyaan, bermain gambar-gambar, lalu bertanya: Apakah matahari diciptakan tanpa disengaja? Apakah menurutmu matahari hanya tipuan cahaya? Apakah menurutmu mahatari hanya sebuah kebetulan? Kalau iya, berikan pengertian sebuah kebetulan.
Evolusi, takdir, penciptaan, kebetulan. Kita bisa menyebutnya apa saja. Semua itu adalah kata-kata yang kita gunakan untuk menjelaskan hal yang sama. Keberadaan tuhan. Benarlah! Tuhan adalah nama yang kita berikan untuk kekuatan yang ada di balik penciptaan. Itulah yang dipercayai. Jadi, saya percaya Tuhan. Jika kau tak percaya, perjalanan kita berakhir sampai di sini.
Yang menarik bagi saya selain pemaparannya yang to the point serta ilustrasi yang nakal, ada satu halaman yang menggelitik: TUHAN MENOLONG ORANG YANG BERUSAHA MENOLONG DIRINYA SENDIRI/ Kita adalah Tuhan/ Kita terbuat dari zat yang sama dengan zat pembentuk alam semesta/ jadi, ketika kita berdoa, kita juga berdoa kepada diri sendiri./ini bukan soal doa/ ini tentang mengingingkan/ Jika kita mendoakan banyak hal sepintas lalu, doa kita tidak akan terkabul karena kita tidak sungguh-sungguh menginginkan/ Jika kita berdoa dengan tekun dan sabar untuk satu hal, kita seringkali memperoleh apa yang kita inginkan. (hal 44). Hal ini yang menjadi alasan menurut dia mengapa penganut kepercayaan pada zaman dahulu sebenarnya tidak primitif. Walaupun mereka punya banyak dewa tetapi ketika mereka menginginkan sesuatu mereka fokus pada satu dewa, contohnya mereka menginginkan hujan, mereka meminta dewa hujan. Mereka sakit perut, mereka meminta dewa sakit untuk menyembuhkannya. mereka berbicara kepada Tuhan melalui hal-hal yang mereka pahami.
Tentu nilai-nilai kebaikan juga yang saya garis bawahi, buku ini berisi kebaikan kalau dibaca dengan objektif. Sebagian menyebut buku ini sebagai buku motivasi, saya lebih suka menyebutnya sebagai buku spiritual, buku yang menumbuhkan semangat untuk percaya bahwa semua aktifitas kita selalu berhubungan dengan Tuhan. Tuhan Yang Maha Besar, Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang jika lautan jadi tinta tidak akan cukup untuk menuliskan kasih sayangNya.
“Tuhanku Yang Maha Baik, saya percaya benih kebaikan akan menghasilkan buah kebaikan. Saya bersyukur padaMu Yang Maha Bijaksana”
Share:

Jumat, Mei 25, 2012

Bioskop dan Peradaban

Bioskop Bandung (haridodi.blogspot.co)
Peradaban memiliki berbagai arti dalam kaitannya dengan masyarakat manusia. Seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk pada suatu masyarakat yang “kompleks”: dicirikan oleh praktik dalam pertanian, hasil karya dan pemukiman, berbanding dengan budaya lain, anggota-anggota sebuah peradaban akan disusun dalam beragam pembagian kerja yang rumit dalam struktur hierarki sosial.

Diskusi ini sebenarnya perbincangan biasa saja antara saya dengan seorang teman di sore menjelang pulang. Pemikiran dia lumayan menarik, ketertarikan saya berawal dari penelitian dia tentang Bandung pada tahun 1907 sampai 1920-an. Saya memancing dengan mencari alasan realitas saat ini. Misalnya apakah pada waktu itu warga kota sudah tergerus hedonisme? Jawabannya sangat mencengangkan. Yah!

Jaman itu memang Belanda masih di Indonesia, tetapi gaya hidup sudah mulai menjalari warga pribumi yang ada di sekitarnya. Warga yang hidup pada jaman itu mulai tergerus modernisme dengan menanggalkan cara-cara tradisional dalam bertindak, bergaya pakaian, berbicara, dan lain-lain. Modernisme dibawa dengan pemutaran film. Film sangat fenomenal karena mampu mengubah segala bentuk tradisionalisme menjadi bentuk modernisme. Industriawan mengenalkannya dalam bentuk pembangunan gedung-gedung bioskop di berbagai sudut kota. Tentu saja dengan pengkastaan antara pribumi dan non pribumi.

