Bila membanding masalah lingkungan dengan masalah sosial,
rasanya orang lebih tertarik untuk menelaah, mengikuti sampai ikut-ikutan
menganalisis masalah sosial dari pada masalah-masalah lingkungan hidup. Bila
dilihat unsur kedekatan, sebetulnya masalah lingkungan hidup itu lebih dekat
dari pada masalah sosial semacam kesenjangan sosial, kemiskinan atau kelaparan.
Hal ini karena hampir kebanyakan titik masalah sosial sedikit banyak berawal
dari masalah lingkungan hidup.
Ambilah salah satu contohnya masalah sampah, masalah sampah
berkaitan dengan masalah perilaku dan kepedulian untuk menjaga kebersihan
lingkungan sekitar. Dari masalah sampah ini bisa timbul masalah yang lebih
besar lagi semacam masalah banjir. Masalah air, akan berkaitan erat dengan
kesenjangan sosial lalu mengerucut pada masalah konservasi sumber daya air,
lahan dan daerah resapan. Keterkaitan satu sama lain dari masalah lingkungan
ini dikarenakan masalah lingkungan adalah masalah bersama dalam satu lingkaran
ekologi, ketika salah satu komponen ekologi terganggu, maka dalam satu
lingkaran tersebut akan terkena dampaknya.
Menyangkut masalah lingkungan ini, terutama kaitannya dengan
sumber daya air. Beberapa pekan yang lalu media massa hangat membicarakan
Kawasan Bandung Utara oleh semua stake holders yang peduli lingkungan, NGO,
legislatif, eksekutif dan masyarakat. Secara umum keterkaitan isu lingkungan di
sana adalah dampak pembangunan yang tidak bisa dibeli dengan uang. Ambilah
salah satu contohnya kasus bila kita kekurangan air karena cadangan air tanah
sudah semakin berkurang. Sejauh ini, dampak lingkungan akibat pembangunan yang
merugikan masyarakat belum bisa digantikan dengan uang.
Ketersediaan lahan dengan kualitas lingkungan berbanding
lurus. Coba bandingkan antara kawasan yang penuh dengan pepohonan dengan
kawasan yang jarang pepohonan. Akan tampak jelas sekali perbedaan kualitas
diantara keduanya. Hal ini dipengaruhi oleh interaksi simbiosis mutualisme
antara pepohonan dengan lingkungan sekitar, manusia salah satu contohnya. Dari
proses fotosintesis akan tampak jelas hubungan positif tersebut, pohon
melepaskan O2 yang dibutuhkan manusia untuk bernafas dan manusia melepaskan CO2
yang berguna bagi proses fotosintesis tersebut.
Banyaknya ruang terbuka hijau memungkinkan mahluk hidup
dalam lingkaran ekologi untuk hidup dengan kualitas lingkungan yang sehat.
Sebaliknya sedikitnya ruang terbuka hijau akan menyebabkan mahluk hidup berada
dalam kondisi dengan kualitas lingkungan yang jelek.
Pembangunan Berkelanjutan
Sejak tahun 1980-an agenda politik lingkungan hidup mulai
dipusatkan pada paradigma pembangunan berkelanjutan. mula pertama istilah ini
muncul dalam World Conservation Strategy dari Lester R Brown, The International
Union For The Conservation Of Nature (1980), lalu dipakai oleh dalam buku
Building A Sustainable Society (1981), istilah yang kemudian menjadi sangat
populer melalui laporan Brundtland, Our Common Future (1987). Paradigma
pembangunan berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan untuk
semua negara didunia pada tahun 1992 dalam konferensi tingkat tinggi (KTT) Bumi
di Rio De Janeiro, Brasil namun hingga kini paradigma tersebut tidak banyak
diimplementasikan bahkan masih belum luas dipahami dan diketahui, ini bukan
saja terjadi di Indonesia melainkan juga ditingkat global.
Salah satu sebab dari kegagalan mengimplementasikan
paradigma tersebut adalah paradigma tersebut kurang dipahami sebagai prinsip -
prinsip kerja yang menentukan dan menjiwai seluruh proses pembangunan.
paradigma ini tidak dipahami sebagai berisi prinsip pokok politik pembangunan
itu sendiri. pada akhirnya cita - cita yang dituju dan ingin diwujudkan dibalik
paradigma tersebut tidak tercapai karena prinsip politik pembangunan yang
seharusnya menuntun pemerintah dan semua pihak lainnya dalam merancang dan
mengimplementasikan pembangunan tidak dapat dipenuhi.
