Ruang Sederhana Berbagi

Minggu, Februari 19, 2012

Kisah Semut dan Pestisida

Pagi di hari minggu adalah waktu berkebun. Melihat pucuk baru yang muncul di sela-sela dahan rasanya sangat menyenangkan. Melihat kucup bunga yang hendak mekar serta memetik daun kering yang masih tertinggal adalah kesenangan yang tidak tergantikan. Rasanya tenggelam dalam keheningan tetapi mendapatkan banyak makna dari tanaman yang dikunjungi.

Sesekali mengajak bicara, bicara sendiri seperti orang aneh. Tetapi lebih dari itu, bicara dari hati dengan semua ciptaan Tuhan. Saya membayangkan kesenangan ini yang muncul dari hati petani-petani di desa. Karena kesenangannya mereka, hadirlah buah yang manis, padi yang menguning, bunga yang mekar, dan makanan yang segar untuk keluarganya.

Pagi selalu menyenangkan, sama seperti menyenangkannya bermain sepakbola, menulis, bermain, belajar, dan kegiatan lainnya. Kesenangan itu sempat terusik oleh ribuan semut, tetapi semut itu bergembira dalam daun sawo yang hijau. Buah sawo yang cokelat itu kemudian dikerubunginya. Satu persatu saling menyapa, membawa sesuatu yang tidak saya ketahui. Mungkin mereka menanyakan kabar, mungkin juga berbagi informasi tentang makanan yang ada di tempat lain.

Semut maafkan yah!
Sesuatu yang putih menjadi magnet semut untuk datang. Inilah kutu buah yang mengambil sari makanan dari pucuk atau batang buah segar. Pucuk daun atau batang buah adalah kesenangan mereka yang tidak pernah mereka lewatkan. Si kutu ini selalu berada di daerah yang segar-segar. Si kutu ini menjadi bagian yang sangat penting bagi semut. Semut mendapatkan sari buah manis dari hasil pencernaan si kutu putih ini.
Ah.. sayangnya di kutu ini menghancurkan buah dan pucuk tanaman sawo. Secara manual saya pernah mencoba menghilangkan si kutu ini. Tidak berhasil karena selalu saja ada kutu-kutu baru di batang buah dan pucuk itu. Niat jailpun hadir, saya menganggap boleh juga menggunakan pestisida untuk mengusir sebentar kutu buah dan semut ini. Saya juga ingin merasakan sawo itu, kawan! begitulah kira-kira ungkapan saya pada kutu buah dan semut.

Diambillah penyemprot kemudian saya cari pestisida. Usaha pertama tidak berhasil karena tidak menemukan pestisida. Saya tanyakan pada ibu, dan taraaaa.. saya dapatkan pestisida itu. Jenis saya tidak tahu, yang pasti baunya sangat pestisida banget.

Penyemprot dimasukkan air, kemudian pestisida. Setelah tercampur, saya pompa penyemprot itu agar bisa keluar dengan baik. Ujung semprotan diatur sedemikian rupa. Semprotan pertama berhasil, dan lihatlah hasilnya. Semua semut dan kutu buah yang tadi mengerumuni sawo, mati seketika itu juga. Bau pestisida kemudian menyeruak. Saya simpan semprotan itu untuk melihat reaksinya.

Ya ampuunn.. saya merasa berdosa ketika saya melihat semua semut dan kutu buah itu mati. Ada rasa penyesalan yang mendalam saat saya melihat ribuan semut dan kutu buah terkapar. Seketika saya merasa berdosa karena mematikan mereka. Tiba-tiba, dari dalam tanah dua ekor cacing muncul dengan gerakan yang tidak beraturan, saya merasa dia sudah terkena efek pestisida, saya langsung mengambilnya kemudian dicarikan tanah yang tidak terkena pestisida.

Hmmm baru kali ini saya merasa sangat bersalah. Saya merasakan suanana yang hening sekali saat melihat ribuan semut terkapar di dedaunan. Saya pun meminta maaf pada Tuhan atas perbuatan saya, saya berharap Tuhan memaafkan saya. Buat teman-teman yang suka berkebun, pikirkan dalam-dalam sebelum menggunakan pestisida.
Share:

Jumat, Februari 17, 2012

Moral Dan Ilmu Pengetahuan


“Ilmu tanpa bimbingan moral (agama) adalah buta dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh” (Albert Einstein 1879-1917)
Ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan memungkinkan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri[1]. Sehingga mulai timbul pertanyaan untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Di mana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus dikalahkan?. Untuk menjawab pertanyaan ini maka ilmuwan berpaling pada hakikat moral.

