Sore hari menjelang malam saat berjalan di pematang sawah saat
hendak menuju rumah, tiba-tiba seseorang memanggil “Hei, kemana aja? Kok
baru ketemu sih”. Sejenak, langkahku terhenti oleh suara yang tidak
asing bagiku. Setengah kaget kubalikkan badan, ”eh kamu, ada aja gak
kemana-mana” Jawabku.
“Oh, kemarin satu bulan aku di ladang, menjaga kebun dan beberapa bibit pohon kelapa dari serangan celeng” Jawabku berharap tidak banyak lagi pertanyaan dari dia.
“Wah, kalau begitu banyak singkong dong di rumahmu?” Dia masih bertanya tentang tanaman yang tiga bulan lalu aku tanam bersama dia di ladang itu. “Banyak banget engga sih, sekedar buat makanan pagi dan sore aja”. Sore dan pagi jika tidak ke sawah atau ladang, mengukus singkong atau membakar singkong yang kemudian di cocol ke gula aren yang diiris kecil-kecil. Hidangan ini juga menjadi awal sebelum kami bergegas ke surau untuk mengaji di surau Pak Ustadz.
Kami terus berjalan beriringan karena pematang sawah itu tidak cukup bagi kami untuk berjalan berdampingan.
“Eh, datang ke surau ntar malam yah” Ajak dia meyakinkan aku untuk datang di pengajian malam. “Lha, sejak kapan aku tidak ikut pengajian?” Kataku balik bertanya. “Engga sih, aku cuma ingin meyakinkan saja”.
Pematang sawah sudah menemui ujungnya, sebuah jalan desa dengan kerikil kecil dan besar yang ditata agar delman tidak ambles saat melewati jalan tersebut. Jalan itupun menjadi akhir bagi kami untuk melewatkan sore sebelum bersiap ke surau. Dia berbelok ke kanan menuju rumahnya sementara aku berbelok sebaliknya. Sore sebentar lagi berganti, matahari sudah menghilang di balik bukit. Desa sudah mulai temaram oleh lampu obor anak-anak kecil yang hendak ke surau. Inilah sore saat terakhir aku kaget bertemu sosok yang misterius.
“Oh, kemarin satu bulan aku di ladang, menjaga kebun dan beberapa bibit pohon kelapa dari serangan celeng” Jawabku berharap tidak banyak lagi pertanyaan dari dia.
“Wah, kalau begitu banyak singkong dong di rumahmu?” Dia masih bertanya tentang tanaman yang tiga bulan lalu aku tanam bersama dia di ladang itu. “Banyak banget engga sih, sekedar buat makanan pagi dan sore aja”. Sore dan pagi jika tidak ke sawah atau ladang, mengukus singkong atau membakar singkong yang kemudian di cocol ke gula aren yang diiris kecil-kecil. Hidangan ini juga menjadi awal sebelum kami bergegas ke surau untuk mengaji di surau Pak Ustadz.
Kami terus berjalan beriringan karena pematang sawah itu tidak cukup bagi kami untuk berjalan berdampingan.
“Eh, datang ke surau ntar malam yah” Ajak dia meyakinkan aku untuk datang di pengajian malam. “Lha, sejak kapan aku tidak ikut pengajian?” Kataku balik bertanya. “Engga sih, aku cuma ingin meyakinkan saja”.
Pematang sawah sudah menemui ujungnya, sebuah jalan desa dengan kerikil kecil dan besar yang ditata agar delman tidak ambles saat melewati jalan tersebut. Jalan itupun menjadi akhir bagi kami untuk melewatkan sore sebelum bersiap ke surau. Dia berbelok ke kanan menuju rumahnya sementara aku berbelok sebaliknya. Sore sebentar lagi berganti, matahari sudah menghilang di balik bukit. Desa sudah mulai temaram oleh lampu obor anak-anak kecil yang hendak ke surau. Inilah sore saat terakhir aku kaget bertemu sosok yang misterius.