Cita - cita dan agenda utama pembangunan berkelanjutan tidak
lain adalah upaya untuk mensinkronkan, mengintegrasikan dan memberi bobot yang
sama bagi tiga aspek utama pembangunan yaitu aspek ekonomi, aspek sosial budaya
dan aspek lingkungan hidup. karena itulah gagasan dibalik itu bahwa pembangunan
ekonomi, sosial budaya dan lingkungan hidup harus dipandang sebagai terkait
erat satu sama lain, sehingga unsur - unsur dari kesatuan yang saling terkait
ini tidak boleh dipisahkan atau dipertentangkan satu dengan yang lainnya yang
mau dicapai dengan pembangunan berkelanjutan adalah menggeser titik berat
pembangunan dari hanya pembangunan ekonomi menjadi juga mencakup pembangunan
sosial budaya dan ekologi lingkungan hidup.
Dengan kata lain yang ingin dicapai disini adalah sebuah
integrasi pembangunan sosial budaya dan pembangunan lingkungan hidup kedalam
arus utama pembangunan nasional agar kedua aspek tersebut mendapat perhatian
yang sama berharga dengan aspek ekonomi. pembangunan aspek sosial budaya dan
lingkungan hidup tidak boleh dikorbankan demi dan atas nama pembangunan
ekonomi.
Keberlanjutan Ekologi
Arus pembangunan berkelanjutan di Indonesia seiring juga
dengan arus kerusakan lingkungan, ambilah salah satu contohnya kasus Ladia
Galaska yang menghancurkan ribuan hektar hutan di Leuseur serta terganggunya
habitat asli dan semakin maraknya illegal logging dari jalur bukaan hutan. ini
tentunya juga bukan tanpa alasan pembangunan jalan ini di bangun, akan tetapi
laju kerusakan yang parah ini menjadi catatan tersendiri dari dampak
pembangunan itu.
Dalam hal ini kritik terhadap pembangunan berkelanjutan juga
diungkapkan oleh Arne Naess seorang filsuf Norwegia yang mengenalkan pemahaman
etika lingkungan yang dikenal dengan deep ecology. Dia menawarkan apa
yang disebut sebagai keberlanjutan ekologi yang luas sebagai ganti dari
pembangunan berkelanjutan. Keberlanjutan ekologi ini akan dicapai kalau benar-
benar dilakukan perubahan mendasar dalam kebijakan politik ekonomi menyangkut
pertumbuhan ekonomi dan gaya hidup masyarakat yang konsumtif. Bahkan
keberlanjutan ekologi ini akan dicapai pada level global kalau kebanyakan
ditingkat global benar-benar melindungi kekayaan dan keanekaragaman bentuk -
bentuk kehidupan di planet ini.
Paradigma berkelanjutan ekologi menuntut sebuah perubahan
mendasar dalam kebijakan nasional yang memberi prioritas pada kelestarian
bentuk-bentuk kehidupan di planet ini, demi mencapai keberlanjutan ekologi.
Jadi yang menjadi sasaran utama bukan pembangunan itu sendiri melainkan
mempertahankan dan melestarikan ekologi dan kekayaan bentuk-bentuk kehidupan
didalamnya. ini harus menjadi komitmen politik pembangunan nasional, kalau
tidak kehancuran lingkungan dan ancaman bagi kehidupan manusia di planet ini
semakin tidak teratasi.
Penutup
Konteks pembangunan berkelanjutan maupun keberlanjutan
ekologi adalah dua alternatif yang bisa dipilih untuk diterapkan di
Indonesia karena keduanya mempunyai sasaran yang sama, integrasi ketiga aspek
yaitu aspek pembangunan ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek lingkungan
hidup. bedanya, titik berat pembangunan berkelanjutan memusatkan pada
pembangunan ekonomi sambil memberi perhatian pada secara proporsional pada
kedua aspek lain sementara keberlanjutan ekologi mengutamakan peletarian
ekologi dengan tetap menjamin kualitas kehidupan ekonomi dan sosial budaya bagi
masyarakat setempat dengan jaminan konsekuen dilaksanakan sesuai komitmen untuk
menjamin ketiga aspek tersebut secara proporsional keduanya tidak akan menjadi
masalah dalam paradigma pembangunan ini.
Untuk menghindari jebakan developmentalisme, paradigma
berkelanjutan ekologi tentu lebih menarik karena dengan ini kita bisa
melestarikan ekologi dan sosial budaya masyarakat demi menjamin kualitas
kehidupan masyarakat yang lebih baik