Pagi masih menyisakan dingin, tubuh Lutika masih berbalut baju hangat dan sarung. Teman-temannya belum datang di ladang tempat mereka bermain. Dia melihat seekor semut yang tersesat di antara gerombolan semut lainnya.
"Hei, kenapa kamu sendirian, teman-temanmu ada di sana?" Lutika berkata ke semut yang menurutnya sendirian terpisah dari teman-temannya. Dia kemudian menggunakan jarinya untuk menuntun semut menuju teman-temannya.
"Nih, di sini, kamu bisa bareng lagi sama temanmu" Lutika menunjukkan iringan semut. "Kasihan kamu, semoga kamu bisa main lagi sama temanmu, yah! Kata Lutika pada semut yang dia perhatikan.
Dizidu kemudian datang, setelah menyimpan bekalnya di saung, Dizidu kemudian menghampiri Lutika.
"Hei, kamu lagi ngapain Lutika?" Dizidu bertanya pada Lutika.
"Aku lagi lihat semut yang tertinggal. Tuh, sekarang sudah main dan ikut lagi teman-temannya" Kata Lutika.
"Kamu, kok cemberut?" Tanya Lutika.
"Aku sedih, aku gak suka Tuan Lekabu" Kata Dizidu.
"Emang kenapa, Tuan Lekabu bikin kamu marah lagi?" Tanya Lutika.
"Iya, kemarin aku dimarahin, aku gak tahu kenapa aku dimarahin" Kata Dizidu.
"Aku, juga gak suka sama Tuan Lebaku" Kata Lutika.
"Kenapa" Giliran Dizidu yang bertanya.
"Tuan Lekabu itu, gak adil. Dia bilang aku suka marah, gak bisa ngendaliin emosi, padahal Tuan Lekabu yang sebenarnya gak bisa ngendaliin emosi" Kata Lutika menahan nafas yang memburu seperti menyimpan sesuatu di dadanya.
"Wah, kalau begitu, kita sama. Aku gak suka saat Tuan Lekabu. Apalagi kalau di ladang ini sedang menjelaskan cara-cara mencangkul" Kata Dizidu.
"Emang kenapa?" Tanya Lutika.
"Dia kasar, sepertinya dia sedang punya masalah dengan dirinya" Kata Dizidu.
"Kalau begitu, kita harus bilang padanya kita gak suka kalau Tuan Lekabu marah" Kata Lutika.
"Ah percuma, paling juga kita berdua yang akan balik dimarahi"Kata Dizidu.
Saat mereka berbincang, Tuan Lekabu datang. "Hei, kalian pasti sedang membicarakan aku?" Kata Tuan Lekabu setengah mengancam dengan gerakan tubuh yang mengintimidasi dua anak kecil.
"Enggak, kok. Iya kan Dizidu" Kata Lutika penuh isyarat ke Dizidu. Dizidu yang terdiam oleh intimidasi Tuan Lekabu kemudian berkata.
"Iya, eng...enggak, kita sedang lihat semut ini nih!" Kata Dizidu.
"Oh, kalau begitu, mana teman-temanmu? kok belum pada datang?" Tanya Tuan Lekabu.
"Mereka belum datang, Tuan. Mungkin kuda yang mereka tunggangi masih dikandangkan orang tua mereka" Kata Dizidu.
"Atau mungkin mereka sedang menyiram tanaman di halaman rumahnya" Kata Lutika.
"Ya sudah, kita mulai saja belajar mencangkul hari ini" Tuan Lutika mengajak mereka mulai belajar.
Dizidu dan Lutika sejenak beradu pandang. Mencangkul adalah kegiatan yang membuat Tuan Lutika cepat marah."Aku gak mau belajar mencangkul sama Tuan! Tuan suka marah kalau sedang mengajarku mencangkul" Gerutu Lutika dalam hati.
Mereka mencangkul dengan sesuatu dihatinya masing-masing. Mereka menyerap hal yang tidak bisa dilihat mata. Mereka bisa tahu hal yang sebenarnya terjadi pada Tuan Lekabu.
"Hei, kenapa kamu sendirian, teman-temanmu ada di sana?" Lutika berkata ke semut yang menurutnya sendirian terpisah dari teman-temannya. Dia kemudian menggunakan jarinya untuk menuntun semut menuju teman-temannya.
Romantic Scene of the Seasons (http://www.wallcoo.net) |
Dizidu kemudian datang, setelah menyimpan bekalnya di saung, Dizidu kemudian menghampiri Lutika.
"Hei, kamu lagi ngapain Lutika?" Dizidu bertanya pada Lutika.
"Aku lagi lihat semut yang tertinggal. Tuh, sekarang sudah main dan ikut lagi teman-temannya" Kata Lutika.
"Kamu, kok cemberut?" Tanya Lutika.
"Aku sedih, aku gak suka Tuan Lekabu" Kata Dizidu.
"Emang kenapa, Tuan Lekabu bikin kamu marah lagi?" Tanya Lutika.
"Iya, kemarin aku dimarahin, aku gak tahu kenapa aku dimarahin" Kata Dizidu.
"Aku, juga gak suka sama Tuan Lebaku" Kata Lutika.
"Kenapa" Giliran Dizidu yang bertanya.
"Tuan Lekabu itu, gak adil. Dia bilang aku suka marah, gak bisa ngendaliin emosi, padahal Tuan Lekabu yang sebenarnya gak bisa ngendaliin emosi" Kata Lutika menahan nafas yang memburu seperti menyimpan sesuatu di dadanya.
"Wah, kalau begitu, kita sama. Aku gak suka saat Tuan Lekabu. Apalagi kalau di ladang ini sedang menjelaskan cara-cara mencangkul" Kata Dizidu.
"Emang kenapa?" Tanya Lutika.
"Dia kasar, sepertinya dia sedang punya masalah dengan dirinya" Kata Dizidu.
"Kalau begitu, kita harus bilang padanya kita gak suka kalau Tuan Lekabu marah" Kata Lutika.
"Ah percuma, paling juga kita berdua yang akan balik dimarahi"Kata Dizidu.
Saat mereka berbincang, Tuan Lekabu datang. "Hei, kalian pasti sedang membicarakan aku?" Kata Tuan Lekabu setengah mengancam dengan gerakan tubuh yang mengintimidasi dua anak kecil.
"Enggak, kok. Iya kan Dizidu" Kata Lutika penuh isyarat ke Dizidu. Dizidu yang terdiam oleh intimidasi Tuan Lekabu kemudian berkata.
"Iya, eng...enggak, kita sedang lihat semut ini nih!" Kata Dizidu.
"Oh, kalau begitu, mana teman-temanmu? kok belum pada datang?" Tanya Tuan Lekabu.
"Mereka belum datang, Tuan. Mungkin kuda yang mereka tunggangi masih dikandangkan orang tua mereka" Kata Dizidu.
"Atau mungkin mereka sedang menyiram tanaman di halaman rumahnya" Kata Lutika.
"Ya sudah, kita mulai saja belajar mencangkul hari ini" Tuan Lutika mengajak mereka mulai belajar.
Dizidu dan Lutika sejenak beradu pandang. Mencangkul adalah kegiatan yang membuat Tuan Lutika cepat marah."Aku gak mau belajar mencangkul sama Tuan! Tuan suka marah kalau sedang mengajarku mencangkul" Gerutu Lutika dalam hati.
Mereka mencangkul dengan sesuatu dihatinya masing-masing. Mereka menyerap hal yang tidak bisa dilihat mata. Mereka bisa tahu hal yang sebenarnya terjadi pada Tuan Lekabu.