Kesenian tradisional mulai tersingkirkan oleh industri film. Film kemudian membawa gaya hidup, cara berpakaian, dan gaya-gaya lainnya yang diterima sangat cepat oleh penonton pada saat itu. Terpenting bukan saja gaya hidup yang menjadi berubah tetapi pola pikir yang mulai meninggalkan tradisi yang berkembang pada waktu itu. Jalan ke bioskop adalah sesuatu yang keren, tak peduli film apa yang ditonton, yang penting pergi ke bioskop. Kongkow-kongkow dan memberikan cerita film bagi mereka yang belum menonton film adalah sesuatu yang keren. Terbayang memang keren, karena media belum sekencang sekarang.

Kongkow ke bioskop itulah yang menjadi masalah ketika intinya bukan lagi menonton. Yang penting pergi ke bioskop tak penting filmnya apapun.

Lalu, apa hubungannya dengan peradaban? Film membawa informasi tentang kemajuan teknologi dan pesatnya industri di barat. Stereotif bahwa barat paling maju dan timur terbelakang menjadi sangat kental. Berlomba-lombalah kemudian untuk menjadikan dirinya sebagai bentuk kemajuan industri barat. Stereotif ini kemudian sedikit demi sedikit menyingkirkan kebaya, iket, yang berganti menjadi celana jeans, topi, dll. Kebaya, iket berarti ketinggalan jaman.
Share:

Kamis, Mei 24, 2012

Wisata Bahari Selatan Garut

Pantai Manalusu (dok.iden wildensyah)
Indonesia adalah negara kepulauan, sebagian besar wilayahnya adalah lautan. Laut adalah potensi besar yang bisa menjadi andalan negara Indonesia, kekayaan lautan belum banyak dieksplorasi. Hasil lautan masih belum menjadi andalan dibanding dengan potensi kekayaan alam yang ada didarat.

Berbekal keingintahuan tentang lautan di Garut Selatan, saya menghabiskan waktu liburan lebaran dengan mengunjungi beberapa titik lokasi wisata di Garut Selatan itu. Menyusuri jalur selatan, melewati perkebunan karet menjadi satu paket perjalanan.

Jalur wisata bahari di Garut Selatan ternyata banyak, kalau menyisir dari arah Cipatujah, Tasik, yang pertama kali akan ditemui adalah Cagar Alam Sancang yang terkenal dengan keangkeran dan bantengnya. Sancang dipenuhi dengan mitos dan kepercayaan, sebelum masuk hutan sancang harus ada ritual-ritual agar selamat. Biasanya ritual ini diserahkan kepada Juru Kunci, kewajiban sebagai pendatang sebelum masuk Sancang berarti mendatangi Juru Kunci.

Setelah Sancang, tempat wisata selanjutnya adalah Cijeruk. Sebuah muara yang juga disebut Cibaluk karena sungainya bernama Cibaluk. Wisata disini tak kalah menariknya dengan Sancang, bedanya hanya tidak perlu mendatangi Juru Kunci.

Selanjutnya adalah Karang Paranje, namanya karang berarti keras dan panas. Benar saja, karang paranje adalah semacam karang yang membentengi daratan. Deburan ombak menghantam karang sangat keras, buih putihnya sangat indah tetapi membahayakan. Tak terbayangkan kalau terjerembab diantara karang-karang yang tajam dan keras. Jika saja warga sekitar karang paranje sama dengan warga di Bali, bisa jadi tepat diatas karang mungkin akan dibangun Pura. Muaranya juga indah, airnya hangat banyak yang menghabiskan waktu dengan berenang.

Tempat wisata bahari lainnya yang tak kalah menarik masih banyak, seperti Taman Manalusu, gunung geder, karang papak dll. Saya menuliskan sedikit saja, terpenting dari semua ini adalah potensi wisata bahari menyimpan banyak hal yang menarik. Asal dikelola dengan baik, saya yakin wisata bahari bisa menjadi alternatif sumber pendapatan daerah. (Iden Wildensyah)
Share:

Rabu, Mei 09, 2012

Curug Neglasari di Garut Selatan

Pernah mendengar lirik lagu Sheila On 7 yang berjudul Yang Terlewatkan? Ini bukan tentang lirik itu, catatan ini tentang sebuah Curug Neglasari yang sering terlewatkan.
Curug Neglasari (dok.iden wildensyah)

Dikagumi dari jauh tetapi untuk menjangkaunya, rasanya jarang orang ataupun para wisatawan yang mampir sejenak menengok dari dekat Curug Neglasari ini. Curug ini terletak di tengah perjalanan antara Garut Kota ke arah selatan menuju Pameungpeuk, Jawa Barat.
Panorama keindahan Curug Neglasari ini terletak pada lokasi, perkebunan teh serta udara yang sejuk. Dari arah Garut kurang lebih menghabiskan waktu 3 jam, ketika memasuki daerah Neglasari setelah Gunung Gelap. Gunung Gelap sendiri adalah hutan yang masih alami walaupun sudah ada banyak daerah-daerah pemukiman tetapi sangat lebat pepohonannya.