Tiga definisi yang pendek tentang sains adalah:
  1. Sains ialah accurate thought, ilmu empiris, ialah cara berpikir yang jitu, tepat, atau paham yang nyata.

  2. Sains, ialah organizations of fact, penyusunan bukti.

  3. Sains, ialah simplification by generalisation, penyerderhanaan generalisasi.
Ketiga definisi ini satu sama lainnya berhubungan dan isi mengisi, tambah menambah. Dipandang dari satu penjuru, yang pertamalah definisi yang jitu. Dari penjuru yang lain yang kedualah dan seterusnya.[2].

Pertanyaan besar dalam filsafat adalah sebagai berikut: dari mana datangnya Moralitas? Apakah moralitas dating dari diri kita sendiri? Atau dating dari Tuhan? Atau sebuah fakta moral objektif? Atau apakah moralitas itu adalah sesuatu yang benar atau salah dengan sendirinya, terlepas dari penilaian siapapun terhadapnya?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita diperhadapkan pada sebuah problem-sebuah problem filsafat yang cukup popular. Problem tersebut menyeret kita sekaligus pada dua arah yang saling tarik-menarik. Di satu sisi, tampaknya harus ada fakta moral objektif dan di sisi yang lain, tidak akan ada fakta moral objektif. Mengapa harus ada fakta moral objektif? Karena, ketika kita mengatakan sebagai contoh “membunuh adalah salah” berarti kita telah melakukan penilaian yang benar berdasarkan fakta-fakta yang menunjukan bahwa membunuh adalah salah. Dan fakta tersebut adalah sebuah fakta objektif: membunuh mesti kalah dengan sendirinya, terlepas dari penilaian kita, bahkan Tuhan terhadapnya[3].

Stace mengatakan bahwa moralitas merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan, “seharusnya orang berbuat susila berarti bahwa bila orang ingin berbahagia, maka satu-satunya sarana yang harus digunakannya adalah berbuat susila[4]

Ilmu pengetahuan yang diterapkan bertujuan untuk mempergunakan dan menerapkan ilmu pengetahuan tersebut di dalam masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Adalah sangat bijaksana apabila manusia-manusia di muka bumi ini dapat memanfaatkan ilmunya untuk memperlajari berbagai gejala atau peristiwa yang menurut anggapannya mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Pemanfaatan ilmu pengetahuan hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang asasi, dan semua orang akan menyambut gembira bila ilmu pengetahuan ini benar-benar dimanfaatkan bagi kemaslahatan manusia[5].

Ilmu pengetahuan hendaknya dikembangkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Ilmu pengetahuan yang dikendalikan oleh manusia-manusia yang tidak bermoral telah membawa maut dan penderitaan yang begitu dahsyat kepada umat manusia, sehingga manusia di dunia ini tetap mendambakan perdamaian abadi dengan penemuan-penemuan ilmu yang modern dan canggih ini. Descartes menyatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan serba budi; Immanuel Kant menyatakan ilmu pengetahuan merupakan persatuan antara budi dan pengalaman. Ilmu pengetahuan selain tersusun secara sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran juga harus mengandung nilai etis atau moral, dikatakan beretis atau bermoral adalah harus mengandung nilai yang bermakna dan berarti, berguna bagi kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan bukan saja mengandung kebenaran-kebenaran tapi juga kebaikan-kebaikan[6].

Dalam menggerayangi hakekat ilmu, sewaktu kita mulai menyentuh nilainya yang dalam, di situ kita terdorong untuk bersikap hormat kepada ilmu. Hormat pertama-tama tak ditujukan kepada ilmu murni tetapi ilmu sebagaimana telah diterapkan dalam kehidupan. Sebenarnya nilai ilmu terletak pada penerapannya. Ilmu mengabdi masyarakat sehingga ia menjadi sarana kemajuan. Boleh saja orang mengatakan bahwa ilmu itu mengejar kebenaran dan kebenaran itu merupakan inti etika ilmu, tetapi jangan dilupakan bahwa kebenaran itu ditentukan oleh derajat penerapan praktis dari ilmu. Pandangan yang demikian itu termasuk faham pragmatisme tentang kebenaran. Di situ kebenaran merupakan suatu ide yang berlandaskan efek-efek praktis[7]

Teknologi yang merupakan konsep ilmiah yang menjelma dalam bentuk konkret telah mengalihkan ilmu dari tahap kontemplasi ke manipulasi. Dalam tahap manipulasi ini masalah moral muncul kembali berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Dihadapkan dengan masalah moral, ilmuwan terbagi menjadi dua.

