Sepakbola adalah tontonan yang menarik di dunia, begitupula di Indonesia tidak peduli bagaimana susahnya mengatur olahraga yang satu ini. Karena bagi masyarakat, sepakbola adalah olah raga yang mengasikan dilihat. Kehilangan tontonan ini tentu saja akan disayangkan oleh banyak pihak. Sepakbola, selain permainan kolektif yang melibatkan banyak orang (11 orang juga sebuah organisasi) tidak lepas juga dari sistem yang lain. Diluar permainan, ada sebuah organisasi yang mengatur.
Persepakbolaan Indonesia berada dibawah payung organisasi bernama PSSI. Sebagai organisasi sepakbola tertinggi PSSI mengeluarkan regulasi yang mengatur masalah-masalah seputar sepakbola di Indonesia. Sebagai organisasi PSSI juga bagian dari AFC (Asia Football Confederation) di Asia dan FIFA (Federation International de Football Asosiation) sebagai lembaga organisasi sepakbola dunia. Salah satu implementasi kepatuhan PSSI terhadap AFC adalah Liga Super yang berbeda dengan Liga sebelumnya. Liga Super dilaksanakan dengan satu wilayah saja, berbeda dengan liga-liga sebelumnya yang pernah dibuat dalam format dua wilayah yaitu wilayah barat dan wilayah Timur bahkan pernah dibuat format tiga wilayah dengan memasukkan wilayah tengah.
Disinilah mulai muncul masalah bagi kebanyak klub peserta Liga Super. Masalah klasik itu bernama dana, sangat rasional memang jika banyak klub yang menjerit dengan kebijakan ini. Ekses dari menggelembungnya biaya akomodasi untuk melakukan pertandingan tandang. Bayangkan saja jika setiap pertandingan yang harus digelar di luar pulau, perjalanannya dipastikan menggunakkan pesawat terbang. Pengecualian untuk klub yang satu pulau yang bisa ditempuh melalui perjalanan darat.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di Asia, luas wilayah Indonesia sekitar 1.919.440 Km2, bandingkan dengan negara lain yang rata-rata tidak memiliki wilayah seluas Indonesia. Jepang (377.835 Km2), Korea (98.480 Km2) dan Thailand (514.000 Km2) memang tidak bisa dibandingkan dengan Indonesia karena secara infrastruktur, ketiga negara tersebut sudah lebih maju. Untuk menuju kota satu menuju kota lainnya cukup dengan perjalanan darat kereta api, atau bus. Sementara Indonesia, dengan wilayah terluas di Asia Tenggara harus selalu melewati laut untuk bisa sampai ke pulau lainnya.
Melihat kondisi geografis ini idealnya liga di Indonesia menggunakan format lama yang sudah dilaksanakan sebelumnya, dua wilayah atau tiga wilayah. Tidak perlu memaksakan untuk satu wilayah jika memberatkan akomodasi maupun infrastruktur, hanya saja masalahnya posisi tawar Indonesia di AFC tidak kuat sehingga kebijakan membuat format Liga dalam satu wilayah diambil. Rasional memang, kalau kebijakan itu tidak diambil maka klub peserta Liga Indonesia tidak bisa bersaing di Liga Champion Asia diambil. Kalau tidak bertanding di Liga Champion Asia (LCA), kita tidak bisa mengukur keberhasilan klub di ajang yang bergengsi tinggi.
Lebih jauh lagi, iklim bisnis di Indonesia masih belum menyentuh sepakbola. Sepakbola belum dianggap sebagai lahan industri yang bisa menghasilkan keuntungan besar. Bandingkan dengan kondisi di Liga Premier Inggris atau di Liga Calcio Italia dimana sepakbola sudah menjadi industri yang mengejar keuntungan, kebijakan klub berarti keuntungan dan prestasi. Artinya ada hubungan yang signifikan antara prestasi dengan keuntungan, semakin berprestasi sebuah klub, semakin untung perusahan pengelolanya.
Nah, saya berpikir bahwa bagaimanapun sepakbola Indonesia adalah aset bangsa, kemajuan sepakbola Indonesia bisa mengangkat posisi tawar Indonesia di mata sepakbola dunia. Tentunya hal ini bisa terjadi jika mampu membuat prestasi gemilang di kancah yang lebih besar. Permulaaan itu dari Liga Indonesia, maka kebijakan yang harus diambil adalah membuat klub peserta Liga lebih mandiri, selanjutnya memikirkan kembali untuk membuat format yang sesuai dengan kondisi geografis Indonesia agar tidak banyak klub yang kesulitan dana karena akomodasi.