Ruang Sederhana Berbagi

Tampilkan postingan dengan label Gandhi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gandhi. Tampilkan semua postingan

Selasa, April 22, 2014

Satyagraha dan Anak

Gandhi buat saya adalah sosok yang sangat menginspirasi. Lewat kisah hidupnya ia memberikan banyak pelajaran-pelajaran penting untuk menghadapi berbagai masalah dalam hidup serta mencarikan jalan keluarnya lewat ajaran-ajaran yang sudah ia lakukan. Ia memberikan pelajaran dengan pengalamannya. Sekali lagi, lewat pengalamannya. 

Gandhi bermain dengan anak (deepprayers.blogspot.com)

Salah satu hal yang menarik yang ingin saya bagikan perilah pendidikan anak yang sudah Gandhi lakukan dalam ajarannya yaitu satyagraha. Satyagraha bukanlah merupakan sebuah metode. Apapun yang lebih dari cinta adalah metode. Gandhi melihat satyagraha sebagaimana sebuah perilaku, sebuah kondisi internal dari cinta nirkekerasan yang menjadi kerangka hubungan kita dengan manusia lainnya. Perilaku ini datang dari dalam, bukan dari luar.

Lalu bagaimana hubungannya satyagraha dengan anak? Satyagraha memiliki tempat tersendiri. Kesabaran yang dipadukan dengan ketegasan yang akan membentuk pendekatan ini. Keadaan yang tak dapat disederhanakan dalam satyagraha keluarga adalah bahwa kesejahteraan anak merupakan yang pertama; pertumbuhan dan perkembangan mereka diutamakan di atas kepentingan yang lainnya. Ini berarti mengorbankan sedikit kesenangan pada waktu-waktu tertentu atau menolak, dengan halus tetapi tegas, jauh lebih sering. Yang paling penting, dalam pemikiran Gandhi, adalah teladan orangtua.
Gandhi bermain dengan anak (deepprayers.blogspot.com)

Ada kisah menarik tentang bagaimana Gandhi memberi teladan kepada anak. Pada usia 30-an ada seorang wanita yang datang ke Sevagram dan meminta Gandhi untuk membuat anak lelakinya berhenti makan gula karena tidak baik baginya. Gandhi menjawab dengan samar, "Kembalilah minggu depan."

Wanita itu pergi dengan bertanya-tanya, tetapi kembali seminggu kemudian dengan patuh menuruti instruksi dari Gandhi. "Jangan makan gula," Gandhi bekata kepada si anak ketika menemuinya. "Gula tidak baik untukmu." Lalu ia bercanda dengan si anak sebentar, memeluknya, dan mengembalikannya. Namun, sang ibu tidak mampu menahan rasa penasarannya dan kemudian bertanya, "Bapu, mengapa kau tidak mengatakannya hal ini minggu lalu ketika kami datang kepadamu? Mengapa kau membuat kami datang kembali?"

Gandhi tersenyum. "Minggu lalu," ia berkata sang ibu, "Aku juga sedang makan gula."
Satu lagi, kutipan Gandhi yang terus saya ingat "Bumi ini cukup untuk semua orang, tapi tidak untuk dua orang yang serakah" Selamat hari Bumi, 22 April.


Share:

Rabu, April 02, 2014

Mandiri

Salah satu hal yang selalu saya ingat tentang pelajaran mandiri adalah saat mendaki gunung. Selalu terngiang bahwa mendaki gunung itu adalah proses memadukan kesiapan mental dan fisik. Kemandirian terbangun saat saya harus menyiapkan segala sesuatu secara sendiri, menyiapkan alat dan perbekalan bahan makanan yang cukup selama pendakian. Tidak mengandalkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan selama di gunung. Tidak lucu jika kita meminjam barang orang lain hanya karena kita tidak bisa membawanya. Perlengkapan minimal harus benar-benar disiapkan secara matang. Peralatan atau perlengkapan tersebut di-packing dalam tas ransel yang memadai untuk dibawa sendiri.
Pendaki Gunung ( Iden Wildensyah - Ciremai jalur Linggarjati 2014)

Pendaki gunung itu harus mandiri, jika belum bisa mandiri, minimalnya jangan merepotkan orang lain. Penuhi kebutuhan diri sendiri baru menolong orang lain. Siapkan fisik agar bisa kuat mendaki dan menuruni gunung, siapkan peralatan dan perbekalan agar bisa mendukung kebutuhan fisik kita. Siapkan mental agar selamat dan sampai tujuan serta bisa pulang dengan baik.

Tentang kemandirian ini, ada sebuah kisah Gandhi yang sangat menarik yang dituliskan oleh Eknath Easwaran. 

"Aku tengah mengawali kehidupan yang dipenuhi kemudahan dan kenyamanan, tetapi eksperimennya terlalu singkat. Meskipun aku telah melengkapi rumah dengan perhatian, semua itu tidak mampu membuatku betah. Maka, segera setelah memulai usaha dalam kehidupan itu, aku mulai mengurangi pengeluaran. Tagihan tukang cuci sangat berat dan meskipun tepat waktu, dua hingga tiga lusin kemeja dan kaus yang tersedia terbukti tidak cukup bagiku. Kaus harus berganti setiap hari dan kemeja kalau tidak setiap hari, setidaknya dua hari sekali. Ini berarti pengeluaran dua kali lipat yang bagiku tampak tidak perlu. Oleh karena itu, aku melengkapi diriku dengan perlengkapan mencuci untuk menghematnya. Aku membeli buku tentang mencuci, mempelajari seninya, dan mengajarkanya kepada istriku. Ini tidak diragukan lagi menambah pekerjaanku, tetapi kebaruannya membuatnya menyenangkan.

Aku takkan pernah melupakan kaus pertama yang aku cuci sendiri. Aku menggunakan kanji lebih banyak daripada yang kuperlukan, setrikanya tidak dibuat cukup panas, dan karena takut membakar kausnya, aku tidak cukup keras menekannya. Hasilnya adalah, meskipun kausnya cukup kaku, kanji yang berlebihan terus berjatuhan darinya. Aku berangkat ke pengadilan dengan mengenakan kerah itu hingga mengundang tawa kawan-kawan pengacara. Namun, bahkan pada masa itu aku bisa sangat tidak peduli jika menjadi bahan tertawaan.

Dengan cara yang sama, sebagaimana aku melepaskan diriku dari perbudakan tukang cuci, aku membuang ketergantungan pada pemangkas rambut. Semua orang yang pergi ke Inggris belajar setidaknya seni bercukur, tetapi tidak ada, setahuku, mereka belajar untuk memangkas rambut mereka sendiri. Aku pun harus mempelajari itu. Pernah aku pergi ke seorang pemangkas rambut di Pretoria. Dengan meremehkan ia menolak untuk memotong rambutku. Tentu saja aku merasa terluka, tetapi aku segera membeli sepasang gunting dan memotong rambutku di depan cermin. Aku kurang lebih berhasil memotong rambut bagian depan, tetapi aku merusak bagian belakang. Kawan-kawan di pengadilan tertawa terbahak-bahak.
‘Ada apa dengan rambutmu, Gandhi? Tikus menggigitinya?’
‘Bukan. Tukang cukur kulit putih tidak berkenan menyentuh rambutku yang hitam,’ jawabku, ‘jadi aku lebih suka memotongnya sendiri, tak peduli seburuk apa.”





Share:

Postingan Populer