Golongan pertama menginginkan ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun secara aksiologis. Sehingga tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah pada penggunanya untuk menggunakan pengetahuan tersebut demi tujuan baik atau buruk.

Golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Charles Darwin mengatakan bahwa tahapan tertinggi dalam kebudayaan moral manusia adalah ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita.[8]

Pada akhirnya, moral dan ilmu pengetahuan satu sama lain berhubungan, jika ada salah satu yang dominan dan belum bisa menyeimbangkannya, berarti ada yang salah atau belum menemukan sisi yang lain dari keduanya. Jika itu sudah seimbang, bersyukurlah, semoga kita termasuk orang yang bijaksana. (Iden Wildensyah)



[1] Jujun S, Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta: Pustakan Sinar Harapan) Hal 231
[2] Tan Malaka, MADILOG.(Jakarta: Pusat Data Indikator) hal 58
[3] Stephen Law, Filsafat itu Heboh (Jakarta: Teraju) hal 185
[4] Louis O. Kattsof. Pengantar Filsafat. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya) Hal 350
[5] Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar (Jakarta: Rineka Cipta) hal 333
[6] Abu Ahmadi, ibid.
[7] Jujun S. Suriasumantri. Ilmu dalam Persfektif. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia) Hal 234
[8] Jujun S, Suriasumantri, op.cit. Hal 235
Share:

Monumen Sepeda di Cimahi


Sebagaimana monumen lainnya yang dibuat dengan tujuan khusus, saya beranggapan bahwa 7 sepeda tersebut juga memiliki makna yang ingin disampaikan kepada khalayak.

Sebelum memasuki lebih jauh, saya ingin menegaskan tentang patung atau monumen. Ini menjadi penting karena saya kebingungan pada saat menentukan judul. Baiklah kita tinjau secara definisi. Menurut salah satu sumber, patung adalah benda tiga dimensi karya manusia yang diakui secara khusus sebagai suatu karya seni. Orang yang menciptakan patung disebut pematung. Tujuan penciptaan patung adalah untuk menghasilkan karya seni yang dapat bertahan selama mungkin. Karenanya, patung biasanya dibuat dengan menggunakan bahan yang tahan lama dan sering kali mahal, terutama dari perunggu dan batu seperti marmer, kapur, dan granit. Kadang, walaupun sangat jarang, digunakan pula bahan berharga seperti emas, perak, jade, dan gading. Bahan yang lebih umum dan tidak terlalu mahal digunakan untuk tujuan yang lebih luar, termasuk kayu, keramik, dan logam.

Sementara monumen adalah jenis bangunan yang dibuat untuk memperingati seseorang atau peristiwa yang dianggap penting oleh suatu kelompok sosial sebagai bagian dari peringatan kejadian pada masa lalu. Seringkali monumen berfungsi sebagai suatu upaya untuk memperindah penampilan suatu kota atau lokasi tertentu. Misalnya di beberapa ibu kota pusat pemerintahan seperti Washington D.C., New Delhi, dan Brasília memang telah dirancang sedemikian rupa sehingga dibangun meliputi banyak monumen kenegaraan. Lokasi Monumen Washington dirancang untuk membentuk ruang publik yang rapi dan teratur.

Dari dua definisi di atas saya lebih suka menyebutnya sebagai monumen bukan patung. Dasarnya adalah tujuan, patung bisa jadi semata-mata karena ekspresi seniman saja, sementara monumen bisa jadi ada tujuan-tujuan khusus dari pembuatannya. Nah, monumen sepeda tersebut lebih layak disebut sebagai monumen daripada patung.

