Ruang Sederhana Berbagi

Tampilkan postingan dengan label Mandiri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mandiri. Tampilkan semua postingan

Rabu, April 02, 2014

Mandiri

Salah satu hal yang selalu saya ingat tentang pelajaran mandiri adalah saat mendaki gunung. Selalu terngiang bahwa mendaki gunung itu adalah proses memadukan kesiapan mental dan fisik. Kemandirian terbangun saat saya harus menyiapkan segala sesuatu secara sendiri, menyiapkan alat dan perbekalan bahan makanan yang cukup selama pendakian. Tidak mengandalkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan selama di gunung. Tidak lucu jika kita meminjam barang orang lain hanya karena kita tidak bisa membawanya. Perlengkapan minimal harus benar-benar disiapkan secara matang. Peralatan atau perlengkapan tersebut di-packing dalam tas ransel yang memadai untuk dibawa sendiri.
Pendaki Gunung ( Iden Wildensyah - Ciremai jalur Linggarjati 2014)

Pendaki gunung itu harus mandiri, jika belum bisa mandiri, minimalnya jangan merepotkan orang lain. Penuhi kebutuhan diri sendiri baru menolong orang lain. Siapkan fisik agar bisa kuat mendaki dan menuruni gunung, siapkan peralatan dan perbekalan agar bisa mendukung kebutuhan fisik kita. Siapkan mental agar selamat dan sampai tujuan serta bisa pulang dengan baik.

Tentang kemandirian ini, ada sebuah kisah Gandhi yang sangat menarik yang dituliskan oleh Eknath Easwaran. 

"Aku tengah mengawali kehidupan yang dipenuhi kemudahan dan kenyamanan, tetapi eksperimennya terlalu singkat. Meskipun aku telah melengkapi rumah dengan perhatian, semua itu tidak mampu membuatku betah. Maka, segera setelah memulai usaha dalam kehidupan itu, aku mulai mengurangi pengeluaran. Tagihan tukang cuci sangat berat dan meskipun tepat waktu, dua hingga tiga lusin kemeja dan kaus yang tersedia terbukti tidak cukup bagiku. Kaus harus berganti setiap hari dan kemeja kalau tidak setiap hari, setidaknya dua hari sekali. Ini berarti pengeluaran dua kali lipat yang bagiku tampak tidak perlu. Oleh karena itu, aku melengkapi diriku dengan perlengkapan mencuci untuk menghematnya. Aku membeli buku tentang mencuci, mempelajari seninya, dan mengajarkanya kepada istriku. Ini tidak diragukan lagi menambah pekerjaanku, tetapi kebaruannya membuatnya menyenangkan.

Aku takkan pernah melupakan kaus pertama yang aku cuci sendiri. Aku menggunakan kanji lebih banyak daripada yang kuperlukan, setrikanya tidak dibuat cukup panas, dan karena takut membakar kausnya, aku tidak cukup keras menekannya. Hasilnya adalah, meskipun kausnya cukup kaku, kanji yang berlebihan terus berjatuhan darinya. Aku berangkat ke pengadilan dengan mengenakan kerah itu hingga mengundang tawa kawan-kawan pengacara. Namun, bahkan pada masa itu aku bisa sangat tidak peduli jika menjadi bahan tertawaan.

Dengan cara yang sama, sebagaimana aku melepaskan diriku dari perbudakan tukang cuci, aku membuang ketergantungan pada pemangkas rambut. Semua orang yang pergi ke Inggris belajar setidaknya seni bercukur, tetapi tidak ada, setahuku, mereka belajar untuk memangkas rambut mereka sendiri. Aku pun harus mempelajari itu. Pernah aku pergi ke seorang pemangkas rambut di Pretoria. Dengan meremehkan ia menolak untuk memotong rambutku. Tentu saja aku merasa terluka, tetapi aku segera membeli sepasang gunting dan memotong rambutku di depan cermin. Aku kurang lebih berhasil memotong rambut bagian depan, tetapi aku merusak bagian belakang. Kawan-kawan di pengadilan tertawa terbahak-bahak.
‘Ada apa dengan rambutmu, Gandhi? Tikus menggigitinya?’
‘Bukan. Tukang cukur kulit putih tidak berkenan menyentuh rambutku yang hitam,’ jawabku, ‘jadi aku lebih suka memotongnya sendiri, tak peduli seburuk apa.”





Share:

Postingan Populer