Ruang Sederhana Berbagi

Kamis, November 22, 2012

Manajemen Konflik

Di pelataran sekretariat himpunan mahasiswa berkumpul beberapa orang yang sedang asyik berbincang. Dengan ditemani kopi, teh manis, dan alunan gitar yang dibawakan seorang mahasiswa, sore hari adalah saat yang menyenangkan bagi mereka. Seolah menyegarkan suasana perkuliahan yang kaku, dosen yang monoton, dan kampus yang sama kakunya. Mereka dinamis, banyak sekali kreativitas yang muncul dari mereka, seperti even-even pagelaran seni tingkat fakultas, jurusan, kota, bahkan nasional pernah mereka kerjakan bersama-sama.
Seolah terspesialisasi cara kerja mereka membuat kegiatan, ada yang sangat bagus saat merancang dan membuat pamflet, baligho, spanduk, dan berbagai publikasi lainnya. Ada yang pandai menyusun acara, ada yang pandai melobi. Pokoknya mereka sangat baik dalam membuat kegiatan.
Sore itu berkumpul dengan akrab. Di sebuah bangku panjang dan meja kecil, mereka berkumpul.
John yang baru datang kemudian bertanya kepada salah satu dari mereka. John terkenal sebagai ketua pelaksana. Seolah tercetak dalam dirinya bahwa dia spesialisasi ketua pelaksana. Bawaannya yang tegas, cukup untuk mendidik para 'kroco' (sebutan untuk anak baru yang digabungkan untuk magang). Para kroco selalu siap sedia untuk melakukan apapun yang dilakukan kakak-kakak mahasiswa.
John bertanya "Bro, gimana ketemu dekan besok sudah kau siapkan presentasinya?"
Doni yang ditanya langsung menjawab "lho bukannya ketemu dekan baru bisa dilakukan minggu depan?" 
"Besok, bro. Masa kamu tidak melihat schedule yang kita buat?" Tanya John.
"Engga, engga.. ini ada yang salah" Jawab Doni.
"Makanya, lu lihat lagi deh schedule!" Kata John.
"Gua pegang schedule tiap hari, bro" Jawab Doni.
"Coba kau lihat!" Perintah John
Sejenak kemudian Doni pergi meninggalkan teman-temannya yang sedang berkumpul di pelataran itu.
"Hei, lu udah bikinin kopi buat si John belum" Kata Luki kepada salah satu kroco yang ikut nongkrong.
"Iya, Bang. Sebentar aku bikinin" Kata salah satu kroco yang kemudian disusul kroco lainnya dengan sigap pergi meninggalkan tongkrongan untuk membuatkan kopi.
Setelah beberapa saat, muncullah Doni dengan muka panik.
"Bro, gua salah. Lu bener, besok kita ketemu Dekan" Kata Doni yang ketakutan kena damprat John.
"Ah lu, gimana sih kerja gak bener, schedule itu penting, bro. Lu jangan sampai besok gak ada lagi yah, lu sih pacaran mulu sama anak baru. Pokoknya besok gua gak mau tahu, presentasi harus udah dibikin. Lu yang presentasi dan gua yang melobi agar perijinan turun hari itu juga!" John tegas dan panjang lebar menjelaskan kepada Doni.
"Iya, bro. Gua salah. Ntar malam gua bikin presentasi, pokoknya besok sudah siap" Jawab Doni.
"Sip, itu baru bertanggungjawab namanya, gua senang kerja sama lu"John memuji kawannya. 
Seiring kemudian, kroco mahasiswa magang yang membuat kopi sudah datang. Mereka pun melanjutkan sore yang ceria, melanjutkan keriangan suasana berorganisasi dengan menyenangkan.
Manajemen konflik selanjutnya bisa dilihat di sini



Share:

Minggu, November 18, 2012

Rungkad

13532515261329052128Kamari poho cai can dikocorkan ka kamalir sawah, atuh eta sawah digirang rungkad galenganna, Kapanggih poe isukan, dibejaan ku Mang Juned yen galengan sawah kuring nu lebah kaler kudu digancang diomean bisi kaburu banjir deui. Mang Juned geus ngabejaan tilu poe katukang perkara sawah di Ciburahol teh. Ngan dasar sok diengke-engke. Atuh pas hujan badag peuting tadi, galengan rungkad. Mang Entis rek dibejaan tapi keur euweuh di imah. Bejana mah keur di pasir, ngahuma. Hayangna mah harita keneh kuring indit nyusul ka huma, tapi euweuh kuda. Kabeh keur dipake bapa indit ka dayeuh. Bapa kuring tea teu bisa dicaram lamun geus aya kahayang indit ka dayeuh, hayang neangan bako palembang cenah. Bako ti kebon geus beak. Bapa indit naek si jalu. Si jalu kuduna aya ayeuna. Nya atuh galengan nu rungkad teh can bisa diomean da euweuh si jalu.
Share:

Minggu, Oktober 21, 2012

Gunung Padang Sambil Membayangkan 80 Hari Keliling Dunia


Melewati banyak desa dan pengalaman selama perjalanan ke Gunung Padang. Dari arah yang berbeda ternyata lebih mengasyikkan, terdapat banyak kelok-kelok yang sayang jika dilewatkan.
Subuh setelah sholat saya meluncur ke Stasiun Bandung. Hari masih gelap dan dingin menusuk kulit. Dengan sepeda motor ku pacu kecepatan tinggi berharap tidak ketinggalan kereta api. Maklum, semalan saya tidak mencari jadwal keberangkatan kereta. Berharap improvisasi saja, dalam benak berpikir “Kalau milik pasti dapat kereta api”. Tujuannya tidak jauh, hanya menuju Padalarang. Tetapi dari Padalarang itu yang penting, Cianjur. Yah.. kereta api tujuan Cianjur adalah target pagi itu. Ingin mengulang kembali memori dulu saat menggunakan kereta api jurusan Bandung Cianjur.
Bersama seorang teman yang terlambat datang, kami merencanakan perjalanan ke Gunung Padang. Gunung Padang menjadi sangat terkenal karena terdapat Situs Megalitikum yang pernah menjadi bahasan menarik di beberapa media masa local maupun nasional.
Pagi itu cuaca sedikit mendung, kereta api tujuan Padalarang sudah lewat. Terpaksa saya menunggu sambil berpikir rencana kemudian setelah terlambat menggunakan kereta api tujuan Padalarang. Teman saya yang datang terlambat tiba pukul 07.00 berarti jika menunggu kereta api selanjutnya masih ada satu jam lagi sementara kereta api tujuan Cianjur berangkat pukul 8.30. Jika kereta tujuan Padalarang datang lagi pukul 8.45 berarti kami terlambat dan pupus sudah rencana ke Gunung Padang hari itu.
Beruntung, ada sepeda motor yang saya  parkir di stasiun. Dengan motor itu berangkatlah kami menuju Stasiun Padalarang. Sampai di Stasiun Padalarang pukul 8.00, kereta api tujuan Cianjur masih terparkir dengan nyaman. Dua gerbong yang akan membawa kami sudah banyak diisi penumpang yang hendak menuju Cianjur. Stasiun tampak lengang pagi itu, waktu luang sebelum berangkat kami gunakan untuk mencari sarapan. Surabi dan bandros adalah pilihan yang tepat. Sambil merasakan suasana pagi sebuah pasar dan stasiun, kami sarapan.