Makna 7 Sepeda

Monumen yang menarik itu adalah sebuah rangkaian sepeda yang melengkung. Cobalah tengok jika anda melewati Cimahi. Ada sesuatu yang menarik perhatian dan baru di kota ini. Apalagi kalau bukan sebuah patung sepeda yang melengkung seolah-olah mau terbang. Sepeda yang ada di patung tersebut beragam, dari mulai sepeda baheula sampai sepeda jaman kini, dari ukuran gede sampai yang kecil ada dalam patung tersebut. Walaupun memang tetap saja tidak selengkap koleksi museum sepeda.
132701718463795509
7 Sepeda pada malam hari (dok pribadi)
Sebagaimana monumen lainnya yang dibuat dengan tujuan khusus, saya beranggapan bahwa 7 sepeda tersebut juga memiliki makna yang ingin disampaikan kepada khalayak. Misalnya pesan tentang raman lingkungan, sepeda biasanya menjadi refresentasi dari gerakan ramah lingkungan. Atau bisa jadi Sepeda juga menjadi lambang gerakan feminism. Ajakan atau kampanye dalam 7 sepeda tersebut bisa jadi beragam seusai interpretasi. Mengajak warga untuk ramah lingkungan, mendukung gerakan feminism, mendukung kampanye bersepeda ke tempat kerja, sekolah, dll.

Makna 7 juga bisa memiliki banyak tafsiran dan makna. Dalam Ilmu pengetahuan, angka 7 adalah dasar dari akumulasi angka yang tak terhitung jumlahnya, mulai dari 7 atom, 7 partikel terkecil dan seterusnya Misalnya  di China angka 7 dihubungkan dengan kehidupan gadis, dimana gadis mempunyai gigi susu pada usia 7 bulan dan tanggal pada usia 7 tahun, dalam 2 x 7 tahun “roda yin” membuka ketika ia mencapai masa puber, dan pada 7 x 7 = 49 datanglah masa monopause.

Dalam islam, yang menarik dan untuk dicatat adalah, bahwa surah pertama dalam Al-Qur’an, Al-Fatihah mempunyai 7 ayat. Kalimah Syahadat dalam Laa Ilaaha ilaa Allaah, Muhammad rasul Allah terdiri dari 7 kata. Menurut Al-Qur’an Tuhan menciptakan langit dan bumi menjadi 7 lapis. Lalu Thawaf mengelilingi Ka’bah di Mekkah dilakukan sebanyak 7 kali, demikian juga dengan lari lari kecil (Sa’i) antara Shafa dan Marwah. Pada akhir haji, dekat Mina, syetan di lempar dalam 3 kali masing masing dengan 7 buah kerikil kecil yang lazim disebut (melempar jumroh). Angka 7 juga disukai oleh kaum Sufi. Tasawuf memperbincangkan 7 Lathaaif, atau titik titik subtil pada tubuh tempat kaum Sufi memusatkan kekuatan spiritualnya.

Dalam tradisi Jawa, ada moment tertentu yang berhubungan dengan angka 7. Sebagai contoh ketika orang hamil sudah usia 7 bulan, maka diadakan selamatan dengan istilah yang disebut “Tingkepan”. Lalu pada bayi yang telah berusia 7 bulan, maka ada prosesi yang dinamakan turun tanah. Persyaratan Upacara adat tertentu harus menggunakan kembang 7 rupa, mandi 7 sumur, pesta kadang - kadang diadakan 7 hari 7 malam.

Nah di luar makna angka 7 tersebut, 7 sepeda bisa beragam interpretasi. Bisa jadi 7 keluarga, 7 dukungan, 7 kecamatan, 7 dananya, 7 pembuatnya, atau bisa jadi 7 karena pembuatnya 7 orang dan menyukai pemain bola bernomor 7 seperti CR7, Atep, Beckham. Saking mengidolakannya pemain nomor 7, monumen pun dibuat sebanyak 7 buah. Tetapi yang tidak saya sukai dari monumen 7 sepeda tersebut hanya satu, warna. Entah apapun itu warnanya terlalu mencolok dan partai banget. Seperti partai yang berwarna-warna, atau malah ini interpretasi juga yah? Sesuai interpretasi, itulah seni mengapresiasi seni. (Iden Wildensyah)
Share:

Berakhir di Bahasa


Tiga hal yang menjadi penting di era sekarang adalah kemampuan bahasa, kemampuan retorika, dan kemampuan menulis. Tiga hal tersebut muncul dari diskusi kreativitas bersama Acep Iwan Saidi, seorang penulis hebat yang sering saya baca tulisannya di media cetak. Pak Iwan, demikian saya memanggil beliau kalau bertemu di sekolah. Sore itu Pak Iwan menjadi narasumber untuk diskusi yang rutin dilaksanakan setiap selasa pukul 13.30. Pak Iwan menyampaikan beberapa contoh tentang keterkaitan antara kreatifitas, bahasa, dan seni serta pentingnya dalam pembelajaran anak.
Bahasa adalah hal penting setelah inovasi mewujud bentuk dan bentuk menjadi mati ketika kita tidak bisa mendefinisikan dalam bahasa. Misalnya seorang inovator dengan kreatifitasnya berhasil menciptakan penemuan robot pemadam kebakaran. Si robot pemadam kebakaran akan menjadi sebuah benda bernilai lebih saat seorang inovator menjelaskan perihal robot tersebut. Robot tersebut kemudian akan bernilai lebih lagi ketika dia sudah diketahui oleh masyarakat umum, tentang kegunaannya, tentang cara pemakaiannya, dll. Robot tidak akan menjelaskan secara langsung siapa dirinya jika tidak diprogram oleh manusia yang menciptakan.
Contoh lainnya misal sebuah kursi hasil inovasi dengan berbagai bentuk dan tambahan lainnya. Kursi akan bernilai ketika dia bisa dibahasakan melalui iklan, melalui narasi, dll. Kursi baru hasil inovasi akan diam begitu saja tanpa diketahui orang lain jika sang inovator tidak berusaha membahasakan.
Pembangunan apartemen dan perumahan hasil kolaborasi teknik sipil dan teknik arsitektur akan bernilai dan berharga ketika dibahasakan dengan baik kepada masyarakat. Lihat saja misalnya seorang marketing ketika menyampaikan harga mahal tetapi seperti biasa saja karena dibahasakan dengan baik. Seperti ”apartemen ini bebas macet, keluar tol dalam kota langsung masuk komplek apartemen. Harganya dijamin murah, hanya dengan dua ratus lima puluh juta perbulan, anda sudah bisa menempati ruang ekslusif dengan jaminan keamanan dan kenyamanan”. Bayangkan hanya dengan dua ratus lima puluh juta rupiah perbulan (Rp250.000.000,00/bulan) !. Fantastis tetapi seperti biasa saja saat dibahasakan dengan intonasi yang baik dan meyakinkan.
Itulah beberapa contoh tentang bahasa memegang peranan penting baik dalam menyampaikan gagasan atau juga menyampaikan hasil gagasan tersebut. Inilah yang saya sebut sebagai berakhir di bahasa. Selain selanjutnya adalah kemampuan retorika. Kemampuan retorika atau kemampuan menyampaikan gagasan melalui argumentasi yang kuat. Retorika seperti kelanjutan dari bahasa. Seorang yang memiliki kemampuan bahasa dengan baik akan lebih bisa menjelaskan sesuatu dengan baik dibanding orang yang tidak memiliki kemampuan berbahasa. Retorika berdasar pada bahasa yang disampaikan, itu berarti argumentasi akan kuat ketika bahasa penyampaian efektif. Dan penyampaian yang efektif membuat sesuatu yang dibahasakan menjadi sampai pada tujuan yang akan dicapai. Tujuan tersebut misalnya ketika menyampaikan gagasan atau inovasi yang mewujud.
Jika berbahasa dengan baik sudah, berinovasi juga sudah, selanjutnya tentu saja menulis. Menulis adalah bagian dari menuangkan gagasan dalam bentuk nyata. Menulis harus memiliki kemampuan bahasa yang baik, argumentasi yang kuat, dan logika bahasa yang baik juga. Ini adalah bagian dari kreatifitas agar tidak mati setelah mewujud. Dia harus dituliskan, harus disebarkan pada semua khalayak terutama untuk inovasi yang penting untuk masyarakat. Tujuannya tidak lain adalah untuk kebaikan semua. Menulis merupakan bagian tidak terpisahkan dari bidang keilmuan apapun. Dia holistik. Dulu saya mengatakan pada dosen waktu kuliah di Jalan Setiabudi 207 Bandung bahwa keilmuan itu menjadi mati ketika dosen atau mahasiswa tidak berusaha menuliskannya di surat kabar. Surat kabar menjadi sebuah media terbaik untuk membagi hasil pemikiran. Dari pemikiran yang dikirim ke media, khalayak menjadi berpengetahuan. Pengetahuan menjadi milik bersama yang tidak terbatas pada lembaga pendidikan saja.
Share:

Selasa, Mei 10, 2011

Colin Beaven si Kreatif!

