Ruang Sederhana Berbagi

Jumat, Februari 17, 2012

Moral Dan Ilmu Pengetahuan


“Ilmu tanpa bimbingan moral (agama) adalah buta dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh” (Albert Einstein 1879-1917)
Ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan memungkinkan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri[1]. Sehingga mulai timbul pertanyaan untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Di mana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus dikalahkan?. Untuk menjawab pertanyaan ini maka ilmuwan berpaling pada hakikat moral.

Tiga definisi yang pendek tentang sains adalah:
  1. Sains ialah accurate thought, ilmu empiris, ialah cara berpikir yang jitu, tepat, atau paham yang nyata.

  2. Sains, ialah organizations of fact, penyusunan bukti.

  3. Sains, ialah simplification by generalisation, penyerderhanaan generalisasi.
Ketiga definisi ini satu sama lainnya berhubungan dan isi mengisi, tambah menambah. Dipandang dari satu penjuru, yang pertamalah definisi yang jitu. Dari penjuru yang lain yang kedualah dan seterusnya.[2].

Pertanyaan besar dalam filsafat adalah sebagai berikut: dari mana datangnya Moralitas? Apakah moralitas dating dari diri kita sendiri? Atau dating dari Tuhan? Atau sebuah fakta moral objektif? Atau apakah moralitas itu adalah sesuatu yang benar atau salah dengan sendirinya, terlepas dari penilaian siapapun terhadapnya?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita diperhadapkan pada sebuah problem-sebuah problem filsafat yang cukup popular. Problem tersebut menyeret kita sekaligus pada dua arah yang saling tarik-menarik. Di satu sisi, tampaknya harus ada fakta moral objektif dan di sisi yang lain, tidak akan ada fakta moral objektif. Mengapa harus ada fakta moral objektif? Karena, ketika kita mengatakan sebagai contoh “membunuh adalah salah” berarti kita telah melakukan penilaian yang benar berdasarkan fakta-fakta yang menunjukan bahwa membunuh adalah salah. Dan fakta tersebut adalah sebuah fakta objektif: membunuh mesti kalah dengan sendirinya, terlepas dari penilaian kita, bahkan Tuhan terhadapnya[3].

Stace mengatakan bahwa moralitas merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan, “seharusnya orang berbuat susila berarti bahwa bila orang ingin berbahagia, maka satu-satunya sarana yang harus digunakannya adalah berbuat susila[4]

Ilmu pengetahuan yang diterapkan bertujuan untuk mempergunakan dan menerapkan ilmu pengetahuan tersebut di dalam masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Adalah sangat bijaksana apabila manusia-manusia di muka bumi ini dapat memanfaatkan ilmunya untuk memperlajari berbagai gejala atau peristiwa yang menurut anggapannya mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Pemanfaatan ilmu pengetahuan hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang asasi, dan semua orang akan menyambut gembira bila ilmu pengetahuan ini benar-benar dimanfaatkan bagi kemaslahatan manusia[5].

Ilmu pengetahuan hendaknya dikembangkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Ilmu pengetahuan yang dikendalikan oleh manusia-manusia yang tidak bermoral telah membawa maut dan penderitaan yang begitu dahsyat kepada umat manusia, sehingga manusia di dunia ini tetap mendambakan perdamaian abadi dengan penemuan-penemuan ilmu yang modern dan canggih ini. Descartes menyatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan serba budi; Immanuel Kant menyatakan ilmu pengetahuan merupakan persatuan antara budi dan pengalaman. Ilmu pengetahuan selain tersusun secara sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran juga harus mengandung nilai etis atau moral, dikatakan beretis atau bermoral adalah harus mengandung nilai yang bermakna dan berarti, berguna bagi kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan bukan saja mengandung kebenaran-kebenaran tapi juga kebaikan-kebaikan[6].

Dalam menggerayangi hakekat ilmu, sewaktu kita mulai menyentuh nilainya yang dalam, di situ kita terdorong untuk bersikap hormat kepada ilmu. Hormat pertama-tama tak ditujukan kepada ilmu murni tetapi ilmu sebagaimana telah diterapkan dalam kehidupan. Sebenarnya nilai ilmu terletak pada penerapannya. Ilmu mengabdi masyarakat sehingga ia menjadi sarana kemajuan. Boleh saja orang mengatakan bahwa ilmu itu mengejar kebenaran dan kebenaran itu merupakan inti etika ilmu, tetapi jangan dilupakan bahwa kebenaran itu ditentukan oleh derajat penerapan praktis dari ilmu. Pandangan yang demikian itu termasuk faham pragmatisme tentang kebenaran. Di situ kebenaran merupakan suatu ide yang berlandaskan efek-efek praktis[7]

Teknologi yang merupakan konsep ilmiah yang menjelma dalam bentuk konkret telah mengalihkan ilmu dari tahap kontemplasi ke manipulasi. Dalam tahap manipulasi ini masalah moral muncul kembali berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Dihadapkan dengan masalah moral, ilmuwan terbagi menjadi dua.

Golongan pertama menginginkan ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun secara aksiologis. Sehingga tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah pada penggunanya untuk menggunakan pengetahuan tersebut demi tujuan baik atau buruk.

Golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Charles Darwin mengatakan bahwa tahapan tertinggi dalam kebudayaan moral manusia adalah ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita.[8]

Pada akhirnya, moral dan ilmu pengetahuan satu sama lain berhubungan, jika ada salah satu yang dominan dan belum bisa menyeimbangkannya, berarti ada yang salah atau belum menemukan sisi yang lain dari keduanya. Jika itu sudah seimbang, bersyukurlah, semoga kita termasuk orang yang bijaksana. (Iden Wildensyah)



[1] Jujun S, Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta: Pustakan Sinar Harapan) Hal 231
[2] Tan Malaka, MADILOG.(Jakarta: Pusat Data Indikator) hal 58
[3] Stephen Law, Filsafat itu Heboh (Jakarta: Teraju) hal 185
[4] Louis O. Kattsof. Pengantar Filsafat. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya) Hal 350
[5] Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar (Jakarta: Rineka Cipta) hal 333
[6] Abu Ahmadi, ibid.
[7] Jujun S. Suriasumantri. Ilmu dalam Persfektif. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia) Hal 234
[8] Jujun S, Suriasumantri, op.cit. Hal 235
Share:

0 komentar:

Postingan Populer