Kereta api tujuan Cianjur berangkat tepat pukul 8.30, di dalamnya sudah ada banyak penumpang dan tentu saja pengamen. Pengamen di kereta ekonomi adalah hal yang lumrah, untuk itu selalu sediakan uang recehan untuk kami bagikan pada mereka. Kereta berjalan perlahan dari stasiun ke stasiun lainnya. Berkelok-kelok melewati bukit di Padalarang kemudian lurus ketika sampai di daerah Rajamandala. Melewati Ciranjang kemudian sampailah di Cianjur pada pukul 10.30. Di setiap stasiun pemberhentian ramai penumpang naik turun. Dengan ongkos Rp 1.500 tentu sangat murah jika dibanding naik kendaraan umum Cianjur-Ciranjang. Ongkos Rp 1.500 kemudian akan berubah menjadi Rp10.000 mulai April 2012. Ini menjadi keluhan sendiri, seperti keluhannya seorang penumpang yang duduk di depan kami. “Ongkos Rp 10.000 nanti mah jadi berat atuh, padahal saya teh sudah sering naik kereta ini tiap hari”. Dengan logat sunda yang khas.
Cianjur dan Kenangan
Sesampainya di Cianjur, cuaca sangat cerah. Dingin udara Cianjur mengingatkan memori pada 14 tahun lalu saat bersekolah di SMUN 2 Cianjur. Saya mengingat saat naik kereta menuju Bandung, mengingat angkot-angkot yang bersuliweran dengan warna merah dominan dan pelat berwarna-warni di bawahnya. Saya ingat 02B jurusan Kubangsari. Dan juga mengingat sebuah patung ayam pelung yang selalu dilewati setelah pulang sekolah.
Dari Cianjur, perjalanan selanjutnya menuju Gekbrong. Naik angkot warna putih dengan ongkos Rp 4.000. Sepanjang perjalanan saya melihat setiap sudut kota yang terlewati. Banyak sisi-sisi yang menarik di Kota Cianjur, sayangnya perjalanan kali ini tujuannya adalah Gunung Padang. Kurang lebih 1 jam dalam angkot, sampailah di Gekbrong. Berdasarkan petunjuk teman, dari Gekbrong kami harus naik jurusan Sukaraja yang berwarna biru dan turun di Sukalarang. Sukalarang terkenal karena ada patung harimau. Ternyata tidak sampai 30 menit, Sukalarang sudah di depan. Tepat di patung harimau, kami berhenti.
Perjalanan di lanjutkan dengan naik angkot menuju Tegal Panjang. Salah satu teman saya sudah menunggu di Tegal Panjang untuk membawa kami ke Gunung Padang dari jalur berbeda. Perut yang lapar membuat kami berhenti untuk mengisi dulu perut sambil bertanya angkutan yang akan menuju ke Tegal Panjang. Seperti biasa, jika bertanya dengan akrab jawaban umum selalu “Ah.. sudah dekat Gunung Padang mah”. Jawaban itu membuat kami lega.
Sampai di Tegal Panjang pukul 12.00, saat itu hujan mulai turun dengan derasnya. Hujan sempat membuat kami sedikit pesimis bisa melanjutkan perjalanan ke Gunung Padang. Bersyukur, hujan ternyata datang sebentar saja, matahari muncul menyinari Tegal Panjang yang baru saja di guyur hujan. Cerah memberikan harapan pada kami untuk kembali melanjutkan perjalanan. Cerah berarti perjalanan dilanjutkan.
Dengan ditemani dua orang dari Tegal Panjang, kami melanjutkan perjalanan menggunakan sepeda motor. Salah seorang pengantar kami adalah petugas Kecamatan Cireungas. Kecamatan Cireungas terletak di antara dua bukit dengan hamparan sawah dan sungai yang bersih. Di Cireungas juga terdapat lintasan kereta api jurusan Sukabumi-Bandung. Sayangnya setelah terowongan Lampegan mengalami keruntuhan saat gempa, jalur tersebut nyaris belum dilewati lagi oleh kereta api.
Di Cireungas, selain mengunjungi kantor kecamatan, kami juga mengunjungi rumah kepala stasiun. Rumah tersebut adalah peninggalan Belanda yang selesai dibangun tahun 1942. Bangunan tersebut menunjukkan kekhasan arsitektur Belanda, dengan plafond yang tinggi dan jendela yang tinggi pula. Kokohnya bangunan terlihat dari kayu-kayu yang masih utuh walaupun sudah berumur 70 tahun. Dari rumah kepala stasiun itu, kami di ajak melihat Stasiun Cireungas. Dulu ketika kereta api masih beroperasi antara Bandung-Sukabumi, banyak penduduk Cireungas yang menggunakannya untuk bepergian ke Sukabumi, baik itu belanja atau sekolah. Bahkan yang menariknya, kereta api yang membawa penduduk tersebut, bisa berhenti selain di stasiun. Membayangkan kereta bisa berhenti di mana saja, sangat mengagumkan seperti kembali ke masa lalu.