Dalam cerita orang sekitar, Gunung Gelap dinamai seperti nama peristiwa alam yang terjadi, gelap dalam bahasa sudan berarti kilat atau petir. Gunung Gelap sewaktu pembuatan jalan terjadi petir yang dahsyat sampai bisa melemparkan pekerja ke atas pohon. Di luar benar atau salah, saya terima saja kisah itu.

Balik lagi ke Curug Neglasari, curug ini tidak pernah menyusut airnya. Sekalipun kemarau tetap saja ada air yang mengalir di curug tersebut. Yang membedakannya hanya volume air. Sangat kontras jika sedang musim hujan dan musim kemarau.
 

Curug Neglasari dari pandangan jauh (dok.iden wildensyah)
Saya mengunjungi Curug Neglasari ini ketika hujan, dari kejauhan saja airnya sangat besar.
Yang terlewatkan, demikianlah saya menyebutnya hanya karena sering dikagumi tetapi jarang dikunjungi. Dikagumi oleh para pengendara yang lewat Neglasari menuju Pameungpeuk atau dari arah sebaliknya menuju Garut. (Iden Wildensyah)
Share:

Sabtu, Mei 05, 2012

Jalan Termahal di Kota Bandung

Jalan raya selayaknya digunakan untuk kepentingan umum dengan dana pembangunan yang mahal. Dari mulai pembangunan konstruksi jalan raya hingga pemeliharaannya, jalan sangat besar memakan dana operasional. Sekedar menambal-nambal saja, bisa jadi proyek puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Itu wajar dan selayaknya demikian. Tetapi jika ada jalan yang setiap bulan rusak terus menerus diganti dan diganti maka itu menjadi sangat spesial.
Jalan Rusak Braga (foto Tiari Pratiwi Hutami)
Datanglah ke Jalan Braga, jalan yang fenomenal karena mengalami masa keemasan pada jaman Hindi Belanda. Jalan spesial yang mengingatkan pada sebuah kota di Eropa. Jalan yang dulunya terbatas hanya untuk orang-orang Belanda. Jalan Braga yang ingin catat sebagai jalan termahal bukan karena nama jalan dan aset yang ada di dalamnya. Tetapi konstruksinya yang tidak kenal lelah butuh pemeliharaan.
Jalan Braga diganti dengan batu andesit sekitar 2 tahun yang lalu. Saat itu ide-nya agar suasana jalan Braga kembali ke masa lalu. Batu andesit ditata sedemikian rupa sehingga menjadi jalan raya yang menggambarkan masa lalu. Sungguh sebuah jalan yang mengingatkan pada masa keemasan Jalan Braga.
Tetapi sangat disayangkan, belum genap satu tahun konstruksi jalan tersebut sudah berantakan. Rusak parah dimana-mana. Batu pecah, bergeser, berlubang, dll. Walikota kemudian menginstruksikan agar diperbaiki, jalan bragapun diperbaiki pada sisi-sisi yang mengalami kerusakan. Tetapi kemudian terus menerus dan seterusnya Jalan Braga tidak pernah membaik. Bahkan sampai catatan ini saya tulis, Jalan Braga tetap saja rusak dibeberapa titik. Saya sebut saja jalan termahal di Bandung.
Dasar argumentasinya begini, bayangkan jika harus setiap bulan memperbaiki jalan. Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli material batu andesit, semen, pasir, dll. Kemudian berapa biaya yang dikeluarkan untuk membayar upah pekerja. Dalam satu jalan saja bisa menghabiskan puluhan juta rupiah. Sementara jalan yang lain, simpel saja.Cukup dengan di beton (jika konstruksi bawahnya sering berlubang karena gerusan air) kemudian lapisi dengan aspal dan ting tong… Jalan raya bisa digunakan semua masyarakat. Tidak usah beberapa kali melakukan perbaikan dengan mengangkat beton dan aspalnya. Simpel bukan?
Kebijakan penggantian jalan aspal dengan batu andesit menurut saya menunjukan perencana tidak bisa berpikir holistik, universal, dan terintegrasi dengan pihak lain. Misalnya begini, perencana tidak menghitung berapa kekuatan batu andesit jika terkena beban kendaraan roda 2, mobil roda 4, roda 6, dll. Kemudian tidak dipikirkan jauh-jauh dampaknya bila Braga diganti dengan batu andesit, dampak ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Coba kalau dihitung efektivitasnya dengan membandingkan jalan tersebut dengan jalan konstruksi aspal. Saya yakin lebih efektif jalan aspal karena pemeliharaannya tidak serumit sekarang. Oh iya, perencana mungkin lupa bahwa dahulu kala waktu jaman Hindia Belanda boleh saja batu andesit menjadi pilihan terbaik karena kendaraannya masih Kuda, Delman, dll. Tetapi sekarang hmmmm anak kecil saja sudah tahu, kendaraan itu sudah jarang melewati Jalan Braga.
Kemudian berkembang wacana tentang melarang kendaraan bermotor lewat jalan braga. Saya sih senang-senang saja, jalan braga jadi lebih lengang dan bebas polusi. Tetapi sampai sekarang saat saya menulis ini, belum pernah ada larangan mobil masuk Braga. Hanya Bus dan Truk yang dilarang masuk Jalan Braga.
Nah, itulah jalan termahal di Bandung. Hmmm bisa jadi mungkin termahal di Indonesia karena biaya pemeliharaan lebih besar dibanding jalan-jalan lainnya. Kita perlu kritisi karena sumber dana setiap proyek pemerintah untuk sarana dan prasarana umum kalau bukan dari pinjaman luar negeri adalah pajak yang kita bayar.
Share:

Rabu, Mei 02, 2012

Keliling Sumatra

Selalu menarik ketika membaca kisah perjalanan. Saya menyukainya karena dengan membaca kisah perjalanan, saya dibawa pada tempat-tempat menarik yang belum saya kunjungi. Beberapa tempat yang sudah dikunjungipun tetap akan menarik karena kita akan melihat dari sisi yang lain.
Saya suka membaca kisah perjalanan, sebut saja kisah perjalanan Marco Polo keliling dunia. Setiap dinamika yang terjadi disebuah tempat pasti akan diceritakan. Pun dengan kisah Deandels sewaktu menggarap proyek Anyer-Panarukan yang dikisahkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Setiap tempat punya kisah yang berbeda, setiap tempat punya catatan yang berbeda. Setiap tempat memberikan banyak catatan yang menarik bagi siapa saja yang merekamnya dalam tulisan.
Tempat yang menarik tentu saja akan membawa cerita yang menarik juga. Ujung-ujungnya seperti ada magnet yang membawa ke tempat tersebut. Rasa penasaran yang akan muncul kemudian membawanya pergi ke tempat yang dimaksud dalam bacaan tersebut. Tidak mungkin tercatat jika tempat itu biasa-biasa saja.
Ary Amhir sudah membawa saya jalan-jalan keliling Sumatra selama 30 hari. Selama 30 hari itu banyak dinamika yang menarik. Misalnya ketika dia mengunjungi sebuah tempat di Padang, lalu kisah penyair Amir Hamzah dikesultanan langkat yang meninggal oleh revolusi rakyat. Kemudian juga saat mengunjungi Kota Medan. Ary menceritakan dengan baik saat mengunjungi tempat salah satu Taipan besar Medan yaitu Tjong A Fie.
Medan dalam catatan Ary Amhir sangat unik dan menarik. Saat Ary mengunjungi kuil ditengah kota, kemudian kawasan India yang mengingatkannya pada sebuah tempat di Malaysia. Suasana beragam penuh dinamika yang menarik untuk dinikmati.
Dalam buku ini Ary juga bercerita yang dalam kamus saya seperti tips bagi siapa saja yang mau berpetualang dengan modal yang cukup tetapi tidak begitu mewah. Cukup untuk makan, nginap, dan ongkos naik angkutan. Tips terbaik yang saya dapatkan misalnya untuk menginap, cari losmen murah atau penginapan murah, terbaik lagi adalah cari warnet 24 jam. Online semalam, sewa dalam paket 12 jam atau perkirakan sampai pagi siap pergi lagi. Untuk makan, cari warung kopi, ganjal dengan makanan yang ada di warung tersebut. Dijamin tidak akan terlalu mahal. Bonusnya adalah cerita, kita akan diberikan cerita menarik oleh abang di warung atau juga pengunjung.
Saya salut dengan Ary Amhir, karya buku ini menunjukan kekuatan kreatifitasnya yang berbeda. Sangat menarik untuk menyimak karya Ari selanjutnya.

Share:

Postingan Populer