Bioskop Bandung (haridodi.blogspot.co) |
Diskusi ini sebenarnya perbincangan biasa saja antara saya dengan seorang teman di sore menjelang pulang. Pemikiran dia lumayan menarik, ketertarikan saya berawal dari penelitian dia tentang Bandung pada tahun 1907 sampai 1920-an. Saya memancing dengan mencari alasan realitas saat ini. Misalnya apakah pada waktu itu warga kota sudah tergerus hedonisme? Jawabannya sangat mencengangkan. Yah!
Jaman itu memang Belanda masih di Indonesia, tetapi gaya hidup sudah mulai menjalari warga pribumi yang ada di sekitarnya. Warga yang hidup pada jaman itu mulai tergerus modernisme dengan menanggalkan cara-cara tradisional dalam bertindak, bergaya pakaian, berbicara, dan lain-lain. Modernisme dibawa dengan pemutaran film. Film sangat fenomenal karena mampu mengubah segala bentuk tradisionalisme menjadi bentuk modernisme. Industriawan mengenalkannya dalam bentuk pembangunan gedung-gedung bioskop di berbagai sudut kota. Tentu saja dengan pengkastaan antara pribumi dan non pribumi.
Kesenian tradisional mulai tersingkirkan oleh industri film. Film kemudian membawa gaya hidup, cara berpakaian, dan gaya-gaya lainnya yang diterima sangat cepat oleh penonton pada saat itu. Terpenting bukan saja gaya hidup yang menjadi berubah tetapi pola pikir yang mulai meninggalkan tradisi yang berkembang pada waktu itu. Jalan ke bioskop adalah sesuatu yang keren, tak peduli film apa yang ditonton, yang penting pergi ke bioskop. Kongkow-kongkow dan memberikan cerita film bagi mereka yang belum menonton film adalah sesuatu yang keren. Terbayang memang keren, karena media belum sekencang sekarang.
Kongkow ke bioskop itulah yang menjadi masalah ketika intinya bukan lagi menonton. Yang penting pergi ke bioskop tak penting filmnya apapun.
Lalu, apa hubungannya dengan peradaban? Film membawa informasi tentang kemajuan teknologi dan pesatnya industri di barat. Stereotif bahwa barat paling maju dan timur terbelakang menjadi sangat kental. Berlomba-lombalah kemudian untuk menjadikan dirinya sebagai bentuk kemajuan industri barat. Stereotif ini kemudian sedikit demi sedikit menyingkirkan kebaya, iket, yang berganti menjadi celana jeans, topi, dll. Kebaya, iket berarti ketinggalan jaman.