Setelah bercengkrama di rumah Belanda, perjalanan selanjutnya adalah Gunung Padang. Ini yang ditunggu-tunggu. Setelah melewati jalan aspal, jalanan berbatu menghadang kami di depan. Melewati Gunung Rosa yang katanya mengandung emas, kemudian berbelok ke arah Campaka. Campaka adalah perkebunan teh di bawah PTPN. Memasuki perkebunan teh yang hijau, jalanan yang bergelombang, dan udara yang sejuk. Ini perjalanan paling mengasyikkan. Melihat penduduk yang sedang beraktivitas sore-sore dan anak-anak muda yang bermain bola. Campaka adalah wilayah Cianjur sementara kami memasuki Campaka dari arah Sukabumi.
Passepartout dan Phileas Fogg (Arround The World in 80 Days)
Gunung Padang
Penunjuk arah ke Situs Megalitikum Gunung Padang sudah tampak, dari kebun teh jaraknya hanya tinggal 2 Km. Itu berarti sebentar lagi kami sampai. Jalur ke Gunung Padang dari arah Cianjur sudah bisa dilewati dengan berbagai jenis kendaraan. Walaupun jalurnya sudah baik tetapi tetap saja disarankan menggunakan jenis kendaraan tinggi, untuk menghindari titik-titik jalan yang masih berlubang. Tempat parkir di kawasan Gunung Padang sudah tertata dengan baik. Penduduk mengatakan hal ini berkat dukungan Wakil Gubernur Jawa Barat.
Gunung Padang saat kami daki sedang cerah, sore hari yang hangat dengan sedikit sinar matahari. Beberapa kepercayaan yang muncul di sana dan menarik kami coba adalah menghitung tangga, mengangkat salah satu batu di atas. Batu tersebut katanya sangat berat dan tidak semua orang bisa mengangkatnya. Saya tentu saja penasaran.
Kepenasaran pertama adalah hitungan tangga yang tidak akan sama antar satu sama lain. Ini benar, dan saya sudah membuktikannya. Secara logika sangat sulit misalnya dengan jalur yang tinggi, butuh konsenstrasi dan juga kekuatan fisik melawan lelah mendaki gunung. Hal ini berbeda dengan mengangkat batu di atas undakan ke 4. Saya berhasil, karena diberikan teknik-tekniknya oleh Pak Oban, salah seorang guide yang sedang menunggu di atas gunung.
Gunung Pada terdiri dari lima undakan, dengan batu-batu yang semua bersisi lima. Gunung Padang juga menghadap ke lima gunung yang ada. Lima menjadi misteri dan sangat menarik untuk di kaji. Di atas undakan pertama, kita akan melihat dua buah batu yang mengeluarkan bunyi gamelan jika di pukul. Di undakan ke tiga kita bisa melihat tapak harimau dan tapak kujang. Kujang adalah senjata khas masyarakat sunda. Tapak harimau di salah satu batu, di yakini sebagai tapak Prabu Siliwangi.
Selesai mengambil dokumentasi dan mendengar penjelasan dari Pak Oban, karena rintik-rintik hujan mulai turun, kami bergegas ke bawah. Hujan pun turun menyiram Gunung Padang dan sekitarnya. Sambil menunggu hujan berhenti, kami singgah di warung masyarakat setempat sambil menikmati kopi.
Gunung Padang kami tinggalkan setelah hujan reda, hari sudah menjelang malam. Perjalanan kami akhiri dengan naik angkot menuju Sukaraja. Dari Sukaraja selanjutnya kami gunakan bis jurusan Sukabumi-Bandung. Ini menjadi hari yang menyenangkan. Gunung Padang memberikan banyak pelajaran bagi kami.
Gunung Padang yang memberikan banyak pelajaran bagi kami!