Saya katakan demikian saja, karena awalnya saya ingin menulis judul dengan kalimat “Si Gila Collin Beaven”. Tetapi karena konotasi gila bagi beberapa pembaca termasuk kata negative yang tidak patut ditiru maka saya ubah menjadi kalimat seperti di atas. Saya mengetahui Colin Beaven dari acara Markinon yang rutin digagas oleh YPBB (Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi) di Bandung. Seperti biasa bertempat di Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Jawa Barat, walaupun dalam beberapa waktu tempatnya berpindah-pindah.

http://noimpactman.typepad.com/
Saya bersyukur bisa mengikuti salah satu acara itu. No Impact Man menurut saya menarik untuk diikuti, sekedar merefresh atau mencari alternative gerakan lingkungan. Gerakan lingkungan alternative yang bisa dijadikan acuan untuk diri sendiri. Syukur-syukur kalau bisa dibagikan kepada orang lain. Dari informasi di selebaran facebook saya mendapatkan bahwa No Impact Man bercerita tentang sebuah keluarga yang berkomitmen untuk mencoba hidup tanpa listrik, kosmetik, berbagai bahan pembersih yang berbahan kimia sintetis, kendaraan bermotor dan segala pernak-pernik kehidupan di kota besar. Sangat menarik dan membuat saya penasaran.
Saya terlambat beberapa menit, si Colin Beaven sudah bercerita sebelumnya. Saya ikuti saja sampai akhir. Film itu sebuah documenter tentang keluarga si Colin Beaven yang menjalankan proyek No Impact Man selama 6 bulan. Hidup di belantara kota tanpa listrik, bahan kimia, kendaraan bermotor, mengonsumsi makanan organic, dan selalu kampanye lingkungan ke sekitarnya. Salah satu media kampanye yang selalu dia lakukan adalah memosting catatanya melalui blog.
Ceritanya berjalan seperti reality show pada umumnya, tidak ada kejutan-kejutan yang muncul di awal atau di akhir adegan. Cenderung lurus dan apa adanya. Yah… begitulah adanya, tidak ada yang perlu dikejutkan. Cuma memang saya melihat itulah Amerika. Segala sesuatu yang terjadi di Amerika bisa dipastikan akan mendunia, dalam film itu diceritakan si Colin Beaven mengisi acara-acara Talk Show diberbagai televise dan radio di Amerika. Kisahnya dimuat di beberapa harian cetak. Pokoknya sangat popular dengan gerakannya atau proyek No Impact Man-nya.
Sisi manusiawi juga muncul saat Colin Beaven berbincang dengan istrinya, selalu ada pertentangan antara idealism dengan pragmatism, dikala frustasi istrinya menganggap proyek tersebut sebagai sesuatu yang sia-sia, tetapi Colin Beaven selalu meyakinkan bahwa gerakan No Impact Man mempunyai kontribusi besar terhadap kualitas lingkungan dan masa depan. Misalnya saat Colin Beaven memilih konsep Pot dalam Pot untuk menggantikan Kulkas, kemudian istrinya protes karena tidak ada air dingin, lalu kompromi mereka berakhir pada tempat penyimpanan yang diisi es, es meminta dari tetangga. Kreatif, tentu saja. Untuk hidup tanpa kendaraan, tanpa listrik, makan makanan organik membutuhkan kreatifitas yang tinggi. Dan Colin Beaven membuktikan betapa dia sangat kreatif menyikapi kebutuhan hidupnya tanpa harus mengorbankan lingkungan. Misalnya seperti kulkas tadi, kemudian keranjang takakura, solar cell, dll. Tidak kalah penting selain sisi kreatif yang saya garis bawahi, Colin Beaven menunjukan semangat belajarnya yang tinggi. Dia tidak berhenti untuk belajar, dia belajar terus seperti mencari ilmu tentang pertanian organik, pengetahuan tentang sampah, lobi ke senat, dll.
Selanjutnya, pelajaran apa saja sih yang didapat dari menonton film tersebut? Dari beberapa orang yang mengikuti diskusi saya mendapatkan gambaran. Pertama, untuk menjalankan proyek seperti Colin Beaven itu butuh idealism tinggi. Kedua, jika idealism kita belum setinggi Colin Beaven kita bisa mengambil hal terkecil yang bisa kita perbuat untuk lingkungan. Untuk hal ini ada banyak ragam, seperti mengurangi memakan daging kemudian menjadi vegetarian, bersepeda, selalu membawa botol air minum, mengurangi sampah, lalu yang merokok ada yang memberikan usulan dari membeli rokok kemasan jadi beralih ke rokok lintingan, dll.
Yang menarik selain film atau tontonannya juga refleksi setelah menonton No Impact Man. Disinilah kita bisa mengetahui film tersebut memberikan kesan bagi penontonnya. Film itu bagus, ringan, dan tidak perlu dipikirkan untuk menebak akhir atau alur ceritanya. Yang menjadi pertanyaan, setelah mereka menjalankan proyek selama 6 bulan tersebut, apakah selanjutnya akan berlangsung seperti itu?. Sip kembalikan pada penonton dan mereka yang peduli lingkungan.
Salut untuk alternative gerakan lingkungan seperti itu, jika kita tidak punya idealism sebesar Colin Beaven, kita bisa melakukan sesuai kapasitas dan kemampuan kita. Let’s Go Green!
Share:

Sabtu, Januari 08, 2011

Buku Rangka Atap Baja Ringan

Sebuah buku dengan judul ” RANGKA ATAP BAJA RINGAN Untuk Semua”, berisi penjelasan sangat detil tentang Rangka Atap Baja Ringan antara lain : Struktur, Variasi, Supporting dan Pekerjaan, Desain, Cara Pemasangan, Perbandingan Kayu dan Baja Ringan berdasarkan Kriteria Bahan banguan Ekologis dan lain-lain sebagainya.

Berbeda dengan buku-buku teknik lainnya yang pernah kubaca, buku ini boleh kukatakan buku tehnik nuansa Novel yang ditulis oleh seorang sastrawan dengan bahasa yang sederhana, santai dan banyak disisipkan kata-kata mutiara yang begitu inspiratif seperti :
Tidak ada hal hebat yang tercipta dalam sekejap (Epictetus-Filsuf Yunani)
Gagasan bukan sesuatu, tetapi gagasan yang menciptakan sesuatu (Napoleon Hill 1883-1970)
Satu-satunya alasan kenapa ada waktu, karena segala sesuatu tidak terjadi sekaligus (Albert Einstein. Ilmuwan Fisika) dan banyak lagi tersisip di setiap bab.

Beberapa praktisi dalam dunia properti memberikan catatan/kesan :

Buku ini ditulis dengan pendekatan sederhana. Namun didukung oleh data-teknis dan sarat pengalaman lapangan. Sangat cocok bagi Anda sebagai panduan untuk memilih produk/kontraktor rangka atap baja ringan (Joyce Soelistiowati-Tabloid PROPERTI.BIZ)
Share:

Jumat, Juni 04, 2010

Terpukau Chalwanka

Musik tradisional selalu menggelitik untuk diketahui, melodi serta suaranya yang berbeda dengan kebanyakan musik pada umumnya mampu mengalihkan perhatian. Begitu juga dengan peristiwa malam minggu 29 Mei 2010 saat ada pertunjukan dari group musik yang berasal dari Amerika Selatan.

Di sela-sela keramaian pengunjung, suara musik tradisional yang mengalun merdu itu ternyata mampu membuat pengunjung menengok. Yah, saya salah satunya, sangat disayangkan jika moment yang menarik, unik dan berbeda ini dilewatkan begitu saja.

Saya bersama Pacha (dok.pribadi)
Chalwanka, demikian nama group musik yang sedang performance malam itu. Di lorong kanan dari parkir depan, tepat di arah lorong masuk menuju Blitzmegaplex, Chalwanka menarik pengunjung untuk sejenak mengetahui alat seni tradisional dari Amerika Selatan ini. Chalwanka dari brosur yang saya dapatkan adalah group musik dari pegunungan Andes, Chalwanka berasal dari bahasa asli suku Inca yaitu bahasa Quechua (kechua) yang artinya ‘Ikan Batu’.

Pendiri Chalwanka yang juga hadir dan performance malam itu adalah seorang musisi yang bernama Pacha dari Peru. Dengan alat musik Zamponas (Zamponyas) dan Quenas (kenas). Pacha telah performance lebih dari 20 tahun ke beberapa negara seperti Italia, Portugal, Spanyol, Brazil, Jepang dan malam itu sedang di Indonesia.