Share:

Sabtu, Oktober 20, 2012

Guru Inspiratif


Thank you for playing Mr. Dalton. I stand upon my desk to remind myself that we must constantly look at things in a different way (John Keating)
Dead Poets Society (splashnology.com)
Apa yang dirasakan setelah menonton film ini? Sebuah kekaguman, inspirasi, dan ketakjuban pada sosok guru bernama John Keating. Pelajaran penting yang saya dapatkan dari dia adalah selalu kreatif melihat segala sesuatu. Bahkan kalau perlu, tatanan konvensional harus didobrak untuk melihat sisi lain yang menarik.
John Keating bagi saya memberikan referensi tentang cara mengajar yang kreatif, menginspirasi murid dengan berbagai cara. Catat menginspirasi, guru selayaknya demikian. Persis seperti yang dilakukan oleh John Keating yaitu menginspirasi. Dari hal-hal sederhana yang biasa dilakukan murid-murid sampai hal-hal yang diluar kebiasaan murid. Inilah sejatinya guru yang menginspirasi.
Guru yang menginspirasi lebih ‘kena’ daripada sekedar mengantarkan materi saja. Menginspirasi murid berawal dari guru yang inspiratif. Guru dan murid saling menginspirasi, murid ke guru dan guru ke murid. Demikian seterusnya, saling menginspirasi satu sama lain. Jika ini terjadi, saya yakin cita-cita belajar menyenangkan sepanjang hayat akan terus berjalan dengan lancar. Hambatan akan dijadikan inspirasi untuk terus belajar dan belajar.(Iden Wildensyah)
Share:

Kamis, Oktober 18, 2012

Tangkap!

Ingat lagu, hap hap hap.. tangkap! Ini bukan tentang lagu ini, ini tentang menangkap makna kemudian merefleksikannya sebagai sebuah catatan dari setiap diskusi menarik. Diskusi bersama banyak orang tentang berkegiatan dalam kelas. 

Romantic Scene of the Seasons (wallcoo.net

Menangkap rasa. Rasa adalah hal penting yang harus diasah selama berinteraksi dengan anak-anak. Rasa menimbulkan kepekaan, dengan kepekaan ini sedikit demi sedikit kita belajar memahami anak. Saat anak antusias berkegiatan atau saat anak ternyata kurang antusias. Dengan terus diasah dalam bentuk diskusi dan pengalaman langsung, kepekaan ini menjadi modal untuk kita dalam mengolah kegiatan di kelas.  
Selanjutnya adalah Menangkap keberhasilan kecil dalam mengelola kegiatan. Semakin terbukanya diskusi tentang keberhasilan setiap kakak dalam mengelola kegiatan kelas, semakin termotivasi untuk menangkap segala sesuatu yang terjadi selama berkegiatan. Ini menjadi sangat penting bagi kita untuk mencari dan menangkap sisi-sisi lain dari pengamatan kelas. Kita juga mempunyai catatan untuk diskusi dengan partner tentang kegiatan yang sudah dilaksanakan atau akan dilaksanakan. 
Kemudian yang menarik juga yaitu Tukar pengalaman dan ide dalam berinteraksi. Dari tukar pengalaman ini, kita bisa menangkap banyak pembelajaran dari pengalaman kakak-kakak yang mengelola kegiatan dengan baik terutama saat berinteraksi dengan anak. Ide-ide ini menjadi referensi bagi kita ketika kita berada dalam kondisi yang sama. Misalnya melihat pengalaman kakak saat mengondisikan anak yang aktif . Tukar ide lainnya misalnya tentang berkarya dan melihat hal-hal kecil yang luput dari arahan. Ide-ide berkarya menjadi sangat penting karena bisa menjadi bahan menarik untuk pembelajaran anak. [iden wildensyah]

Share:

Rabu, Oktober 17, 2012

Oh Bahaya!

Suatu kali Abah Iwan (Iwan Abdurahman) di acara pesta kejutan berbungkus seminar menyampaikan satu hal yang menarik. "Oh, Bahaya?!" Dalam tulisan mungkin jadinya ada dua tanda, tanda tanya dan tanda seru. Menandakan keheranan dan pertanyaan.
Ekspedisi Garis Depan Nusantara (92pulau.org)
Abah bercerita tentang pengalaman para pengarung samudera dalam ekspedisi garis depan nusantara. Mereka berhasil mengarungi samudera dengan perahu. Tentu saja dengan perahu bukan yang lain. Tetapi yang spesialnya adalah perahunya, perahu tak bercaping. Perahu sederhana yang katanya sering digunakan nelayan biasa untuk melaut.
Saat ekspedisi sudah berhasil, beberapa orang dari kelautan yang entah itu militer laut, dinas laut, atau yang ahli bertualang di laut kemudian bilang "Hebat benar kalian, dengan perahu ini berhasil menyelesaikan ekpsedisi"
Di jawab sama mereka "Memangnya kenapa?"
Kemudian mereka menjelaskan "Perahu ini terlalu sederhana untuk mengarungi lautan. Ini BAHAYA!"
Jawaban para pengarung yang mengesankan "Oh, bahaya?!"
Coba kita renungkan! Apa dibalik makna "Oh, bahaya?!"


Share:

Selasa, Oktober 16, 2012

Jalan Samurai

“Jalan samurai itu tidak saja sulit tetapi juga suci dan mulia. Setiap hari seorang samurai harus berperang melawan diri sendiri demi mencapai kesempurnaan, sekaligus mengetahui bahwa ia juga akan gagal. Setiap malam, seorang samurai harus beristirahat dalam rangka memperbaharui perjuangannya keesokan pagi. Di atas itu semua, seorang samurai harus belajar patuh. Kewajiban utamanya adalah pengabdian tanpa ragu kepada tuannya, sampai pada taraf di mana ia bersedia mengorbankan nyawanya jika itu yang diminta darinya” (Kapten Muraki kepada Jimmu hal 96)
Samurai (http://tonvanalebeek.deviantart.com)
“Bicaramu kekanak-kanakan, Bocah. Kau tak menyadari betapa beruntungnya dirimu. Kebanyakan orang menjalani kehidupan yang tak terarah ataupun bermakna. Sementara kau punya tujuan, kau tahu kenapa kau hidup di bumi, dan apa yang harus kau lakukan. Pegang terus tujuan itu. Tanpanya, kau hanyalah putra seorang pengkhianat dan gelandangan” (Nichiren kepada Jimmu hal 114)
Selalu menarik kalau membaca buku-buku atau novel cerita timur oleh pengarang barat, sebelumnya saya pernah membaca buku Carole Wilkinson yang berjudul Dragon Keeper. Berbeda dengan cerita Carole Wilkinson, saya membaca novel berjudul “The Way of The Warrior” karangan Andrew Matthews. Pada mulanya saya menganggap ceritanya biasa saja seputar kisah heroik samurai Jepang. Tokoh utama Shimomura Jimmu kehilangan segalanya ketika sang ayah melakukan seppuku akibat dipermalukan oleh Choju Ankan. Ia pun melatih diri sebagai samurai agar dapat membalaskan dendam sang ayah serta memulihkan nama baik keluarganya. Berlatar belakang kehidupan di Jepang pada abad ke-16, buku ini bercerita tentang loyalitas dan pengkhianatan, masa lalu serta ramalan di masa depan, dan jalan hidup seorang samurai.
Dengan modal keahliannya bertarung, Jimmu bertekad menemukan Lord Ankan dan menyamar sebagai samurai yang ingin mengabdi kepada Lord Ankan. Jimmu diterima menjadi penjaga kastil Mitsukage keluarga Choju Ankan dan mulai membuat perencanaan untuk mengintai mangsanya. Ia sudah mempersiapkan segalanya, mempelajari tata letak kastil dan menyelidiki keadaan.
Setelah membaca novel ini saya menemukan banyak yang sangat berarti tentang jalan hidup menjadi seorang ksatria. Pelajaran penting tentang kesabaran, keteguhan dan keberanian. Novel ini menarik bukan saja karena sarat dengan nilai-nilai itu, tetapi kejutan yang tiba-tiba saja muncul dan memberikan perspektif lain dalam memandang budaya Jepang ”Seppuku” dalam pandangan orang barat. Intrik drama juga ada, jadi pada saat tertentu saya begitu terlarut di dalam kancah pertarungan, tetapi pada sesi yang lain saya tersenyum-senyum membaca novel ini.

Share:

Minggu, Oktober 14, 2012

Mencangkul

Pagi masih menyisakan dingin, tubuh Lutika masih berbalut baju hangat dan sarung. Teman-temannya belum datang di ladang tempat mereka bermain. Dia melihat seekor semut yang tersesat di antara gerombolan semut lainnya.
"Hei, kenapa kamu sendirian, teman-temanmu ada di sana?" Lutika berkata ke semut yang menurutnya sendirian terpisah dari teman-temannya. Dia kemudian menggunakan jarinya untuk menuntun semut menuju teman-temannya. 