Saya bersama Pacha (dok.pribadi)
Share:

Senin, Mei 03, 2010

Jalur Sepeda di Bandung

Jalur Sepeda di Bandung itu unik
Keberadaan jalur sepeda bagi pesepeda sangat membantu. Jalur sepeda memungkinkan para pesepeda merasa aman selama mengayuh sepedanya. Kekhawatiran terserempet atau parahnya tertabrak oleh mobil atau motor tidak akan ada. Jalur sepeda secara tidak langsung mengkampanyekan gaya hidup baru, bersepeda.

Bike Line di Bandung (dok.pribadi)
Jogjakarta adalah contoh kota yang sukses membangun jalur sepeda. Memang bukan hal yang aneh karena secara kultur, bersepeda disana seperti sudah menjadi tradisi sejak dahulu. Sepeda seolah tidak bisa dihilangkan dalam kebudayaan masyarakat Jawa. Lihat saja dalam beberapa catatan atau foto tentang sepeda, iring-iringan sepeda disana lebih banyak dibanding di Kota Bandung misalnya, atau Kota-kota lain di Indonesia. Mayoritas penduduk disana tidak asing dengan sepeda, bahkan sebelum ada kampanye bersepedapun sudah banyak yang menggunakan sepeda ke kantor, balaikota, dan juga ke sekolah.

Kita tengok sejenak keluar negeri, salahsatu kota yang sudah ada jalur sepeda sebagai implementasi program langit biru bersamaan dengan kebijakan transportasi massal adalah Bogota. Bogota berhasil dalam membuat jalur pedestrian, jalur sepeda, taman kota, ruang publik dan moda transportasi massal. Bahkan Jakartapun belajar dari Bogota dalam proyek Busway-nya walaupun tidak seberhasil Bogota karena tidak diikuti oleh program lainnya yang saling mendukung.

Bandung mau ikut Bogota, tunggu dulu. Bisa terlaksana jika kebijakan lainnya juga dilaksanakan dengan baik. Misalnya Jalur Sepeda, ternyata di Kota Bandung, jalur sepeda hanya 3-5 meter setelah itu hanya trotoar biasa. Yang lebih miris lagi, trotoar yang selalu terjadi rebutan ruang dengan pihak lain. Kalau sudah begini, pertanyaannya, bagaimana mungkin bersepeda di jalur sepeda seperti itu? Inginnya nyaman yang ada malah memancing keributan dengan pihak lain.

Oh iya, gambar Sepeda di Lantai ini hanya ada di Jalan Dago, hanya beberapa meter saja. Dulu saya berpikir sepanjang jalan Dago dari Ujung utara di Simpang Dago Sampai Balaikota Bandung di Jalan Merdeka, ternyata cuma sedikit saja.

Jalur Sepeda Tapi Tidak Ada Sepeda Yang Berani Lewat (dok.pribadi)
Jalur Sepeda Tapi Tidak Ada Sepeda Yang Berani Lewat (dok.pribadi)
Mari Pulihkan Bandung (dok.pribadi)
Mari Pulihkan Bandung (dok.pribadi)
Share:

Kamis, April 15, 2010

Ide yang Sama

Pernah melihat tulisan serupa tapi tak sama? Saya sering, bahkan beberapa ide ceritanya mirip, hanya saja ada beberapa bagian yang berbeda. Misalnya penyajiannya, penuturannya dan tentu saja penulisnya. Pada mulanya saya merasa sudah dicuri ide, tetapi setelah ditelusuri ternyata berbeda. Sayapun anggap sebagai bagian utuh cerita yang saling melengkapi.

Ilustrasi diunduh dari Google.com 
Misalnya tentang facebook, lebih dari sepuluh penulis yang menulis tentang facebook. Banyak dinamika facebook yang menjadi sorotan penulis kompasiana, dari mulai statusnya, isinya dan efeknya. Efek.. Ah lagi-lagi saya menulis efek facebook yang fantastis.

Bagi saya, keadaan ini menunjukan bagaimana besarnya dan mahalnya ide. Seorang yang memiliki energi ide yang besar adalah potensi bagi dirinya, orang lain dan lingkungannya. Beruntunglah mereka yang masih selalu berputar-putar idenya bahkan ketika melakukan apapun selalu terpikir ide menulis dan celakalah mereka yang kehabisan ide. Habis ide berarti kematian bagi penulis. Penulis yang notabene harus selalu punya ide untuk menjadi bahan tulisannya, jika tiba-tiba saja kehilangan ide maka sudah pasti dia mati karya. Saya berpikir lalu menulis maka saya ada. Keberadaan dilihat dari karya tulisnya.
Share:

Postingan Populer