Romantic Scene of the Seasons (http://www.wallcoo.net)

"Nih, di sini, kamu bisa bareng lagi sama temanmu" Lutika menunjukkan iringan semut. "Kasihan kamu, semoga kamu bisa main lagi sama temanmu, yah! Kata Lutika pada semut yang dia perhatikan.
Dizidu kemudian datang, setelah menyimpan bekalnya di saung, Dizidu kemudian menghampiri Lutika.
"Hei, kamu lagi ngapain Lutika?" Dizidu bertanya pada Lutika.
"Aku lagi lihat semut yang tertinggal. Tuh, sekarang sudah main dan ikut lagi teman-temannya" Kata Lutika.
"Kamu, kok cemberut?" Tanya Lutika.
"Aku sedih, aku gak suka Tuan Lekabu" Kata Dizidu.
"Emang kenapa, Tuan Lekabu bikin kamu marah lagi?" Tanya Lutika.
"Iya, kemarin aku dimarahin, aku gak tahu kenapa aku dimarahin" Kata Dizidu.
"Aku, juga gak suka sama Tuan Lebaku" Kata Lutika.
"Kenapa" Giliran Dizidu yang bertanya.
"Tuan Lekabu itu, gak adil. Dia bilang aku suka marah, gak bisa ngendaliin emosi, padahal Tuan Lekabu yang sebenarnya gak bisa ngendaliin emosi" Kata Lutika menahan nafas yang memburu seperti menyimpan sesuatu di dadanya.
"Wah, kalau begitu, kita sama. Aku gak suka saat Tuan Lekabu. Apalagi kalau di ladang ini sedang menjelaskan cara-cara mencangkul" Kata Dizidu.
"Emang kenapa?" Tanya Lutika.
"Dia kasar, sepertinya dia sedang punya masalah dengan dirinya" Kata Dizidu.
"Kalau begitu, kita harus bilang padanya kita gak suka kalau Tuan Lekabu marah" Kata Lutika.
"Ah percuma, paling juga kita berdua yang akan balik dimarahi"Kata Dizidu.
Saat mereka berbincang, Tuan Lekabu datang. "Hei, kalian pasti sedang membicarakan aku?" Kata Tuan Lekabu setengah mengancam dengan gerakan tubuh yang mengintimidasi dua anak kecil.
"Enggak, kok. Iya kan Dizidu" Kata Lutika penuh isyarat ke Dizidu. Dizidu yang terdiam oleh intimidasi Tuan Lekabu kemudian berkata.
"Iya, eng...enggak, kita sedang lihat semut ini nih!" Kata Dizidu.
"Oh, kalau begitu, mana teman-temanmu? kok belum pada datang?" Tanya Tuan Lekabu.
"Mereka belum datang, Tuan. Mungkin kuda yang mereka tunggangi masih dikandangkan orang tua mereka" Kata Dizidu.
"Atau mungkin mereka sedang menyiram tanaman di halaman rumahnya" Kata Lutika.
"Ya sudah, kita mulai saja belajar mencangkul hari ini" Tuan Lutika mengajak mereka mulai belajar.
Dizidu dan Lutika sejenak beradu pandang. Mencangkul adalah kegiatan yang membuat Tuan Lutika cepat marah."Aku gak mau belajar mencangkul sama Tuan! Tuan suka marah kalau sedang mengajarku mencangkul" Gerutu Lutika dalam hati.
Mereka mencangkul dengan sesuatu dihatinya masing-masing. Mereka menyerap hal yang tidak bisa dilihat mata. Mereka bisa tahu hal yang sebenarnya terjadi pada Tuan Lekabu.   
Share:

Sabtu, Oktober 13, 2012

Secerah #hariceria

Yipiii.. akhirnya mendapatkan secerah hari ini! bisa banyak cerita-cerita lagi, bisa banyak menulis-nulis lagi.
Menulis karena aku butuh belajar terus! dan inilah si #hariceria
Share:

Postingan Populer